Mongabay.co.id

Penolakan Warga Lereng Slamet Terhadap Proyek Air Bersih Pemalang

 

Setelah beberapa tahun menghilang isunya, pada tahun 2024 rencana proyek yang diklaim sebagai proyek strategis nasional muncul kembali. Proyek itu adalah pembangunan sarana air bersih dengan mengambil air di lereng selatan Gunung Slamet, Jawa Tengah. Padahal, sumber air tersebut berada di wilayah Kabupaten Banyumas, namun peruntukkannya bagi Kabupaten Pemalang.

Warga terkejut karena Pemkab Pemalang melalui PDAM setempat melayangkan surat kepada para pengurus Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPDH) di lereng selatan Gunung Slamet berupa pemberitahuan mengenai proyek itu. Bagi para pegiat LMDH jelas memunculkan pertanyaan, perihalnya pemberitahuan tetapi isinya langsung meminta izin.

Apalagi warga di lereng selatan Gunung Slamet tidak pernah diajak untuk berdiskusi. Janji untuk mempertemukan warga dengan pihak PDAM belum tertunaikan. Inilah yang kemudian memicu LMDH dan LPDH untuk memprotesnya. Bahkan, pada Senin (5/2/2024), perwakilan dari 8 desa baik LMDH dan LPDH meliputi Desa Baseh, Kalisalak, Windujaya, Melung, Ketenger, Karangmangu, Kemutug Lor dan Karangsalam Lor menggeruduk DPRD Banyumas.

Ketua LMDH Gempita Desa Ketenger Purnomo mewakili LMDH dan LPDH menegaskan bahwa forum konsultasi yang idealnya dilaksanakan oleh Pemkab Pemalang tidak cukup menyerap informasi. “Di sisi lain, proyek masih tetap berjalan meski kami melihat belum ada AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan),”ungkap Purnomo saat beraudiensi dengan Ketua Komisi II DPRD Banyumas Subagyo.

Menurutnya, proyek ini terhenti sekitar tahun 2022 dan ternyata bakal dijalankan kembali pada 2024. Masyarakat tentu saja gerah, lantaran telah meninggalkan partisipasi warga. “Apalagi, menurut penuturan para pekerja proyek, kegiatan penggalian lahan telah banyak menebang pohon di hutan lindung. Jelas saja, ini merupakan bagian dari perusakan lingkungan,”ungkapnya.

Dijelaskan oleh Purnomo, melalui Perpres No.79/2019, pemerintah telah menetapkan percepatan pembangunan, salah satunya di Kawasan Pemalang. Kegiatan di kabupaten setempat adalah membangun jaringan air bersih sepanjang 19 kilometer untuk masyarakat Kecamatan Pulosari.

“Karena tidak memiliki wilayah sumberdaya air, maka Pemalang mencari sumber air di daerah lereng selatan Gunung Slamet. Ada tiga sumber air yang masuk kawasan pengelolaan 2 LMDH dan 6 LPHD di wilayah Banyumas, tepatnya di Kecamatan Baturraden dan Kedungbanteng. Inilah yang menimbulkan gejolak. Apalagi, kami tidak dilibatkan secara aktif dalam proyek tersebut,”ujarnya.

baca : Alirkan Air Bersih dengan Buat Terowongan 550 Meter Tembus Bukit Secara Manual, Begini Kisahnya

 

Warga menggeruduk DPRD Banyumas menyuarakan penolakan proyek air bersih. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Kronologi proyek 

Proyek tersebut bermula tahun 2017 hingga 2018 dimulai dengan kunjungan pemerintah desa (Pemdes) seluruh Kecamatan Pulosari ke LMDH Desa Ketenger, Kecamatan Baturraden. Rombongan tersebut berkomunikasi dengan para tokoh terkait rencana pemanfaatan air dari kawasan hutan di lereng Selatan Gunung Slamet.

“Sebetulnya, secara prinsip baik tokoh masyarakat maupun Pemerintah Desa Ketenger tidak keberatan dengan rencana ini, mengingat kebutuhan air adalah faktor yang sangat penting bagi manusia. Setelah kesepakatan tercapai, maka dibentuklah tim survei pencarian sumber air yang terdiri dari unsur masyarakat Desa Ketenger dengan tim Pemalang,” katanya.

Langkah berikutnya adalah melakukan surei dan ditemukan beberapa potensi mata air yang secara administrasi masuk di dalam kawasan hutan Desa Ketenger. Untuk mengantisipasi dampak negatif bagi pengguna air di Kabupaten Banyumas, maka ditentukanlah Sumber Air “Lembeyan” yang memiliki debit cukup besar namun tidak masuk ke dalam sungai, tetapi kembali ke dalam tanah.

“Tahun 2019  hingga pertengahan tahun 2021 komunikasi masih berjalan baik, terutama membicarakan teknis pelaksanaan pekerjaan dan komitmen terhadap konservasi hutan. Tahun 2021 Pemerintah Kabupaten Pemalang bersama PDAM Pemalang menggelar Forum Konsultasi Publik untuk membahas dokumen AMDAL. Dalam forum ini tidak semua unsur masyarakat yang berkepentingan diundang. Namun, tetap dibentuk perwakilan masyarakat untuk membahas sidang AMDAL,”jelasnya.

Sementara dokumen AMDAL masih dalam proses pembahasan, tiba-tiba di awal tahun 2022 proyek pembangunan jaringan air bersih ini berjalan tanpa bermusyawarah dengan para tokoh masyarakat termasuk diantaranya 8 LMDH Gunung Slamet Selatan selaku mitra kerjasama Perhutani dalam pengelolaan hutan.

“Sepanjang tahun 2022 upaya protes kepada Pemerintah Kabupaten dan PDAM Pemalang telah dilakukan berkali-kali, namun kegiatan tetap berjalan dengan dalih proyek strategis nasional harus segera selesai. Hingga pada suatu waktu terjadi peristiwa terjadi longsoran tanah di kawasan hutan Desa Kalisalak Kecamatan Kadungbanteng dan sekitarnya. Setelah peristiwa longsoran tanah di kawasan hutan tersebut menjadi perhatian media, maka pada akhir tahun 2023, proyek ini berhenti tanpa status yang jelas,” ujarnya.

Tetapi kemudian tahun 2024 muncul kembali, bahkan langsung meminta izin. Sehingga pemangku kepentingan yang lereng Gunung Slamet melakukan penolakan. “Banyak alasan yang kami sampaikan. Kalau hutan rusak, kami merupakan yang pertama jadi korban. Dan itu sudah terbukti dengan adanya longsoran. Kami meminta keadilan,”tandasnya.

baca juga : Tak Perlu PLN, Warga Lereng Slamet Mandiri Energi dari Sumber Air [1]

 

Pipa-pipa mulai dipasang di lereng selatan Gunung Slamet. Foto : Istimewa

 

Juru bicara Forum LMDH Agung Budi Satrio mengatakan sebetulnya masyarakat tidak menolak begitu saja, melainkan seharusnya ada proses yang benar terkait proyek tersebut.

“Kami melihat memang kurang pas dalam perizinan. Karena itulah, kami datang ke DPRD, agar dewan dapat memfasilitasi pertemuan warga dengan Pemkab Pemalang,”katanya.

 

Satu Suara Penolakan 

Penolakan tidak hanya masyarakat yang berada di wilayah hulu saja, melainkan juga di hilir. Jauh-jauh hari, Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) menolak rencana proyek tersebut.

Hal itu disampaikan oleh Kepala Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Banyumas Kresnawan Wahyu Kristoyo yang pernah menggelar pertemuan dengan P3A. “Pada saat pertemuan tersebut P3A menolak proyek itu,”ujarnya.

Kresnawan memaparkan kondisi eksisting mata air Sungai Logawa merupakan bagian sumber mata air yang melayani 13 daerah irigasi (DI) untuk pengairan seluas 3.019 hektare. “Selain itu, masih banyak masyarakat yang belum teraliri sarana air bersih. Mereka tersebar di 6 desa yakni Baseh, Sunyalangu, Babakan, Kalisalak, Dawuhan Kulon dan Dawuhan Wetan dengan jumlah 2.278 keluarga atau 10 ribu jiwa lebih,”jelasnya.

Apalagi, lanjut Kresnawan, berdasarkan kajian yang dilaksanakan oleh DPU Banyumas bersama Tim Hidrologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, ada bendung yang bersumber dari mata air lereng selatan Gunung Slamet mengalami defisit air.

“Kami melakukan kajian tahun 2022 lalu. Hasilnya, 6 bendung yakni Gomblang, Tengah II, Tlaga, Pesandor, Curug dan Metenggang mengalami defisit. Ada yang mulai April dan Mei hingga Oktober,”ujarnya.

Dalam konteks proyek air bersih yang dilakukan Pemkab Pemalang, DPU Banyumas telah merekomendasikan untuk melihat neraca air, dengan melakukan penghitungan terlebih dahulu terutama pada debit terendah pada musim kemarau. “Sesuai dengan UU No.17/2019 tentang Sumber Daya Air, negara harus memprioritaskan hal rakyat atas air terutama kebutuhan pokok sehari-hari, pertanian rakyat dan sistem penyediaan air minum,” jelasnya.

baca juga : Menjaga Hutan Gunung Slamet Agar Tak Jadi Silent Forest

 

Panorama Gunung Slamet yang terlihat dari Dusun Kalipagu, Desa Ketenger, Kecamatan Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah. Hutan di lereng gunung tertinggi di Jateng itu masih bagus, sehingga masyarakat dapat merasakan manfaatnya, mulai dari air sampai wisata alam. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Sementara Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Banyumas juga telah melakukan protes terhadap proyek tersebut. Bahkan, DLH mengirimkan surat penolakan dari PT Sumarah Energi dan PT Jaladri Pratama Banyumas, perusahaan penggarap pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) yang menggunakan suplai air dari lereng Gunung Slamet. Surat tersebut sebagai pertimbangan kepada Pemprov Jateng.

Kepala DLH Banyumas, Widodo Sugiri menyampaikan, pihak Pemalang inkonsisten terkait proyek tersebut. Pertama menyebutkan ada 6 mata air dengan debit 112 liter/detik, sedangkan kebutuhan yang mereka ajukan itu 24 liter/detik. “Kenapa harus keseluruhan 6 mata air itu mereka ambil? Belum lagi kejelasan batas wilayah atau desa yang dilalui jaringannya,” ujarnya.

Di tempat yang sama, Ketua Komisi II DPRD Banyumas Subagyo menyatakan meski pemerintah pusat memiliki kuasa, tetapi jika tidak ada koordinasi dengan daerah, tentu harus dilawan. “Ini kan berkedok proyek strategis nasional. Namun, kalau itu tidak mengindahkan kaidah atau aturan yang ada, maka harus dilawan,” tegasnya.

Dia mengatakan berdasarkan aspirasi dan pandangan dari dinas terkait yang masuk ke DPRD, Banyumas masih membutuhkan sumber air di lereng selatan Gunung Slamet. “Bagaimana mungkin, di sini masih membutuhkan, malah akan dialirkan ke daerah lain, permanen lagi. Fakta di Banyumas, pada musim kemarau ada dua kecamatan yang mendapatkan suplai air dari lereng Gunung Slamet mulai kekeringan di antaranya adalah Kembaran dan Sokaraja. Air dari lereng Gunung Slamet masih dibutuhkan guna menyangga Banyumas,” ungkapnya.

Apalagi, kontraknya dan kompensasi untuk Banyumas tidak jelas, sehingga perlu ditelusuri lebih mendalam, apakah ada oknum yang bermain. “Kita akan telusuri, siapa jadi oknum. Kenapa mengabaikan Banyumas?” (***)

 

Exit mobile version