Mongabay.co.id

Aktivis Minta ATR/BPN Sulsel Aktif Selesaikan Masalah Lonsum di Bulukumba

 

Senin (29/1/2024), puluhan aktivis yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Anti Monopoli Tanah (GRAMT) geruduk Kantor Wilayah Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sulawesi Selatan di Makassar mendesak diadakannya perundingan lanjutan terkait penyelesaian konflik agraria antara PT. London Sumatera (Lonsum) dengan masyarakat Bulukumba.

Aksi ini adalah lanjutan dari aksi sebelumnya, 15 Januari 2024 lalu, di mana pada aksi tersebut diperoleh kesepakatan untuk dilaksanakannya perundingan penyelesaian konflik sebelum 26 Januari 2024, namun ternyata tidak ada tindak lanjut setelahnya.

GRAMT kemudian menggeruduk Kanwil ATR/BPN Sulsel menagih agar dibukanya dialog lanjutan seperti yang dijanjikan, dan meminta keseriusan pihak Kanwil ATR/BPN untuk menyelesaikan konflik yang telah berlangsung selama puluhan ini.

Ahmad M. Yahya, Sekretaris Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Sulsel, mempersoalkan tidak adanya itikad baik pihak Kanwil ATR/BPN Sulsel yang sejak awal dianggap tidak berniat membuka ruang dalam hal penyelesaian konflik tersebut.

“Pihak ATR/BPN tidak memiliki itikad baik untuk menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di Bulukumba dengan mengingkari kesepakatan pada aksi sebelumnya. Jika mereka serius maka tentu tidak sulit mengundang seluruh pihak yang berkepentingan duduk bersama, mengingat konflik ini sudah berlangsung lama,” ujar Ahmad.

baca : Sengkarut Lahan Warga Kajang dan Lonsum Berlarut

 

Puluhan aktivis yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Anti Monopoli Tanah (GRAMT) geruduk Kantor Wilayah Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sulawesi Selatan di Makassar mendesak diadakannya perundingan lanjutan terkait penyelesaian konflik agraria antara PT. London Sumatera (Lonsum) dengan masyarakat Bulukumba, Senin (29/1/2024). Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Keluhan yang sama disampaikan Hasbi Assyidiq, staff divisi Ekonomi, Sosial dan Politik YLBHI-LBH Makassar, yang menyayangkan sikap Kanwil ATR/BPN yang merupakan representasi negara namun tidak berpihak pada rakyat.

“Pada prinsipnya dalam konteks hukum dan hak asasi manusia, sebelum menetapkan SK pembaruan HGU, bahkan sebelum proses itu dilakukan, ATR/BPN harus menyelesaikan terlebih dahulu konflik agraria yang ada, dan melaksanakan perintah undang-undang untuk mengembalikan tanah-tanah milik masyarakat,” ujar Hasbi.

Al Iqbal, Kepala Bidang Advokasi dan Kampanye KontraS Sulawesi, mengatakan kalau pihak Kanwil ATR/BPN seharusnya belajar dari sejarah panjang konflik ini.

“Kasus Lonsum versus petani dan masyarakat adat Kajang bukanlah kasus baru, namun telah berlangsung lama dan telah mengakibatkan korban jiwa sehingga butuh peran aktif ATR/BPN untuk penyelesaiannya. Jangan menunggu terjadi pergolakan di masyarakat dan terjadi tindakan kekerasan baru mau bertindak,” katanya.

Kuncoro Bhakti Hanung Prihanto, Kepala Bidang Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kanwil ATR/BPN Sulsel, menyatakan alasan tidak diadakannya pertemuan seperti disepakati pada pertemuan sebelumnya.

“Kami sudah berupaya menghubungi berbagai pihak seperti PT. Lonsum, pemda Bulukumba dan kepolisian, namun pihak kepolisian menyarankan untuk menunda pertemuan tersebut hingga pemilu selesai, untuk menjaga ketertiban dan keamanan pemilu serentak,” katanya.

Kuncoro kemudian menjamin tak akan ada penerbitan sertifikat HGU untuk Lonsum sebelum adanya pertemuan untuk menyelesaikan konflik tersebut dan menyetujui permintaan koalisi aksi agar diadakan dialog antar parapihak pada 2 Februari 2024 mendatang.

Menurut Al Iqbal, konflik antara Lonsum dengan masyarakat telah berlangsung lama menyisakan banyak persoalan dan derita bagi petani.

“Sejak awal, pasca konversi dari hak Erfpacht tahun 1961, tindakan perampasan lahan mulai masif terjadi yang kemudian diperparah dengan lahirnya UU PMA 1967,” jelas Al Iqbal.

baca juga : Warga Kajang Hadang Alat Berat PT. Lonsum di Bulukumba. Ada Apa?

 

Sekitar 800 orang warga dari 9 desa di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulsel, September 2018, melakukan aksi penghadangan alat berat eskavator PT Lonsum. Mereka menuntut PT Lonsum menghentikan aktivitas sebelum tim Kemendagri melakukan pengukuran sebagaimana kesepakatan sebelumnya. Foto: Rudi Tahas/Agra Bulukumba

 

Perkebunan Sulawesi sebagai anak perusahaan dari PT. London Sumatra memperoleh konsesi 6.592,58 Ha dari total keseluruhan yang dimohonkan seluas 7.092, 82 Ha merujuk pada Kepmendagri No.39/HGU/DA/76, di atas tanah-tanah petani yang kemudian berlaku surut ke tahun 1968.

Selebihnya dikeluarkan di tahun 1974 untuk penduduk/penggarap di Desa Saptamarga, di mana dalam periode tersebut terjadi juga perampasan tanah petani di dusun Balihuko, Desa Bontomangiring dan Kampung Sampeang, Desa Swatani.

“Perampasan tanah semakin masif pada periode 1978-1979 di mana Lonsum merampas tanah rakyat seluas 150 ha di Dusun Balihuko Desa Bonto Mangiring, lalu di Kampung Sampeang Desa Swatani seluas sekitar 350 ha, dan sekitar 373 ha di Desa Balong. Tahun 1980 upaya perampasan terus berlanjut hingga tahun 1992,” urai Al Iqbal

Dijelaskan Al Iqbal, sebuah data dari sebuah tim verifikasi faktual pada tahun 2012 menunjukkan bahwa perampasan lahan ternyata berlanjut hingga kembali mendapatkan perpanjangan HGU di tahun 1997 tanpa mengeluarkan tanah-tanah milik masyarakat di 5 Kecamatan, yaitu Kecamatan Ujung Loe, Herlang, Kajang, Bulukumpa, dan Rilau Ale, yang mencakup 15 desa di dalamnya, yaitu Desa Tamatto, Balleanging, Balon, Karassing, Tugondeng, Tambangan, Bonto Biraeng, Malleleng, Bontto Rannu, Sangkala, Bonto Mangiring, Jojjolo, Tibona, dan Swatani Kec. Rilau Ale, dengan total lahan seluas 2.555,30 Ha.

Perlawanan masyarakat masif pada tahun 2003, 2013 dan 2018, di mana masyarakat melakukan tindakan pendudukan lahan kembali lahan yang diambil Lonsum sehingga terjadi bentrok dengan aparat, mengakibatkan korban jiwa dan pemenjaraan sejumlah warga.

“Bahkan pada tahun 2003 terjadi penembakan terhadap petani yang melakukan pendudukan lahan untuk merebut kembali tanahnya berdasarkan putusan Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa PT. Lonsum harus mengembalikan tanah petani yang sebelumnya dirampas sesuai dengan batas-batas alam yang tegas dalam putusan.”

baca juga : Konflik Lonsum di Bulukumba Tak Kunjung Usai

 

Beberapa perempuan Masyarakat Adat Kajang, memanen Wijen di lokasi pendudukan Desa Tamatto, Kecamatan Ujung Loe. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Al Iqbal khawatir, jika tak ada tindakan aktif Kanwil ATR/BPN Sulsel menyelesaikan konflik ini akan terjadi kembali bentrok antara warga dengan aparat.

“Hal ini menunjukkan kegagalan negara untuk hadir mengatur hubungan hukum antara masyarakat dengan tanahnya yang berkonflik dengan perusahaan. Sehingga bisa dikatakan bahwa BPN kehilangan fungsinya untuk mengatur dan melindungi hak rakyat, dan mutlak menjadi pelayan pengusaha.”

Dalam aksi ini GRAMT meminta Kanwil ATR/BPN Wilayah Sulawesi Selatan agar menghentikan proses pembaruan HGU PT. London Sumatera, karena masih terdapat lahan-lahan milik masyarakat yang diklaim dan tidak dikeluarkan dari wilayah HGU lama.

“Kami juga meminta ATR/BPN bertindak aktif dan mengambil inisiatif menjalankan wewenangnya sesuai dengan Undang-undang untuk melakukan penelitian dan memeriksa secara substantif status tanah, riwayat tanah, dan hubungan hukum antara tanah termasuk menyelesaikan konflik agraria yang terjadi.”

Tuntutan selanjutnya adalah meminta Kanwil ATR/BPN Sulsel agar memprioritaskan untuk mengeluarkan lahan yang dimiliki oleh masyarakat di lahan yang diajukan sebagai lokasi HGU sebagaimana mandat UUPA dan konstitusi untuk memajukan kesejahteraan umum, dalam hal ini kesejahteraan untuk petani.

Tuntutan terakhir meminta Kanwil ATR/BPN Sulsel bertindak aktif menentukan waktu untuk perundingan sebagai upaya penyelesaian konflik. (***)

 

 

Exit mobile version