Mongabay.co.id

Sengketa Lahan Berbuntut Jerat Hukum Petani Bidar Alam

 

 

 

 

 

Sengketa lahan antara warga dan perusahaan perkebunan sawit berbuntut jerat hukum terjadi di Sumatera Barat.  Zulkarnaini, petani dari Nagari Bidar Alam, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat ini  kena vonis hukum lima bulan penjara terjerat UU Perkebunan atas laporan perusahaan sawit, PT Ranah Andalas Plantation (RAP). Zulkarnaini panen di lahan sendiri yang sedang bersengketa dan perusahaan melaporkan itu sebagai pencurian pada 2020, kasus lanjut persidangan pada 2023.

“Memutuskan Zulkarnaini bersalah dan dihukum lima bulan penjara dikurangi masa penahanan,” kata Dharma Setiawan, Hakim Ketua Pengadilan Negeri Koto Baru Solok,  25 Januari lalu. Hakim anggota yang mendampingi Aldi Naradwipa Simamora dan Ade Rizky Fachreza selaku hakim anggota.

Mereka menjerat Zulkarnaini dengan Pasal 107 Huruf d UU Nomor 39/2014 tentang Perkebunan junto 55 KUHP.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang menilai,  putusan majelis hakim Pengadilan Koto Baru terhadap Zulkarnaini tak mencerminkan keadilan karena mengesampingkan konflik lahan dan pelanggaran hukum perusahaan.

Alfi Syukri, pengacara LBH Padang mengatakan,  dakwaan dan tuntutan  terhadap Zulkarnaini sangat dipaksakan. Awalnya, pakai Pasal 363 KUHP tentang pencurian, namun terjadi perubahan setelah penuntut umum mendengar kesaksian dari ahli pidana.

“Ahli pidana menyatakan, Pasal Pidana 363 harus membuktikan kondisi batin jahat, namun terdakwa meminta izin kepada perusahaan dan kepolisian sebelum memanen memperlihatkan tidak ada kondisi batin jahat.”

Dengan tak terpenuhi pasal ini,  penuntut umum pun gunakan Pasal 107 Huruf d UU Nomor 39/2014 tentang Perkebunan Junto 55 KUHP.

Alfi bilang, perusahaan adalah pelanggar hukum dan tak memiliki legalitas terbukti dalam persidangan.

“Mulai hak guna usaha tidak ada, izin lokasi tidak aktif dan telah mendapatkan surat peringatan ketiga dari Pemerintah Solok,” katanya.

Selain itu,  pengacara juga sudah menyampaikan kepada majelis hakim tentang  tuntutan hukum pasal itu tak berlaku bagi anggota masyarakat hukum adat karena ada putusan Mahkamah Konstitusi. Sayangnya, kata Alfi, semua itu tak jadi bahan pertimbangan hakim.

Dia bilang,  putusan yang keluar mengesampingkan dalil-dalil pembelaan merupakan bentuk pelanggaran HAM.

“Putusan telah dikeluarkan hakim sebagai bentuk pengadilan sudah takluk  oleh kriminalitas yang dilakukan oleh perusahaan dan tak memiliki perspektif berkeadilan dengan mempertimbangkan bagaimana peristiwa bisa terjadi serta hubungan keperdataan masyarakat dengan RAP,” katanya.

Putusan ini, katanya, akan membuat makin buruk citra pengadilan di tengah masyarakat.

 

Baca juga: Kala Tiga Petani Pakel Kena Vonis 5,5 Tahun Penjara

Persoalan lahan antara masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit terus terjadi di Indonesia, salah satu di Nagari Bidar Alam, Sumatera Barat ini. Warga bersengketa dengan perusahaan sawit hingga terjerat hukum. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Sengketa lahan

Zulkarnaini,  petani yang berjuang untuk hak lahan dan lingkungan hidupnya. Sebelumnya, jaksa menuntut Zulkarnaini delapan bulan atas dugaan pencurian di kebun sawit dengan pemberatan.

Persoalan bermula dari perjanjian antara ninik mamak, tokoh masyarakat, dan para pemilik lahan dengan RAP pada 2007.

Proses pembangunan kebun sawit di Bidar Alam pakai skema kemitraan antara pemilik lahan– diwakili ninik mamak–dengan perusahaan. Bagi  hasil mereka 40% untuk pemilik lahan dan 60% perusahaan.

Hanya saja,  lebih dari 11 tahun perusahaan beroperasi tak pernah merealisasikan isi perjanjian hingga warga protes dan menuntut hak.

Perjanjian kedua antara masyarakat dan perusahaan pun dibuat lagi pada 2014. Dalam perjanjian  itu menyepakati, dua tahun perusahaan tak mampu mengikuti standar perkebunan sesuai aturan berlaku maka tanah kembali ke masyarakat.

Hanya saja, katanya, RAP tetap panen hingga mendorong masyarakat juga panen. Apalagi, katanya, masyarakat terdesak secara ekonomi sekaligus memperjuangkan hak karena selama ini tak pernah dapatkan hasil 40% sesuai perjanjian.

Ketika warga Bidar Alam panen, katanya, malah terjerat hukum  atas laporan tudingan pencurian tandan buah sawit secara bersama-sama pada 14 September 2020.

Sebelumnya, ada enam masyarakat Bidar Alam ditahan. Kini tinggal satu orang dan vonis lima bulan penjara.

Laporan polisi pada 2020 itu, katanya,  tiba-tiba lanjut Agustus 2023 dengan alasan tertunda karena COVID-19. Kasus ini masuk Pengadilan Koto Baru,  9 November 2023.

Setelah sekitar tiga bulan proses persidangan, pada 25 Desember, Pengadilan Koto Baru membacakan putusan menyatakan Zulkarnaini bersalah dengan hukuman lima bulan penjara dikurangi masa tahanan sejak 8 September 2023.

LBH Padang memandang perlu pemulihan masyarakat yang menderita puluhan tahun karena izin dari pemerintah.

Diki Rafiqi, Koordinator Divisi Advokasi LBH Padang menilai,  kasus di Bidar Alam Solok Selatan merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Pada 2 Februari lalu Mongabay mendatangi Kantor RAP di Kota Padang untuk konfirmasi tetapi tak bertemu dengan orang dari perusahaan.

Seorang karyawan memberikan kontak orang bernama Sariful. Saat dihubungi dia katakan masyarakat jarah selama empat tahun tetapi dia tak bersedia beri penjelasan panjang lebar.

“Kamu tanya saja di pemerintah daerah atau Kejaksaan Solok Selatan. Atau Polres Solok Selatan. Maaf saya tidak bisa memberi tanggapan,” katanya melalui pesan WhatsApp.

 

Baca juga: Laporan Ungkap di Balik Rentetan Kasus Kriminalisasi Suku Ohongana Manyawa

Zulkarnaini, petani Bidar Alam (berbagi oranye) kena vonis hukum lima bulan penjara terjerat UU Perkebunan atas laporan perusahaan sawit, PT Ranah Andalas Plantation (RAP). Foto: LBH Padang

******

 

 

Laporan Ungkap di Balik Rentetan Kasus Kriminalisasi Suku O’Hongana Manyawa

Exit mobile version