Warga Mekar Sari Khawatir Daya Rusak Pembangkit Batubara Sesi Dua Indramayu

 

Domo, bersama warga Desa Mekar Sari, menolak pembangunan PLTU II di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Mereka tak ingin hidup makin merana kala lingkungan rusak, lahan pertanian dan hasil tangkapan makin tak menentu.

Mereka sudah sampaikan keberatan mulai kepada kepala desa, camat, bupati, gubernur, DPRD bahkan hingga aksi ke istana negara, tetapi tak dapat tanggapan.

“Jalan begitu panjang” kata Domo, warga Mekar Sari dalam diskusi di Jakarta, baru-baru ini.

Warga yang mengadu kepada berbagai elemen pemerintah dapat jawaban hampir senada, ‘untuk pembangunan’ dan ‘atas perintah pemerintah yang lebih tinggi.’

Desa Mekar Sari di Kecamatan Patrol, Indramayu satu dari tiga desa yang bakal jadi lokasi pembangunan pembangkit batubara Indramayu II dengan kapasitas 2×1.000 megawatt dibiayai Japan International Cooperation Agency (JICA).

Saat ini, proses tender dan pembebasan lahan berlangsung. Dalam catatan Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas proyek Rp20 triliun ini mulai konstruksi 2017 dan rencana operasi 2019.

Proyek di bawah tanggung jawab penuh PT.PLN ini diklaim guna mendukung penyediaan sistem listrik dan mengurangi krisis listrik Jawa dan Bali. Ia juga untuk mendukung pertumbuhan kawasan industri Jakarta wilayah timur dan Jawa Barat.

Argumen ini jadi salah satu poin penolakan warga.

“PLTU itu listrik bukan untuk warga Indramayu, karena kami sudah dapat listrik dari PLTMh Jatiluhur. Kami sudah teraliri listrik dari air, pembangkit lebih bersih,” kata Jani, warga lain.

Bagi warga penolak PLTU di tanah seluas 275,4 hektar di dua kecamatan: Kecamatan Patrol dan Sukra, berimbas pada hasil pertanian dan tangkapan ikan, seperti pengalaman daya rusak PLTU I Indramayu yang beroperasi sejak 2010.

Dia bilang, kualitas bawang hasil panen warga menurun. Wilayah tangkap nelayanpun terancam. Awalnya, nelayan tangkap ikan di perairan yang kini berdekatan dengan PLTU I. Ada PLTU, mereka pindah lokasi tangkap dan ternyata bakal menjadi PLTU II. Warga khawatir, makin sulit bertani maupun menangkap ikan.

“Kami bisa kehilangan mata pencaharian, bawang hancur semua. Biasa bisa dapat Rp60.000 per hari, sehari bisa dapat dua atau tiga liter beras. Sedih saya. Harus minta tanggungjawab pemerintah yang menindas masyarakat kecil,” ucap Domo.

Mulanya, kata Jani, masyarakat menerima PLTU karena tak begitu paham dampak buruk pembangkit yang mengandalkan pembakaran batubara ini.

“Kami merasa industri ini aman, belakangan yang saya tahu pemerintah dan PLN tak bicara apa adanya,” ucap Jani.

 

Sumber: KPPIP

 

Dia mencontohkan, tak ada pelibatan warga, terutama petani dan nelayan terdampak, saat konsultasi publik.

“Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) kan harus ada persetujuan warga sekitar. Faktanya dimana-mana PLTU ditolak tapi pemerintah terus memaksakan. Bahkan menggunakan lahan produktif untuk pabrik dan PLTU.”

“Kita jadi impor beras, kan aneh,” kata Jani.

Protes warga juga berlangsung hingga ke Jepang. Mereka menuntut JICA membatalkan pendanaan PLTU Indramayu II yang tak mengajak warga rembuk.

 

Standar perlindungan lingkungan  

Pius Ginting dari Yayasan Auriga mengatakan, penghentian energi fosil sebagai andalan pembangkit listrik penting karena standar perlindungan lingkungan buruk.

Mengolah data Jose Goldemberg dan Oswaldo Lucon dalam Energy, Environment and Develompent, Pius mengatakan total 550 miliar ton per tahun karbondioksida hasl dari pembakaran energi fosil menyumbang 75% pemanasan global.

Selain itu, 2.500 ton merkuri, 3,1 miliar ton partikel halus, 31 miliar  ton sulfur dan 200.000 ton tumpahan minyak ke laut per tahun.

Kondisi ini,  katanya, menyebabkan risiko penyakit jantung, pernafasan, menimbulkan hujan asam yang merusak properti dan kematian flora dan fauna.

“Eksternalitas ini tak pernah dihitung,” kata Pius.

Di Indonesia, katanya, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 21/2008 tentang pencemaran PLTU bikin standar perlindungan lingkungan tiga kali lebih buruk dibanding Tiongkok dan Jepang.

PLTU II Indramayu,  meski menggunakan ultra super critical boiler-teknologi yang diklaim ramah lingkungan dan hemat bahan bakar serta emisi karbondioksida rendah, tak menjamin masyarakat sekitar tak terdampak pencemaran.  “Saatnya pemerintah beralih ke energi terbarukan.”

Agus P Sari, pegiat lingkungan bilang, konsentrasi karbondioksida terus meningkat tajam akibat pembakaran energi fosil untuk keperluan pembangkit listrik.

Konsentrasi karbondioksida mendekati 400 ppm, melonjak jauh sebelum ada industri yakni 270 ppm. “Belum pernah sepanjang sejarah setinggi ini sejak 650 ribu tahun lalu. Ini sudah melampaui level psikologis,” kata Agus.

Mengutip data Global Coal Plant Tracker 2016 dan Global Wind Council 2016, Agus mengatakan tren penggunaan batubara sebagai energi pembangkit listrik lebih kecil dibanding tenaga angin dan tenaga surya, batubara hanya 80 gigawatt, solar PV dan angin 120 gigawatt.

“Risikonya mangkrak. Potensi renewable energy kita besar, rugi kalau nggak dipakai itu energi terbarukan.”

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,