Mongabay.co.id

Dedikasi Jamal Adam Menjaga Burung Tetap Ada di Tidore

 

Suhu pada pertengahan Desember lalu terasa panas menyengat. Maklum saat itu musim kemarau masih berlangsung.

Suasana Suaka Paruh Bengkok (SPB) di kawasan Taman Nasional Ake Tajawe Lolobata (TNAL) Desa Koli Oba, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara itu terlihat sepi. Hanya ada tiga pengunjung, karyawan sebuah perusahaan tambang yang datang menyerahkan seekor kakatua jambul kuning (Cacatua alba) ke suaka  ini.

SPB ini merupakan satu-satunya suaka burung di Indonesia Timur yang setiap saat menerima burung- burung hasil sitaan maupun yang diserahkan warga untuk dirawat dan dikembalikan sifat liarnya, lalu lepas ke alam.

Kantor SPB terlihat sepi, karena dokter hewan dan petugas sedang cuti. Hanya ada Jamal Adam (60 tahun), seorang animal keeper atau penjaga satwa.

Di suaka ini total ada 5 petugas, terdiri dari kordinator SPB, dokter hewan, animal keeper dan petugas keberasihan serta keamanan. Mereka  bekerja menjaga serta merawat burung yang ada  agar tetap hidup dan  bisa  dikembalikan  habitat aslinya.

Jamal  menjelaskan, penanganan burung di SPB, mulai dengan menjelaskan satu persatu kandang yang disiapkan untuk burung.

baca : Kini Taman Nasional Aketajawe Lolobata Punya Suaka Paruh Bengkok

 

Jamal pakai topi bersama dokter hewan di PSB memeriksa seekor kakatua alba yang diiserahkan warga untuk selanjutnya dirawat dan diberi perlakuan. Foto : Jamal Adam

 

Dari kandang karantina/observasi, kandang rehabilitasi, kandang edukasi  juga kandang ekosistem. Total kandang ada 10 unit dan ukurannya bervariasi. Paling kecil adalah  kandang ICU, dan paling besar kandang ekosistem. Kandang yang ada memiliki fungsi masing-masing ketika ditempatkan burung.

Dia bilang, ketika burung masuk ke SPB langsung ke kandang karantina. Selanjutnya kandang rehabilitasi. Dari situ  kemudian dibuat perbandingan. Jika selama 6 bulan sudah layak akan dilepas. Tergantung karakter burung-burung tersebut.

Untuk burung yang sudah tidak bisa dilepasliarkan lagi karena cacat, dimasukan ke kandang edukasi. Sementara untuk kandang ekosistem, ditempatkan burung yang sifat liarnya hilang karena bisa berbicara. “Burung-burung ini sudah tidak  bisa mencari makan sendiri, alami cacat tetap jadi satwa untuk pendidikan,” katanya.

Saat itu, ada 25 ekor burung paruh bengkok ikut dirawat dan dilatih untuk dilepasliarkan di SPB.  Ada 4 ekor kakatua jambul kuning,  4 ekor kakatua putih, 2 ekor kakatua Maluku 2 ekor nuri bayan, 5 ekor kalung ungu, 2 ekor nuri Maluku 1 ekor nuri kepala hitam, dan 5 ekor kasturi Ternate.

Jamal mengenang awal bergabung di SPB. Awalnya dia hanya seorang petani di Desa Koli yang tidak memiliki pengetahuan tentang burung atau hidupan liar. Namun karena kecintaannya, dia jalankan tugas ini dengan penuh dedikasi.

Dari 2019 hingga saat ini sudah ada 100 ekor paruh bengkok yang berhasil dirawat  dan sudah dilepasliarkan ke alam.

baca juga :  Mandar Gendang, Burung Langka Endemik Maluku Utara

 

Jamal memberi makan seekor nuri Ternate di kandang rehabilitasi PSB. Foto : Jamal Adam

 

Kecintaanya pada dunia konservasi burung dia awali saat bergabung sebagai Masyarakat Mitra Polhut (MMP). Salah satu tugasnya mengkampanyekan masalah lingkungan hidup terutama isu konservasi kepada masyarakat desa dan siswa sekolah. “Ini menjadi modal termasuk menjadi guide tamu atau pengunjung taman nasional,” katanya.

Saat dibangun SPB, dia direkrut menjadi animal keeper yang merawat, memberi makan dan memperhatikan kondisi burung secara umum.

“Kita gunakan insting dan kecintaan pada burung. Bertahun- tahun telah merawat dan menjaga burung burung yang ada. Seiring berjalannya waktu menjadi sangat paham kondisi burung yang dirawat,” katanya.

“Misalnya burung mendapatkan ancaman dari satwa lain atau sakit, dari suaranya berteriak kita sudah sangat paham, segera memberi pertolongan,” katanya. Begitu juga ketika burung ini sakit, dari gerak geriknya, Jamal bisa memberi diberi pertolongan yang diperlukan.

Proses perawatan untuk mengembalikan sifat liar burung butuh waktu berbeda-beda. Tergantung kondisi burung itu berapa lama dia dipelihara. “Bisa cepat bisa juga lama. Ada yang bisa setahun ada juga yang bisa beberapa bulan saja sudah bisa lepas liar. Jika burung itu jinak atau sudah sangat dekat dengan manusia  untuk merehabilitasnya  butuhkan waktu yang lama,” katanya.

Dalam merawat 24 ekor burung butuh Rp550.000 setiap pekannya atau Rp2,2 juta/bulan. Makanan yang diberikan juga bervariasi agar burung-burung tidak jenuh. Kadang dikasih buah papaya, jagung hingga semangka dan pisang. “Jika diberi satu jenis makanan, burung bisa sakit. Kalau dikasih pisang terus  burung mengalami diare. Itu  hasil amatan dan kajian kita,” katanya.

baca juga : Surganya Burung Endemik, Maluku Utara Tempat yang Tepat untuk Pengamatan

 

Jamal memberi makan dua ekor burung nuri Ternate yang ada di kandang rehabilitasi SPB. Foto : Jamal Adam

 

Burung bisa makan sesuai kesukaan di hutan. Berbeda dengan burung yang dikurung dalam kendang, pilihan makanannya terbatas, sehingga perlu variasi makanan. Tugasnya sebagai animal keeper merawat burung mempastikan burung itu tidak lapar serta mendampingi dokter hewan.

Saat burung masuk ke SPB, harus ditempatkan di kandang terpisah untuk diteliti kondisinya, apakah sehat dan bisa terbang.

Dia cerita pernah  mendapat kiriman burung dari BKSDA KSW1 Ternate untuk perawatan.  Karena tanpa seleksi, burung itu membawa virus sehingga 10 ekor diantaranya mati.  Kemudian langsung dibuat perlakuan khusus berdasarkan pengetahuan lokal. Burung-burung itu diberi air kelapa dan gula merah yang akhirnya burung itu normal kembali.

Perawatan burung tidak hanya secara medis, tetapi juga nonmedis berdasar kearifan lokal, sehingga saling mengisi. Misalnya dokter lakukan perlakuan berdasarkan penelitian di Jawa, yang bisa berbeda di sini karena iklim yang berbeda.

Lalu apa suka dukanya bekerja merawat burung-burung ini?

Jamal bilang hal yang sulit adalah mengembalikan sifat liar dari burung-burung peliharaan yang sudah bisa berbicara bahkan ada seperti manusia.

Salah satu cara yang dilakukan mengurangi interaksi dengan burung tersebut. Atau juga menyiramnya dengan air jika burung berusaha mendekat ke manusia. Tujuannya mengagetkan dan mengembalikan sifat liarnya.

Masa-masa sulit mereka hadapi kala pandemi Covid pada 2021-2022. Kala itu akses ke luar sulit, sehingga mereka mengobati dengan pengetahuan lokal, yakni menggunakan air kelapa muda dan gula aren kepada burung yang terinveksi virus.

Jamal yang dulu sebagai petani  dan  kerja serabutan, akhirnya menyadari mengabdikan hidup untuk konservasi itu tidak mudah. Harus  penuh kesabaran  yang lahir dari hati.

Dari apa yang dia geluti sudah ada ratusan ekor burung berhasil dirawat dan dikembalikan ke kehidupan liar. “Yang endemik Halmahera dikembalikan ke hutan di mana dia biasa hidup. Jika  burung itu berasal dari luar Maluku Utara maka dikembalikan ke daerah asal selanjutnya dilepasliarkan,” katanya.

Pekerjaan Jamal mungkin bagi sebagian orang dianggap sepele. Tetapi dari  ketekunan yang dijalani setiap waktu,  burung-burung yang nyaris mati maupun sudah hilang sifat liarnya mampu terselamatkan. Dikembalikan ke  habitat aslinya sehingga bisa tetap disaksikan  hidup bebas di alam liar. (***)

 

Exit mobile version