Mongabay.co.id

Oligarki Tambang dan Energi di Balik Capres-Cawapres, Apa yang Rawan Tersandera?

 

 

 

 

 

 

Pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang diikuti tiga pasangan calon tampak kental dengan kepentingan oligarki tambang dan energi. Ada banyak nama taipan atau konglomerat raksasa terafiliasi dengan para calon kandidat atau jadi tim pemenang pilpres 2024. Jejaring para oligark dalam jaringan capres dan cawapres dinilai sarat kepentingan bisnis dalam mempengaruhi kebijakan kontestan dan partai politik pendukung. Dalam pemerintahan, oligarki menyandera berbagai hal.

Dalam penelusuran Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) situasi pemilu 2024 ini tidak jauh berbeda dengan pemilu 2019, para pelaku bisnis yang sama memiliki relasi, bahkan terlibat langsung sebagai tim pemenang  capres dan cawapres.

Sebagaimana pemilu sebelumnya, kali ini disebut tak akan berdampak pada terurusnya krisis dan masalah warga maupun lingkungan.

Ritual elektoral lima tahunan ini justru menguatkan cengkraman oligarki yang akhirnya mudah membajak hukum, menjarah kekayaan alam dan sumber-sumber agraria. Juga, anggaran publik untuk mempertahankan atau mengekspansi kekayaannya.

“Mereka ini [oligarki] membagi diri dari tiga kandidat. Sebelumnya,  kita punya pengalaman pilih satu dapat dua, ini tak menutup kemungkinan, pilih salah satu dapat tiga,” kata Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional pada diskusi beberapa waktu lalu.

 

Baca juga: Laporan Jatam Beberkan Jaringan Oligarki Tambang dan Energi di Kubu Capres dan Cawapres

 

Tongkan÷g batubara hilir mudik di Sungai Mahakam di Samarinda, Kalimantan Timur. Provinsi ini merupakan produsen terbesar batubara di Indonesia. Foto : Kemal Jufri/Greenpeace.

 

Dalam kajian Jatam itu,  ada ribuan nama tergabung dalam tim pemenang ketiga capres-cawapres. Jatam hanya mencatat nama-nama penting yang terlibat dan terkait dalam bisnis tambang dan energi dalam tim pemenangan para kandidat. Banyak dari mereka juga memiliki jabatan strategis di Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).

Tercatat, setidaknya ada delapan orang pengusaha berada di kubu paslon nomor urut 01 Anies Bawedan-Muhaimin Iskandar. Paslon nomor 02 Prabowo Subianto-Gibran Raka Buming, tercatat paling banyak berjejaring dengan pengusaha tambang, ada 21 orang, termasuk keduanya punya bisnis di sektor ekstraktif. Sementara, di kubu nomor urut 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD, ada sembilan pengusaha tambang dan energi.

Menurut Jamil, narasi-narasi kampanye yang selama ini muncul sekadar menampilkan sosok para capres-cawapres dari beragam cerita-cerita baik. Namun, katanya, di balik para kontestan pemilu hampir tidak pernah dibicarakan. Terutama,  keterhubungan para kandidat dan tim pemenangan dalam jejaring keluarga dan bisnis yang ternyata sama.

“Keterhubungan jejaring bisnis dan keluarga sama, tetapi mereka berada di paslon yang berbeda. Keterhubungannya jelas, satu grub bisnis.”

Dia mengatakan,  keterhubungan bisnis mulai dari pengusaha hingga di lingkar elit politik ini menguatkan posisi oligarki dalam pemilu 2024. Cengkeraman oligarki sudah sedemikian rupa menguasai proses dari hulu ke hilir, seperti terhadap sumber daya mineral dan mengambil untung dari penambangan tanpa mempertimbangkan dampaknya pada masyarakat dan lingkungan.

 

Dokumen:  Persoalan  tambang dan energi

Capres Cawapres, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. Foto: Screenshot dari laporan Jatam

 

Berbagai biaya eksternalitas dari dampak penambangan, kata Jamil,  rakyat yang menanggung. Dari ongkos sosial, kerugian rakyat kena bencana, laut tercemar, sungai rusak, sampai harus pindah tempat tinggal dari satu pulau ke pulau lain, katanya,  biaya tak pernah dihitung.

“Kekayaan mereka dari darah, derita, dan nyawa orang-orang di kampung. Kita bisa hitung berapa orang yang meninggal di lubang tambang di Kalimatan Timur, berapa yang meninggal akibat ledakan di smelter. Itu tidak lebih dari angka-angka statistik bagi mereka.”

Padahal, katanya,  satu nyawa punya cerita, punya keluarga, dan kehidupan. “Tidak bisa disempitkan [sekadar] dalam angka-angka statistik.”

Proses penyusunan kebijakan dan regulasi yang sarat kepentingan bisnis juga jadi sorotan.

Pada masa pemerintahan Jokowi, misal, ada serangkaian revisi Undang-undang yang melibatkan hampir semua partai politik yang kini berada dalam tiga kubu pasangan capres-cawapres. Misal, saat proses revisi UU KPK 2019.

Egi Primayogha, anggota badan pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) melihat bahaya oligarki sangat nyata selama masa Jokowi dua periode.

Mulai dari kebijakan publik bermasalah marak dan kebijakan tak berpihak pada kepentingan publik. Kalau melihat dari 2019, paling tidak, ada revisi UU KPK, kemudian UU Minerba, hingga omnibus law pada 2020, dan terbaru UU IKN, disusul dengan UU Mahkamah Konstitusi.

“Undang-undang punya relasi dengan kepentingan oligarki. Itu saya rasa cukup untuk jadi contoh oligarki jadi masalah serius di republik ini,” katanya.

Menurut dia, sistem politik oligarki punya peran cukup vital terhadap penyusutan ruang sipil di Indonesia. Sistem ini, katanya, sangat berbahaya, dan akan terus terjadi.

“Realitas itu jangan kita lupakan, politik dinasti hari-hari ini jangan sampai kita lepaskan dari realitas politik oligarki,” kata Egi.

Pada akhirnya, katanya, politik dinasti Jokowi menghasilkan kecurangan pemilu. Cerminannya,  bisa terlihat dari dugaan politisasi bantuan sosial, hingga dugaan pengerahan aparat. “Itu juga sama-sama hasil dari politik oligarki.”

Baginya, kecurangan pemilu tidak bisa dilihat secara sempit hanya dari pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi, pencalonan Gibran, dan hal-hal lain yang berkaitan. Sebetulnya, kata Egi, kalau melihat dari lensa sistem politik oligarki, warga sudah mendapatkan ketidakadilan sejak sebelum Gibran dicalonkan.

Kalau berbicara sistem politik oligarki, katanya, rakyat tidak mendapatkan pilihan yang non-oligarki. Di balik semua capres-cawapres saat ini ada oligarki, dan siapapun yang terpilih hasilnya tidak akan jauh berbeda dengan 10 tahun presiden terakhir.

“Saya khawatir, nanti siapapun yang menang, mereka akhirnya berkolaborasi lagi. Mereka bergabung lagi, berkonsolidasi lagi. Kita sebagai warga hanya dipakai untuk ajang transaksi satu sama lain. Kita jadi warga yang insignifikan lagi ketika pemilu selesai.”

Menurut Egi, pemilu yang ditunggangi kepentingan oligarki juga sangat rentan korupsi.  “Yang perlu diwaspadai, korupsi berskala besar, yaitu state capture.

 

Calon presiden dan wakil yang akan berlaga dalam pemilu 2024 ini. Foto: Mongabay Indonesia

 

Tersandera oligarki

Bivitri Susanti, Dosen STHI Jentera menjelaskan bagaimana oligarki menyandera negara lewat state capture coruption.

State capture corruption, katanya, bukan tindak pidana korupsi, tetapi lebih jauh bagaimana state atau negara tersandera dalam mengelola negara  ini. Oligarki sebagai kekuatan modal yang berkuasa, untuk mempertahankan dan memperluas kekayaan.

Secara ringkas, Bivitri memaparkan tiga hal yang tersandera oligarki.

  1. Legislasi, terutama di level Undang-undang karena dinilai paling berbahaya.
  2. Pemberian izin-izin pertambangan, perkebunan, dan lain-lain.
  3. Menyandera aparat penegak hukum dan pengadilan ketika warga harus berhadapan dengan korporasi,

Dalam legislasi, katanya, oligarki mendapatkan keistimewaan dengan revisi UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), menciptakan UU Cipta Kerja, dan UU Ibukota Negara (IKN) Nusantara. Kemudian, pelemahan UU KPK.

Meski proyek strategis nasional (PSN) mulai dari awal pemerintahan Jokowi, tetapi penguatan ada di UU Cipta Kerja. Hal itu, katanya, belum termasuk izin-izin yang diputihkan, izin-izin yang dibuatkan kerangka legislasi agar lebih mulus untuk dipajaki–yang dimaknai sebagai penerimaan negara–juga ada di UU Cipta Kerja.

Produk UU Cipta Kerja ini, katanya,  sangat luar biasa instan untuk kepentingan oligarki. Jadi, kalau membicarakan soal perkebunan, pertambangan, sampai proyek strategis nasional semua all in di UU Cipta Kerja.

Kemudian, bagaimana pelemahan Undang-undang atau meminimalkan pengawasan (checks), misal, revisi UU KPK. Menurut Bivitri, ini sebuah “kegilaan” di level pembuatan keistimewaan untuk tidak bisa diawasi. Prosesnya, produk pengawasan dimatikan terlebih dulu.

Menurut Bivitri, setelah semua terbajak, dibuat perisai bernama PSN. Kalau sudah PSN, segala cara bisa dilakukan untuk membebaskan lahan dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum seperti di UU Cipta Kerja, percepatan izin-izin dan lain-lain.

Dengan PSN, katanya, bisa dengan mudah penegak hukum –meskipun tak sesuai kerangka hukum –bahkan TNI bisa saja diturunkan hingga berkonflik dengan warga yang mempertahankan hak mereka.

“Jadi,  hukum-hukum ini memang dibuat begitu baiknya sebagai perisai dari praktik-praktik oligarki,” kata Bivitri.

Dia juga sebutkan bagaimana cara oligarki melakukan penyanderaan, yakni, masuk melalui sistem pemilu dan partai politik dan beroperasi melalui proses pengambilan keputusan.

“Jangan kaget kalau nanti setelah pemilu kita ganti presiden 20 Oktober 2024, praktiknya cenderung sama, kecuali kalau kita melakukan perombakan bersifat sistemik,” kata Bivitri.

 

Capres dan Cawapres 01, Prabowo Subianto dan Gubran Rakabuming Raka. Foto: Screenshot laporan Jatam

 

Bagaimana rakyat?

Menurut Jamil,  masyarakat di lapangan harus bersolidaritas untuk tetap saling jaga, mempertahankan kampung halaman masing-masing. “Karena cara kita melihat kampung itu sangat berbeda dengan (cara pandang) para kandidat,” katanya.

Para kandidat,  katanya, hanya melihat sumber daya alam di kampung-kampung untuk dieksploitasi tanpa pernah melihat ada kehidupan, proses sosial-budaya, bahkan kehidupan yang bukan manusia.

Egi bilang,  tak mudah menghadapi situasi politik saat ini. Rakyat, katanya, sudah kalah berkali-kali. Untuk itu, katanya, perlu memikirkan hal lebih luas, mengidentifikasi permasalahann agar tak terulang kembali lima tahun kedepan.

“Dalam pemilu-pemilu berikutnya kalau sistem masih seperti ini, berarti ada sesuatu yang berbahaya di balik ini semua.”

Bivitri mengingatkan,  para pemilih waspada dan jangan mau dikelabui dengan cara pandang “politik adalah lima tahun sekali dalam pemilu.” Partisipasi politik, katanya, adalah setiap hari.

“Hak-hak kita harus diperjuangkan setiap hari. Jangan nunggu lima tahun sekali, jangan nitip-nitip aja kepada para paslon capres-cawapres maupun para anggota legislatif, kita harus bergerak.”

Warga, katanya,  jangan mudah terintimidasi kalau tidak mau menggunakan hak pilih. Namun, dia sarankan tetap datang untuk gunakan kertas pemilih agar tak dipakai orang lain.

 

Capres dan Cawapres 03, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. Foto: Screenshot dari laporan Jatam
Kawasan industri  nikel di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Morowali  menyebabkan persoalan lingkungan seperti  pencemaran udara dan air berdampak pada sosial, ekonomi dan kesehatan  masyarakat. Foto: Walhi Sulteng.

*******

 

Laporan Jatam Beberkan Jaringan Oligarki Tambang dan Energi di Kubu Capres Cawapres

Exit mobile version