Mongabay.co.id

Resistensi Antimikroba pada Hewan Ternak, Bagaimana Penanganannya?

 

 

Penggunaan antimikroba atau antibiotik pada ternak bertujuan mencegah, mengendalikan, dan mengobati terjadinya serangan penyakit.

Penerapannya, dipengaruhi potensi infeksi mikroorganisme, baik bakteri maupun virus yang sering terjadi di negara tropis, seperti Indonesia.

Namun, kondisi ini menyimpan ancaman serius terhadap penularan penyakit yang dipicu penggunaan antimikroba pada ternak. Ini dikarenakan, residu antibiotik pada tenak dapat membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi dagingnya.

Subkoordinator Distribusi Obat Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Mario Lintang Pratama, mengatakan biosecurity tiga zona perlu diterapkan pada sektor peternakan di Indonesia. Tujuannya, meminimalisir potensi masuknya bakteri maupun mikroorganisme lain.

“Mungkin masih ada, tapi dapat direduksi penggunaannya di tingkat peternakan,” terangnya di Surabaya, pada Desember 2023.

Disarankan juga setiap peternakan tersertifikasi dengan nomor kontrol veteriner [NKV]. Dengan begitu, sumber unggas mulai dari peternakan hingga daging yang siap dijual, terjamin mutunya.

“Artinya, hewan tersebut terjamin aman, sehat, utuh, dan halal.”

Baca: Menyoal Resistensi Antimikroba: Perketat Pengawasan Peternakan Ayam

 

Ilustrasi kondisi peternakan ayam di Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Pengendalian antimikroba resisten [AMR/Antimicrobial Resistance] sejauh ini belum menjadi prioritas semua pihak. Padalah, sejumlah regulasi telah dibuat, termasuk pelarangan pemakaian calistin yang merupakan antibiotik untuk hewan.

“Penggunaan antibiotik untuk penggemukan atau kita kenal antibiotik growth promotor, sudah dilarang, namun penerapannya susah sekali,” lanjutnya.

Pemerintah melarang penggunaan obat hewan pada ternak yang produknya dikonsumsi manusia melalui Peraturan Menteri Petanian [Permentan] Nomor 14 Tahun 2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan.

Aturan ini untuk mencegah terjadinya residu obat pada ternak. Sebab, sulit didegradasi dari tubuh ternak, serta dapat menyebabkan efek hipersensitif, karsinogenik, mutagenik, dan teratogenik pada ternak dan manusia.

“Ini untuk mencegah timbulnya resistensi mikroba patogen, yang tentunya tidak ramah lingkungan,” ungkap Mario.

Pada 2020-2024, sasaran pengendalian AMR menargetkan penurunan persentase hewan sebesar 67,1 persen, atau turun 10 persen. Selain itu menaikkan hingga 5 persen antimikroba yang beredar memenuhi syarat mutu, atau menjadi 100 persen. Serta, menurunkan persentase penggunaan antimikroba di peternakan ayam broiler dari 80 persen menjadi 50 persen.

“Kami di pusat, yang dikendalikan adalah importirnya. Sementara tingkat pabrik obat, bisa kami beri sanksi, tapi yang sulit di tingkat peternak. Temuan penyalahgunaan AMR merupakan fenomena gunung es yang tidak mudah ditangani.”

Terhadap penjual atau ritel di pasar tradisional, telah diimbau agar tidak melakukan pemotongan di lokasi, melainkan di rumah potong hewan. Langkah ini untuk mencegah penularan penyakit atau bakteri pada hewan.

“Pastikan produk tersebut memiliki lambang NKV,” singkatnya.

Baca: Rabies Mengancam NTT, Bagaimana Penanganannya?

 

Pemeliharaan ayam yang baik dan kebersihan kandang sangat mempengaruhi kualitas dagingnya. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Antimikroba

Mardji, peternak bebek skala kecil di Sidoarjo, mengaku memberikan obat tambahan pada pakan ternaknya. Ini dilakukan atas saran sesama peternak agar ternak lebih sehat dan nafsu makannya bertambah.

“Saya tidak tahu apakah obat ini termasuk golongan antibiotik,” jelasnya, pertengahan Januari 2024.

Mardji menambahkan, selama ini selalu memperhatikan arahan dinas peternakan terkait kesehatan ternak dan pakannya, serta tidak melayani pemotongan bebek di tempat. Hanya melayani penjualan dalam kondisi hidup.

“Apa yang tidak diperbolehkan, tidak saya gunakan lagi.”

Sofyan, warga Surabaya, yang rutin membeli daging ayam dalam jumlah besar untuk usaha makanan, menyatakan tampilan daging segar yang baru dipotong menjadi pilihan utamanya. Sementara, proses pemeliharan di tingkat peternak dan keamanan dari potensi residu obat, dia tidak paham.

“Pedoman saya dari dari tampilan,” ujarnya.

Baca juga: Catatan Penyakit Mulut dan Kuku: Menyerang Ternak dan Antisipasinya pada Satwa Liar

 

Daging ayam potong yang dijual di pasar tradisional di Surabaya, diperiksa juga oleh petugas dari Pemkot Surabaya. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Residu antibiotik

Makanan berupa produk hewan ternak yang mengandung residu antibiotik, menjadi salah satu pemicu munculnya penyakit.

“Perlu pemahaman bahwa antibiotik itu obat yang punya dua efek. Yaitu, menguntungkan karena bisa menyembuhkan, tetapi sekaligus bisa memicu terjadinya resistensi bakteri. Bila bakteri menjadi resisten di tubuh kita, saat kondisi tubuh kita tidak prima, itu yang berbahaya,” papar dr. Harry Parathon, Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba.

Dokter maupun masyarakat diharapkan lebih bijak dalam menggunakan antibiotik, baik untuk manusia maupun hewan ternak.

“Agar tidak menimbulkan ancaman penyakit yang dapat menyebabkan kematian,” paparnya.

 

Waspada, Ada Penyakit Zoonosis di Sekitar Kita

 

Exit mobile version