- Perkampungan warga di Kecamatan Patrol dan Sukra, Indramayu, Jawa Barat, berada dekat dengan pembangkit listrik PLTU 1 Indramayu. PLTU ini mulai mencampur biomassa dan batubara atau biasa disebut co-firing dalam menghasilkan energinya. Asap pekat menyelimuti pemukiman mereka saban hari. Tulisan sebelumnya menceritakan mengenai lahan pertanian atau sumber pangan warga tak lagi subur bahkan gagal panen diduga dampak terkena debu dari PLTU.
- Data Dinas Kesehatan Indramayu pada 2019-2021 juga mencatat kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) terutama pada bayi di Kecamatan Patrol dan Sukra—tempat PLTU 1 Indramayu beroperasi—alami peningkatan. Di Kecamatan Patrol, kasus ISPA menyerang terutama bayi (anak bawah lima tahun/balita) pada 2019 sebanyak 145 kasus, naik jadi 301 pada 2020, dan meningkat lagi pada 2021 jadi 289 kasus. Di Kecamatan Sukra dalam rentang waktu sama masing-masing 181, 183, dan 186 kasus ISPA pada bayi atau balita.
- Koalisi untuk Energi Bersih (Kutub) Jawa Barat menduga kuat, aktivitas co-firing PLTU 1 Indramayu tetap akan memperburuk gangguan kesehatan warga. Analisis Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) juga menemukan, skema co-firing biomassa justru berdampak makin memperburuk kualitas udara akibat dari gas amonia yang terlepas ke udara.
- Chudchawal Juntarawijit, dari Departemen Sumber Daya Alam dan Lingkungan, di Universitas Naresuan, Thailand, menyatakan, tanpa pengendalian tepat, polusi pembangkit listrik tenaga biomassa dapat menyebabkan masalah kesehatan yang signifikan bagi penduduk sekitar. Dalam risetnya tentang masalah penggunaan biomassa menyimpulkan, penduduk yang tinggal di dekat pembangkit listrik melaporkan insiden sangat tinggi dari berbagai penyakit pernapasan dan gejala yang tak terlihat pada mereka yang tinggal lebih jauh.
Asap hitam pekat mengepul dari cerobong pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) 1 Indramayu, Jawa Barat. Kepulan asap membumbung di atas atap rumah warga Desa Tegal Taman, Sukra, Indramayu ini jadi pemandangan saban hari.
Di rumah Surono, warga Tegal Taman sedang ramai syukuran anak keduanya hari itu. Dia menjamu tamu. Umroh, istrinya sibuk menghidangkan makan siang di meja depan rumah. Keluarga, tetangga, dan kerabat-kerabat dekat mereka hadir.
Di atap rumah, debu tipis bertebaran.
“Debu kayak begini sudah biasa, sudah lama sejak PLTU beroperasi,” ucap Surono, terlihat santai, walau roman wajah tak bisa menyembunyikan kekesalan.
“Sekarang makin kotor debunya.”
Kalau pagi dan siang, asap tak begitu tebal. Jelang sore hingga malam, katanya, seperti semburan mesin tua, bunyi menggelegar, asap hitam pekat. Perubahan warna itu diduga setelah PLTU 1 Indramayu menerapkan campuran biomassa dan batubara sebagai bahan bakar pengbangkit, biasa disebut co-firing.
“Waktu masih batubara memang kotor. [Tapi] setelah pakai biomassa, debunya tuh makin pekat,” timpal Dulmuin, warga Mekarsari, Kecamatan Patrol, Indramayu.
Kampung Dulmuin dan Surono, cukup berdekatan dengan infrastruktur PLTU 1 Indramayu. Secara administratif, wilayah pembangkit ini berada di Desa Sumuradem, Kecamatan Sukra. Debu polutannya juga bertebaran menimpali hingga ke Desa Tegal Taman dan Mekarsari.
Kalau angin bertiup ke timur atau ke barat, debu dari pembangkit listrik mengotori tanaman pertanian, pekarangan, hingga dalam rumah warga sekitar di tiga desa ini.
Dalam satu dasawarsa lebih pembangkit listrik beroperasi warga melaporkan beberapa masalah, seperti hasil panen mereka kian merosot, tangkapan laut terus menurun, maupun penyakit pernapasan berulang menyerang anak-anak dan orang tua atau lansia.
Baca juga: Berkonflik dengan PLTU Indramayu II Berbuntut Penangkapan, Warga Mekarsari Lapor Komnas HAM
Dulmuin dan buruh tani yang tergabung dalam Jaringan Tanpa Asap Batubara Indramayu (Jatayu) sudah berkali-kali protes sejak 2015. Mereka desak PLTU yang berkapasitas 3 x 330 Megawatt (990 MW) yang beroperasi sejak 2011 ini segera setop.
Jatayu juga menggugat izin lingkungan rencana pembangunan PLTU 2 Indramayu yang masuk persawahan. Proyek berkapasitas 1.000 MW itu kemudian dibatalkan setelah perlawanan menguat dan pemerintah Jepang menarik mundur dukungan pendanaan. Protes itu digubris dengan kriminalisasi terhadap dua petani pada 2018 dengan tuduhan menghina lambang negara, membalikkan bendera merah putih.
Mega proyek PLTU 1 Indramayu dibangun PT Pembangkit Jawa-Bali (PJB), di bawah PT PLN dan beroperasi sampai 2035. Proyek ini didanai melalui pinjaman US$562 juta dari China Development Bank, dan pembangunan perusahaan konstruksi Tiongkok, yakni, China National Electric Engineering Company (CNEEC) dan China National Machinery Industry Corporation (Sinomach), termasuk konsorsium bank lokal Indonesia dan APLN.
Kajian Responsibank menyebut, ada 10 kreditur utama pembiayaan PLTU 1 Indramayu. Sementara perbankan di Indonesia cukup besar mendanai proyek ini sejak 2014-2019.
Bank Rakyat Indonesia terbesar dengan pinjaman US$9.633 juta, Bank Mandiri US$4.031 juta, kemudian Bank Negara Indonesia (BNI) US$2.307 juta, dan Bank Central Asia (BCA) US$1.248 juta. Kemudian, Sarana Multi Infrastruktur US$765 juta, lalu investor dari Amerika Serikat, Inggris, Tiongkok dan bank dari Asia.
Baca juga: Warga Mekar Sari Khawatir Daya Rusak Pembangkit Batubara Sesi II Indramayu
Ancaman kesehatan masyarakat
Kekhawatiran utama warga terkait dampak buruk penggunaan teknologi co-firing pada pembangkit listrik yang diklaim sebagai solusi mengurangi penggunaan energi fosil.
Rodi, Ketua Jatayu mengatakan, sejauh ini tidak ada perubahan berarti setelah biomassa dibakar bersama batubara pada PLTU 1 Indramayu. Yang terjadi, dia duga justru memperparah kondisi lingkungan sekitar. Mulai dari hasil panen merosot, muncul penyakit-penyakit baru, sampai gangguan kesehatan masyarakat.
Dia sering dapat informasi soal penyakit, terutama gangguan pernapasan dari warga, anak-anak maupun lanjut usia. Penyakit mulai meningkat setelah PLTU 1 Indramayu beroperasi, hingga lebih satu dasawarsa ini.
Belum lama ini, ada balita satu tahun dilarikan ke klinik terdekat karena alami sesak napas, untung segera dirawat. Kecurigaannya, terdampak polusi dari PLTU.
Kasus bayi terserang penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) sudah pernah dilaporkan Walhi Jawa Barat pada 2015-2017. Mereka memperlihatkan kondisi kesehatan warga di sekitar PLTU 1 Indramayu memburuk.
Ada peningkatan penyakit ISPA dan gatal-gatal pada anak-anak di usia rentang 3-7 tahun serta orang tua atau lansia.
Data Dinas Kesehatan Indramayu pada 2019-2021 juga mencatat kasus ISPA terutama pada bayi di Kecamatan Patrol dan Sukra—tempat PLTU 1 Indramayu beroperasi–meningkat. Di Kecamatan Patrol, pada 2019 sebanyak 145 kasus, naik jadi 301 pada 2020, dan meningkat lagi pada 2021 jadi 289 kasus. Di Kecamatan Sukra dalam rentang waktu sama masing-masing 181, 183, dan 186 kasus ISPA terutama pada bayi dan balita.
Kalau dibandingkan dengan Kecamatan Kandanghaur dan Bongas yang bersebelahan dengan Sukra dan Patrol, angka penderita ISPA pada bayi dan balita pada rentang tahun sama lebih rendah.
Jumlah ISPA di Kecamatan Kandanghaur pada 2019, 2020 dan 2021 masing-masing 9, 99, dan 46 kasus, dan di Bongas masing-masing 27, 25, dan 50 kasus.
Dari gambaran data itu, merujuk pada laporan Walhi Jawa Barat, warga di sekitar pembangkit listrik harus memiliki biaya tambahan per bulan untuk pengobatan atau pemeriksaan bagi anak-anak.
Andhanto KM, Komunikasi Korporasi PJB mengklaim, penyakit gangguan pernapasan di Kecamatan Patrol dan Sukra merujuk pada laporan RKL/RPL PLTU 1 Indramayu periode April-September 2022 tak signifikan atau tidak berada pada “tingkat kritis.”
Data itu menyebutkan, penyakit pernapasan di Sukra 35% dan Patrol 37%.
Dia tak menunjukkan angka detail, hanya persentase penyakit enam bulan terakhir dalam 2022. Tetapi dia mengklaim tak ada peningkatan penyakit pernapasan selama beberapa tahun terakhir, terutama setelah penggunaan co-firing biomassa pada pembangkit listrik.
“Dengan demikian, dampak terhadap kesehatan masyarakat tidak menunjukkan tingkat kritis,” kata Andhanto melalui pesan singkat.
Dari pantauan Dulmuin, asap pembakaran PLTU setelah campur biomassa bahkan lebih kotor dari sekadar debu batubara. Asap yang keluar dari mulut cerobong lebih pekat dari sebelumnya.
Praktik co-firing ini dicurigai berpotensi memperpanjang dampak negatif yang selama ini mereka alami.
Koalisi untuk Energi Bersih (Kutub) Jawa Barat menduga kuat, aktivitas co-firing PLTU 1 Indramayu tetap akan memperburuk gangguan kesehatan warga. Analisis Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) juga menemukan, skema co-firing biomassa justru berdampak makin memperburuk kualitas udara akibat dari gas amonia yang terlepas ke udara.
Emisi pembakaran biomassa disebut lebih sarat partikel halus (fine particulate matter) dan emisi CO2-nya cenderung lebih terkonsentrasi. Partikel halus, tercatat sangat buruk bagi pernapasan.
Pada riset CREA dan Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebutkan, Jawa Barat sebagai provinsi dengan tingkat polusi udara tertinggi. Polusi udara ini disebut mengurangi harapan hidup 45 juta penduduk.
Sementara, ada peningkatan emisi polutan udara yang signifikan, yaitu, 110% selama satu dekade terakhir, hanya dari pembangkit listrik tenaga batubara.
Analisis itu juga memperkirakan, emisi pembangkit listrik di Indonesia pada 2022 bertanggung jawab atas 10.500 kematian akibat polusi udara dan beban ekonomi sebesar US$7,4 miliar setara Rp109,0 triliun dari dampak kesehatan terkait.
Jumlah itu disebut jauh lebih tinggi seiring peningkatan kapasitas pembangkit listrik sebelum mencapai puncak pada 2028 dan angka kematian diperkirakan meningkat jadi 16.600 per tahun. Beban ekonomi kesehatan bakal mencapai US$11.8 miliar (Rp175,2 triliun) per tahun.
Chudchawal Juntarawijit, dari Departemen Sumber Daya Alam dan Lingkungan, di Universitas Naresuan, Thailand, menyatakan, tanpa pengendalian tepat, polusi pembangkit listrik tenaga biomassa dapat menyebabkan masalah kesehatan yang signifikan bagi penduduk sekitar.
Dalam risetnya tentang masalah penggunaan biomassa menyimpulkan, penduduk yang tinggal di dekat pembangkit listrik melaporkan insiden sangat tinggi dari berbagai penyakit pernapasan dan gejala yang tak terlihat pada mereka yang tinggal lebih jauh.
“Risiko kesehatan parah ini jelas terkait dengan kedekatan dengan pembangkit listrik,” kata Juntarawijit dalam studinya.
Bermasalah dari hulu sampai hilir
Tarmidi, Koordinator Jayatu bersama Dulmuin beberapa kali memeriksa dan memantau siapa pemasok bahan baku biomassa berupa serbuk gergaji ke PLTU 1 Indramayu. Belum ada kejelasan pembangkit listrik ini dapat pasokan dari siapa, yang dia amati, setelah pembakaran dengan biomassa lingkungan makin memburuk.
Trend Asia—organisasi masyarakat sipil yang fokus pada riset dan kampanye soal transisi energi di Asia—menemukan, bahan biomassa untuk PLTU 1 Indramayu disuplai dari wilayah sekitar Indramayu, Cirebon, Subang, dan Kuningan. Ia berupa serbuk kayu yang dikirim menggunakan truk dengan kapasitas 5-6 ton.
Kebutuhan biomassa dari pemasok ditemukan sebatas suplai untuk kebutuhan pembakaran bersama batubara atau skema co-firing pada pembangkit listrik tanpa melihat kualitas bahan biomassa.
Perusahaan klaim belum ada kerjasama dengan Perum Perhutani, dalam memasok bahan biomassa, namun data terbuka yang diolah Trend Asia menyebut jauh sebelumnya PLN, sudah meneken nota kesepahaman (MoU) dengan Perhutani dan PTPN untuk memastikan suplai biomassa untuk PLTU co-firing di Pulau Jawa, termasuk Jawa Barat.
Perhutani sudah menyiapkan Kelompok Petani Hutan (KPH) Sukabumi, Purwakarta, Sumedang, dan Indramayu untuk mengembangkan tanaman gamal dan kaliandra. Rencana pengembangan untuk hutan tanaman energi ini sudah ada sejak 2015.
Merujuk data rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL), pembangkit listrik ini mestinya pakai wood pellet atau pelet kayu–satu jenis bahan bakar yang diklaim ramah lingkungan. Namun, Andhanto mengatakan, mereka pakai sekam padi dan serbuk gergaji yang dipasok dari PLN Energi Indonesia.
Terhitung sejak Juni 2021-Juni 2023 PLTU 1 Indramayu disebut gunakan biomassa 30.663.720 ton dalam pembakaran bersama batubara. Biomassa sebanyak itu dihitung dari rata-rata yang dibakar per hari 2% (240 t/day).
Dia yakin, emisi pembangkit listrik dengan skema co-firing bersifat netral karbon dan tak hasilkan emisi CO2 tambahan di udara. “Hingga carbon emission reduction (pengurangan emisi karbon) terjadi dibandingkan dengan pembakaran 100% batubara.”
Kendati demikian, dari perhitungan Trend Asia, pembakaran biomassa yang dipakai PLTU 1 Indramayu menghasilkan emisi hingga 54.470,17 ton emisi setara karbon.
Di PLTU 1 Indramayu, pembakaran diproyeksikan pakai akasia dan kaliandra, dua jenis biomassa ini kemudian Trend Asia hitung kadar emisinya. Dalam pemeriksaan lebih lanjut, dari bahan biomassa itu, Trend Asia menyebut, tetap ada potensi emisi co-firing.
Dari perhitungan produksi pelet kayu 229,476,8 ton biomassa dikali 0,11 kg CO2e/100 ton, maka setiap tahun emisi dari produksi pelet kayu untuk pasokan ke PLTU 1 Indramayu sebesar 252 kg karbon dioksida (CO2). (Bersambung)
*******
*Liputan ini merupakan Fellowship Trend Asia dalam program “Food vs Energy Fellowship 2023”
Pangan Perempuan Tani Indramayu dalam Himpitan Pembangkit Listrik Batubara