Mongabay.co.id

Merpetanyakan Label Transisi Energi untuk PLTU Co-firing [2]

 

 

 

 

 

Program co-firing PLTU, yang menggabungkan batubara dengan biomassa, menjadi salah satu fokus ‘transisi energi’ pemerintah Indonesia. Targetnya ambisius: 52 lokasi atau 107 PLTU dijadwalkan co-firing pada 2025, dengan tujuan mencapai net zero emission di 2050. Skema ini diklaim sebagai solusi hijau untuk memenuhi target 23% bauran energi terbarukan. Label transisi energi  ini pun menimbulkan kontroversi dan jauh dari transisi energi berkeadilan yang sesungguhnya.

Gregorius Adi Trianto, Executive Vice President Komunikasi  Korporat & TJSL PT PLN mengatakan, implementasi transisi energi dengan co-firing sejak 2020. Sampai Juni 2023, sebanyak 41 PLTU sudah co-firing dan memanfaatkan sekitar 1.284.798 ton biomassa.

Jumlah biomassa itu diklaim berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca sekitar 1.446.323 ton CO2 dengan kesetaraan green energy sebesar 1.313,759 MWh. 

“Peranan utama co-firing adalah mengurangi jejak karbon dengan memanfaatkan biomassa. Ketika biomassa dibakar, emisi karbon dioksida menjadi netral karena CO2 yang dibakar merupakan hasil penyerapan dari CO2 di udara semasa biomassa tersebut hidup,” kata Gregorius.

Namun, kajian Trend Asia menemukan klaim biomassa tidak menghasilkan emisi atau bersifat netral karbon justru tidak terbukti. Berdasarkan perhitungan Trend Asia, co-firing bukanlah jalur transisi energi yang efektif, karena emisi yang berasal dari pembakaran di hilir maupun produksi biomassa di sektor hulu tetap menghasilkan emisi karbon yang cukup signifikan.

 

Baca juga:  Polusi Udara dari PLTU Co-Firing Indramayu, Balita Rawan Terserang ISPA [1]

Air Terjun Bojokan, di Siberut. Hutan yang masih terjaga dengan air jernih ini pernah masuk dalam konsesi untuk hutan tanaman enerrgi. Masyarakat Mentawai protes.  Foto: Buyong/ Mongabay Indonesia

 

Solusi palsu

Amalya Reza Oktaviani, Manager Program Trend Asia mengatakan,  emisi karbon masih ditemukan dari hulu hingga hilir implementasi co-firing. Emisi disumbang mulai dari deforestasi saat pembangunan hutan tanaman energi (HTE), sampai pembakaran pelet kayu di PLTU batubara.

Karbon emisi dari hulu-hilir produksi biomassa, tak mampu terserap pembangunan hutan tanaman energi. Jadi, katanya, klaim netral karbon dari pembakaran biomassa sudah terpatahkan.

Amalya katakan, penerapan co-firing 10% biomassa pada 107 PLTU berpotensi menghasilkan total emisi hingga 26,48 juta ton setara karbon dioksida (CO2e) per tahun.

Sementara, emisi dari pembakaran wood pellet 668.869 ton: 1.188.160 juta ton emisi setara karbon. Emisi dari pembakaran berbagai jenis biomassa padat lain sejumlah 668.869 ton : 790.397 ton emisi setara karbon.

Jadi, dia tekankan co-firing biomassa bukan solusi bertransisi energi. Praktik co-firing, katanya,  sekadar solusi palsu, termasuk pembakaran penuh biomassa kayu juga solusi palsu dalam gaung transisi energi berkeadilan.

Alih-alih  mengalami penurunan, dalam rencana umum penyediaan listrik (RUPTL) 2021-2023 disebutkan, pencampuran biomassa dengan batubara justru meningkatkan emisi dari PLTU yang diproyeksikan terus meningkat jadi 298,9 juta ton CO2e pada 2030.

Sampai khir 2022, konsumsi biomassa sebanyak 450.000 ton pertahun dan Juni 2023, sudah ada 1,2 juta ton biomassa dikonsumsi. Target biomassa untuk co-firing 52 PLTU, butuh 10,2 juta ton biomassa.

Untuk memenuhi 10,2 juta ton biomassa, perlu 2,3 juta hektar HTE. “Ini yang akan mendorong deforestasi dari kebutuhan konsesi hutan tanaman energi,” kata Amalya.

Kekhawatiran Trend Asia, mengacu pada hutan tanaman industri (HTI) 38% dari alih-fungsi hutan alam, persis untuk HTE kebutuhan co-firing PLN bakal memicu deforestasi antara 625.000 sampai 2,1 juta hektar, tergantung jenis tanaman energi yang dikembangkan.

Kalau kebutuhan lahan HTE skala luas dan masif, bisa jadi seperti rentang kasus-kasus pembebasan lahan, catat Trend Asia dan Forest Watch Indonesia, kelompok masyarakat bakal dikorbankan dari proyek, hingga memicu konflik dan bencana.

Sebagai contoh,  temuan Koalisi untuk Energi Bersih  (Kutub) di Jawa Barat soal perjanjian antara PLN dengan Perhutani dan PTPN. Kesepakatan itu mengisyaratkan PLN membutuhkan lahan teritorial kedua pengusaha kayu untuk produksi biomassa bagi PLTU yang menggunakan co-firing. Kesepakatan ini disebut akan menimbulkan ekspansi kebun energi yang memperbesar potensi perampasan lahan (land grabbing), konflik agraria dan bencana terkait lahan.

Masalahnya, kebutuhan biomassa HTE ini diberi karpet merah oleh pemerintah lewat Permen LHK No.7/2021 tentang perencanaan kehutanan, perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan, dan penggunaan kawasan hutan. Juga Permen LHK No.8/2021 tentang pemanfaatan hutan lindung.

Dua peraturan ini disebut memudahkan eksploitasi hutan alam, berarti para pengusaha HTE bisa membabat hutan alam untuk HTE dengan dalih mendukung pemerintah dalam transisi energi.

“Hingga co-firing biomassa ini bukan transisi energi, ia solusi palsu.”

Kalau pemerintah (mau) serius transisi energi bersih, adil, dan berkelanjutan, katanya, kebijakan co-firing biomassa harus dihentikan. “Termasuk pemberhentian kebijakan insentif bagi pembukaan HTE, yang akan turut mendorong deforestasi.”

 

Baca juga: Akankah Indonesia Serius Jalankan Transisi Energi Berkeadilan?

Warga Desa Mekarsari, Patrol, Indramayu, Jawa Barat (Jatayu) protes PLTU co-firing yang berdampak pada kehidupan mereka sehari-hari.  pada akhir Oktober 2022. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Malah perpanjang usia PLTU

Penerapan co-firing biomassa dicurigai hanya jadi justifikasi untuk memperpanjang usia PLTU, termasuk melanggengkan penggunaan batubara.

Pemain-pemain di sektor batubara akan tetap eksis meski porsi dikurangi, apalagi hanya 2% biomassa yang dipakai PLTU 1 Indramayu, misal. Sementara PLN menarget 5-10% biomassa di semua pembangkit listrik.

Dari olah data Trend Asia, kebutuhan konsumsi batubara PLTU 1 Indramayu sebesar 3.946,000 ton per tahun yang dipasok dari sejumlah perusahaan dengan kontrak mulai 2007-2032.

Tercatat, pasokan batubara berasal dari perusahaan-perusahaan raksasa di Kalimantan Selatan– beberapa sudah berakhir–, Kalimantan Tengah, dan Sumatera Selatan.

Di Kalimantan Selatan, ada Konsorsium PT Arutmin Indonesia dan PT Darma Henwa, Konsorsium PT Kasih Industri Indonesia dan PT Senamas Energindo Mulia (2007-2027). Lalu, CV Multi Bara Persada dan PT Borneo Indobara (2011-2021). Lalu, konsorsium PT Rizki Anugrah Pratama dan PT Risna Karya Wardhana Mandiri (2010-2020), termasuk PT Adaro Indonesia (2016-2021); serta PT PLN Batubara LRC dan PT PLN Batubara MRC (2010-2020).

Pasokan lain juga dari konsorsium PT Exploitasi Energi Indonesia di Kalimantan Tengah (2007-2027), dan PT Bukit Asam di Sumatera Selatan (2012-2032).

Belum ada kejelasan dari perusahaan PT PJB apakah konsumsi batubara pada PLTU 1 Indramayu sudah dikurangi atau belum.

Kalau merujuk Statistik PLN 2021, penggunaan biomassa 282.628 ton, naik signifikan dari 9.731 ton pada 2020. Saat sama, pemakaian batubara untuk PLTU juga naik jadi 68,47 juta ton dari 66,68 juta ton pada 2020.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebut produksi batubara meningkat mencapai 687 juta ton pada 2022 dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Dokumen rencana umum energi (RUED) Jawa Barat, menyebut, target pemodelan pembangkit tenaga listrik 2025 sebesar 22,59 GWh dan tahun 2050 sebesar 78,03 GWh. Konsumsi batubara juga diproyeksikan meningkat sampai 69,43 juta ton pada 2050. Adapun kebutuhan ini bukan hanya untuk PLTU, juga industri lain.

Walhi Jawa Barat menyatakan, kebutuhan batubara berpotensi kontradiktif dengan kebijakan energi nasional yang menargetkan peran batubara hanya 25% dalam bauran energi primer.

Dalam studi Kutub menyatakan, Jawa Barat memiliki sekitar 15 pembangkit listrik. Empat merupakan PLTU yang beroperasi dan satu dalam tahapan pengembangan. Sisanya,  ada empat PLTA, tiga PLTP, dan dua PLTGU. Listrik dari pembangkit ini 8.853,14 MWh.

Data PLN, net produksi listrik untuk induk listrik Jawa Barat 56.923,33 GWh, sementara energi yang terjual hanya 53.318,02 GWh. Sedangkan beban puncak tenaga listrik tertinggi pada 2020 sebesar 7.712 MWh

Meiki W Pandeong, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat mengatakan, ada pasokan berlebih penyediaan listrik di Jawa Barat. Dugaannya, kelebihan suplai itu disiasati untuk industri lain, seperti listrik usaha tekstil, semen dan lain-lain.

“Negara berpotensi mengalami kerugian ekonomi akibat kelebihan pasokan listrik. Jika teknologi co-firing terus digunakan sebagai upaya perpanjangan usia PLTU maka kelebihan pasokan energi listrik akan terus terjadi,” kata Meiki.

Sedangkan dalam kontrak jual beli PLN dengan produsen listrik swasta bersifat take-or-pay. Dalam arti, PLN harus menanggung beban sekitar Rp3 triliun per tahun akibat kelebihan pasokan listrik.

Pada 2017-2028, biaya operasi PLTU PLN akan lebih besar karena usia pembangkit listrik sudah tua. Biaya produksi listrik, katanya, akan lebih mahal dibandingkan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS.

Dia menilai, skema transisi energi Pemerintah Indonesia sekadar wacana karena belum berani serius memensiunkan dini PLTU di Jawa Barat tanpa co-firing.

Dengan kebutuhan batubara masih tinggi, katanya,  menandakan pemerintah di Jawa Barat lemah, bertransisi energi ke energi terbarukan.

Padahal, kata Katherine Hasan, Climate Policy & Advocacy di CREA, proyek-proyek pembangkit listrik tenaga batubara baru dan percepatan jadwal pengakhiran operasional pembangkit listrik yang ada akan menghindari biaya ekonomi secara signifikan. Bahkan, katanya, dapat menutup biaya investasi untuk menerapkan energi bersih dan terbarukan.

Penghapusan bertahap batubara lebih cepat pada 2040, sejalan dengan target 1,5 derajat dari Perjanjian Paris, akan menghindarkan total kumulatif 182.000 kematian terkait polusi udara, Juga meringankan beban kesehatan US$130 miliar sampai 2060.

Jadwal pengakhiran operasional yang dibuat Indonesia  dalam penghentian penggunaan batubara bertahap, katanya, harus mencakup evaluasi dampak kesehatan di tingkat pembangkit secara nasional.

“Dasar pertimbangan ini untuk memastikan transisi energi merata dan memitigasi dampak masyarakat yang tinggal dekat pembangkit listrik dan warga Indonesia,” kata Katherine. (Selesai)

 

Pencampuran biomassa dan batubara di PLTU Indramayu 1 sudah dilakukan sejak 2021. Co-firing jadi perdebatan saat disebut sebagai salah satu cara transisi energi. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

*Liputan ini merupakan Fellowship Trend Asia dalam program “Food vs Energy Fellowship 2023”

 

 

Polusi Udara dari PLTU Co-Firing Indramayu, Balita Rawan Terserang ISPA [1]

Exit mobile version