Mongabay.co.id

Tambang Kuarsa ‘Kuasai’ Pulau Gelam Terindikasi Lewat Surat Tanah Fiktif

 

 

 

 

 

Pulau Gelam  terancam tambang. Wilayah pulau seluas 28 kilometer persegi di Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat ini habis terbebani izin pertambangan pasir kuarsa. Modus operandinya,  dengan menerbitkan surat keterangan tanah (SKT) di atas pulau itu. Izin mulus keluar dan sudah eksplorasi sejak 2022.  Anehnya, sebagian warga yang  punya lahan di pulau itu menyatakan tak pernah mengajukan permohonan SKT ke  pemerintah desa.

“Saya tidak pernah mengajukan permohonan pembuatan SKT ke desa. Kalau misal nama saya tercatat sudah buat SKT, kita enggak terimalah, kan masalahnya kita enggak tau mau ajukan ke desa, nginjak ke rumah desa aja belum pernah,” kata Haryanto, tim investigasi mewawancarainya Oktober lalu.

Pria berusia 35 tahun ini adalah nelayan di Kendawangan Kiri, Kecamatan Kendawangan, Ketapang. Berdasarkan salinan dokumen SKT nomor P/177/KDW.KIRI-D.593.2/VI/2/2023 dengan tanda tangan Kepala Desa Kendawangan Kiri, Pusar Rajali, 23 Juni 2023, nama Haryanto tercantum di sana. Padahal, dia tak pernah mengajukan penerbitan surat tanah itu. 

Dia pun belum pernah melihat SKT terbitan Pemerintah Desa Kendawangan Kiri  ini.

Haryanto  bilang, sudah lama punya lahan di Pulau Gelam, namun belum ada sertifikat hak milik. Kakek dan neneknya juga ada lahan di sana.

Ketika tahu lahan itu akan jadi tambang, Haryanto keras menolak. Dia khawatir,  mata pencarian sebagai nelayan kecil terancam kalau ada tambang di pulau itu.

Serupa dialami Suparyanto. Namanya masuk dalam daftar pengaju SKT dan surat itu pun tak diketahuinya.  “Saya tidak pernah menandatangani surat keterangan tanah atau SKT ataupun surat kuasa untuk mengrus lahan di Pulau Gelam kepada siapapun,” katanya.

Begitu juga Kamal dan Arpa’i. “Kami tidak pernah menandatangani surat keterangan tanah maupun surat kuasa untuk mengurus lahan di Pulau Gelam,” kata Kamal.

 

Warga Pulau Gelam, banyak pindah ke Pulau Cempedak, karena sarana pendidikan dan kesehatan lebih tersedia. Foto: Tim Kolaborasi

 

Dia menduga, Pemdes Kendawangan Kiri tak transparan mengenai pengajuan SKT ini. Hingga kini mereka tak pernah mendapatkan SKT itu.

Ada juga warga yang dibuatkan SKT lalu dapat uang Rp1 juta per orang tetapi tak tahu alasan pemberian uang itu.

“Ada dapat uang Rp1 juta. SKT-nya tidak ada dilihatkan. Tidak kenal dengan orang yang menawarkan SKT,” kata Sumia, warga Pulau Cempedak, Desa Kendawangan Kiri.

Perempuan 50 tahun ini menerima uang pengganti SKT itu.

Sumia dulu warga Pulau Gelam,  kini bermukim di Cempedak.  “Ada lahan dan kebun di Gelam, orang tua kuburannya di sana,” katanya.

Ahmad Nurdin,  Kepala Seksi Pemerintahan Desa Kendawangan Kiri, mengaku, penerbitan SKT berdasarkan permohonan warga.  Kalau tidak ada permohonan, katanya, SKT tidak bisa terbit.  SKT yang terbit, katanya, lebih 100 lembar tetapi Nurdin tidak tahu angka pastinya.

Dia membantah soal pencatutan nama untuk bikin SKT walau sudah ada beberapa warga yang memberikan kesaksian bahkan sampai lapor polisi.

Ahmad jabarkan soal syarat penerbitan SKT,  yakni, ada surat permohonan yang menyatakan memiliki tanah di Pulau Gelam, kemudian surat permohonan ditandatangani kepala dusun setempat lalu serahkan ke pemerintah desa.  Kemudian, katanya, ada saksi yang membubuhkan tandatangan di surat itu, minimal dua orang.

Nurdin mengatakan, permohonan SKT berlangsung sejak akhir tahun 2021, dan terbit pada 2022 oleh Pemerintah Desa Kecamatan Kendawangan Kiri. SKT yang telah terbit diserahkan kepada perusahaan awal 2023. Perusahaan, katanya,  sudah memberikan pergantian Rp7 juta per orang dengan nama tercantum dalam SKT.

“Lahan sudah dibebaskan. Dari uang Rp7 juta itu, Rp5 juta diserahkan ke pemilik SKT. Yang Rp 2 juta untuk operasional kantor dan pengurus atau kuasa,” katanya.

SKT ditandatangani Camat Kendawangan yang kala itu 11 Juli 2022 dijabat Eldy Yanto.  Saat konfirmasi, Plt Camat Kendawangan Didik Radianto menepisnya. Dia bilang, penerbitan SKT tidak mengetahui Camat Kendawangan.

 

Pulau Gelam, yang sudah jadi ‘kuasa’ izin kuarsa. Foto: Tim Kolaborasi

 

 

Warga lapor polisi

Haji Asmuni dikenal dengan panggilan Haji Lakok menceritakan, dia dan beberapa warga melaporkan kasus penerbitan SKT ini ke polisi sejak Juni 2023, tetapi belum ada perkembangan berarti. Sementara dua perusahaan tambang di Pulau Gelam, beroperasi untuk ambil sampel pasir kuarsa.

“Yang saya tekankan pada laporan ini saya minta usut tuntas pembuatan SKT yang diduga fiktif itu. Karena mereka yang membuat SKT tidak dibuka transparan kepada masyarakat yang punya hak di sana,” katanya Oktober lalu.

Walau saat ini Gelam tak berpenghuni, katanya, dulu pulau itu ditinggali warga. Terbukti dari banyak kuburan orang tua mereka di sana. Warga pindah ke Pulau Cempedak, tak jauh dari Gelam lantaran ada fasilitas kesehatan dan pendidikan.

Pulau Cempedak relatif lebih dekat dengan Kecamatan Kendawangan. Penerbitan SKT pun diduga kuat lantaran ada perusahaan tambang yang mau masuk.

Warga mendapat informasi bahwa SKT yang terbit mencapai 300 dokumen. “Padahal penduduk Gelam waktu itu tidak sampai 300 orang,” katanya.

Warga bahkan tak pernah melihat SKT langsung, apalagi terlibat mengukuran atau menandatangani permohonan pengajuan surat.

Susyanto, tokoh masyarakat Kecamatan Kendawanagan mengatakan, sudah memberikan keterangan kepada Polda Kalbar terkait laporan soal dugaan SKT fiktif itu. Namun, katanya, laporan hingga kini mandek alias tak ada tindak lanjut dari kepolisian.

“Disitu kita sudah memenuhi panggilan dari Polda dan memberikan keterangan sekitar tiga jam. Bukan hanya saya sendiri yang memberikan keterangan terkait Pulau Gelam.”

Sampai saat ini,  katanya, belum pernah mendengar sejauh mana proses di kepolisian.

“Saya pernah menyampaikan, ini seolah-olah mati suri, tidak ada tindak lanjut. Tolonglah aturan ini harus tajam ke atas, jangan tajam ke bawah, kasian masyarakat.”

Suparyanto juga tak terima terhadap penjualan tanah oleh oknum yang tak memiliki hak di Pulau Gelam. “Lahan milik saya sekitar 50 hektar kalau dikumpulkan (di Gelam). Tinggal disana lebih belasan tahun dari masa kecil, dari nenek moyang dan tanah  tidak pernah saya jual.”

Dia kesal karena ada orang seenaknya mengambil lahan. “Saya enggak pernah buat SKT. Dulu saya mau buat SKT ke Kepala Desa, Pak Rajali, tapi tadak dibikinkan.”

Suparyanto bilang, ada yang mencatut dan memalsukan nama dan tanda tangannya.

Arpa’i, warga desa yang lain juga menemukan namanya tercatut seolah-olah memberikan surat kuasa. “Dengan ini menyatakan saya tidak pernah menandatangani surat keterangan tanah atau SKT ataupun surat kuasa untuk mengurus lahan yang terletak di Pulau Gelam,  Dusun Pulau Bawal, Desa Kendawangan Kiri kepada saudara Nono Romanyah,” kata Arpa’i membacakan surat pernyataannya.

Dia katakan, Nono Romansyah adalah Desa Kendawangan Kiri, yang dipercaya pihak desa untuk mengumpulkan surat kuasa atau surat permohonan penerbitan SKT.  Tim  investigasi  berupaya mewawancarai dan menghubungi Nono Romansyah, tetapi tak juga bisa ditemui.

 

Masyarakat Pulau Cempedak, yang mencari ikan di perairan sekitar Pulau Gelam. Kalau sampai pulau jadi tambang kuarsa, masyarakat was-was, mata pencarian mereka akan hilang. Foto: Tim Kolaborasi

 

Tanpa izin lingkungan

 Dua perusahaan tambang yang mengambil habis Pulau Gelam adalah PT Sigma Silica Jayaraya (SSJ) dan PT Inti Tama Mineral (ITM). SSJ  mendapat izin eksplorasi pasir kuarsa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 93.K/MB.01/MEM.B/2022, luas 839 hektar.  Sedangkan, ITM konsesi 1.163 hektar, berdasarkan SK 887/MB.03/DJB/ WIUP/2022.

Adi Yani, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kalimantan Barat, mengatakan, eksplorasi perusahaan itu tidak disertai kajian lingkungan atau dokumen pengelolaan lingkungan hidup pertambangan.

DLHK tidak temukan ada kajian upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan (UKL-UPL) sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No 22/2021, untuk dua perusahaan itu.

“Tapi  Sigma Silica Jayaraya telah mengajukan permohonan penerbitan amdal, awal 2023, khusus untuk membangun terminal khusus di Pulau Gelam. Saat pemeriksaan baru diketahui lokasi itu masuk kawasan konservasi kelautan,” katanya.

Dia pun menyarankan,  pelaku usaha berkoordinasi lebih lanjut ke Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kalbar. Perusahaan juga diminta mengurus persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPR) laut untuk lokasi tarsus (terminal khusus).

Sepanjang PKKPR laut belum ada, katanya, proses penilaian amdal tidak bisa lanjut alias ditolak.

DLHK Kalbar sudah lakukan pertemuan dengan DESDM, Asisten II, DKP, dan instansi terkait.  “Kami sepakat mengembalikan izin IUP eksplorasi ini ke kementerian.”

Pemerintah daerah, katanya, bisa memberikan rekomendasi pencabutan izin kalau terbukti pelaku usaha melanggar peraturan perundang-undangan bidang lingkungan hidup.

“Saat ini,  untuk rekomendasi pencabutan izin sedang berproses di Biro Perekonomian Setda Kalbar. Karena memang mereka yang memproses,” kata Adi.

 

Pulau Gelam dari ketinggian. Tambang kuarsa marak di Kalbar, benarkah untuk dukung pasokan industri silika di Rempang? Foto: Tim Kolaborasi

 

Untuk pasok ke Rempang?

Untuk izin eksplorasi kedua perusahaan tambang itu terbit dari KESDM, merujuk aturan pada 2020. “Sedang  aturan baru berlaku pada 2022, untuk izin tambang non logam,” kata Syarif Khamaruzaman,  Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Energi dan Sumber Daya Mineral (Disperindag ESDM) Kalbar.

Secara umum,  pengajuan izin pertambangan sudah menganut sistem online single submission (OSS), dengan pelaku usaha mengunggah dokumen sesuai persyaratan.

“Kewenangan kami sebatas memberikan pertimbangan teknis, kajian keekonomian dan kajian tata kelola tambang. Itupun, setelah ada peningkatan status dari eksplorasi ke operasi produksi.”

Di Kalbar, selain Pulau Gelam, izin pertambangan eksplorasi pasir kuarsa mulai marak, setelah pemerintah pusat mendelegasikan kewenangan penerbitan izin pertambangan non logam ke pemerintah provinsi.

“Pasir kuarsa ini mulai booming, ya karena setelah pemerintah pusat membuka pabrik silica di Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Untuk di Kalbar, rata-rata izin baru pada tahap eksplorasi,” katanya.

Waliz Zuhery, fungsionaris Himpunan Penambang Kuarsa Indonesia (HIPKI), mengatakan, pada dasarnya mekanisme pengajuan izin tambang pasir kuarsa sama dengan pengajuan izin pertambangan mineral non logam dan batuan lain. Meskipun saat ini pasir kuarsa masuk dalam kategori mineral kritis, berdasarkan keputusan Menteri ESDM.

Umumnya, ada tiga tahapan harus dipenuhi dalam perizinan tambang, yakni,  penetapan wilayah (WIUP), IUP tahap ekplorasi dan IUP operasi produksi.

Untuk mendapat IUP eksplorasi pun, katanya, ada beberapa biaya harus bayarkan kepada pemerintah sebagai pendapatan negara bukan pajak (BPNP), seperti pencetakan peta, dan biaya pencadangan wilayah.

Terkait banyak tambang pasir kuarsa di Kalbar, kata Waliz, saat ini Indonesia punya ambisi jadi bagian dari rantai pasok energi terbarukan, seperti panel surya, kendaraan listrik dan lain-lain. “Kalau saya lihat, saat ini negara sedang berambisi jadi bagian dari transisi energi,” katanya.

Potensi pasir kuarsa di Indonesia terbilang besar. Bahkan, cadangan layak tambang juga masih sangat besar. Selama ini,  katanya, usaha pertambangan kuarsa ini belum tergarap maksimal.

 

Pantai Pulau Gelam. Pulau ini akan rusak kalau sampai tambang pasir kuasa beroperasi. Foto: Tim Kolaborasi

 

Siapa pemilik perusahaan?

Berdasarkan dokumen Ditjen AHU, SSJ disahkan pada 19 November 2021,  dengan beberapa nama pemegang saham. Pengusaha sekaligus politikus Denny Muslimin tercatat sebagai komisaris utama dengan saham mayoritas, 950 lembar atau Rp950 juta dari penyertaan modal awal Rp1 miliar.

Hairi, selaku direktur, dan Herma Irwanda, selaku komisaris, dengan saham masing-masing 30 dan 20 lembar. Dalam dokumen itu, SSJ telah mengalami perubahan data perseroan dua kali. Perubahan pertama pada 8 Desember 2021.

Jajaran direktur sebelumnya dipegang Hairi, beralih kepada Sudirman. Denny, yang sebelumnya sebagai komisaris utama, jadi komisaris. Saham Denny turun jadi 800 lembar atau Rp800 juta.

Saham mayoritas SSJ beralih kepada PT Mustika Bahtera Abadi (MBA), dengan kepemilikan saham 800 lembar pada Februari 2022, dan PT Sigma Group Indonesia (SGI), dengan saham 200 lembar.

Dokumen SGI disahkan pada 22 November 2021 dengan penyertaan modal awal Rp1 miliar, dalam bentuk uang. Mayoritas saham dikuasai Denny, selaku direktur utama, dengan saham 900 lembar atau Rp900 juta. Sisanya, Sudirman, selaku direktur sebanyak 30 lembar. Mohani, juga direktur dengan saham 20 lembar dan Hairi, selaku komisaris utama dengan 30 lembar dan Herma Irwanda 20 lembar saham.

Begitu juga PT Inti Tama Mineral (ITM), berdasarkan SK tahun 2021. Saham mayoritas dikuasai Denny, selaku direktur utama, dengan nilai saham Rp900 juta, sebanyak 900 lembar. Pada perubahan kedua 22 Juni 2022, saham mayoritas beralih kepada MBA, dengan saham 800 lembar dan SGI, saham 200 lembar.

Tim kolaborasi berupaya mengkonfirmasi soal ini kepada Denny pada 7 Januari 2024. Dia merespon singkat. “Ke direktur saja,” katanya. Dia mengirimkan kontak Sudirman. Ketika dihubungi Sudirman pun menolak konfirmasi.

“Apa hubungannya dengan saya? Ke Denny saja. Sudah bener itu. Lagian sudah tidak ada aktivitas apa-apa di pulau itu. Sudah kosong. Kenapa baru sekarang mau wawancara?”

 

 

 

*****

 

*Investigasi ini hasil kolaborasi Mongabay Indonesia, Pontianak Post, Iniborneo.com, Suara.com, RRI Pontianak, Insidepontianak.com, dan Projeck Multatuli yang didukung Jurnalis Perempuan Khatulistiwa, Yayasan WeBe, Hijau Lestari Negeriku, dan Garda Animalia melalui Bela Satwa Project.

 

 

Ketika Pulau-pulau Kecil di Maluku Utara Terancam Tenggelam

Exit mobile version