Mongabay.co.id

Perusahaan Tambang Nikel di Sulawesi Tenggara Kriminalisasi Warga Penolak Tambang

 

Hasilin (21), seorang ibu rumah tangga dari Desa Torobulu, Kecamatan Laeya,Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra), masih memikirkan tekanan mental yang diperoleh saat menjalani pemeriksaan berjam-jam di Mapolda Sultra, Rabu (08/01/2024). Dia dilaporkan perusahaan penambang nikel, PT Wijaya Inti Nusantara (WIN), atas tuduhan menghalang-halangi aktivitas pertambangan.

Dia diperiksa sebagai saksi dengan dicecar berbagai pertanyaan mulai dari ‘kamu tahu melanggar apa’; dia tidak diberi waktu untuk isi perut yang lapar; dan berakhir pada bagaimana polisi dengan santunnya menawarkan mediasi damai antara Hasilin dan PT WIN, yang beroperasi di wilayah Desa Torobulu. Namun, Hasilin menolak mentah-mentah bujukan itu.

“Karena mereka itu sudah menambang di pemukiman,” ucap Hasilin saat ditemui di Sekretariat Walhi Sultra, setelah diperiksa dari Mapolda Sultra.

Hasilin tidak sendirian diperiksa di Mapolda Sultra. Dia bersama enam perempuan lainnya dan beberapa warga laki-laki lain terpaksa menyewa tiga mobil menempuh perjalanan sejauh 60 km lebih hanya untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi.

baca : Gakkum KLHK Tangkap Pelaku Tambang Nikel Ilegal di Kolaka Sulawesi Tenggara

 

Hasilin (21), penolak tambang nikel yang dikriminalisasi memperlihatkan temuan dugaan aktivitas penambangan PT WIN yang tidak ramah lingkungan dan cacat prosedural di sekitar pemukiman warga Desa Torobulu, Kecamatan Laeya, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Foto: Riza Salman/Mongabay Indonesia

 

Kepada Mongabay Indonesia, diperlihatkan salinan elektronik surat pemanggilan Ditreskrimsus Polda Sultra kepada Andi Firmansyah, seorang terperiksa yang turut dalam rombongan itu. Mereka diperiksa dalam perkara dugaan Tindak Pidana Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) di Desa Torobulu.

Kejadian bermula pada September 2023, ketika warga Torobulu beberapa kali datang ke lokasi penambangan nikel PT WIN yang semakin mendekat ke pemukiman. Kedatangan warga untuk mempertanyakan dokumen analisis dampak lingkungan (Amdal) dan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) PT WIN untuk melakukan penambangan, yang dinilai tidak ramah lingkungan. Warga itu mengaku jika PT WIN tidak pernah mensosialisasikan ke warga mengenai rencana penambangannya di Torobulu.

Namun upaya itu tidak dijawab PT WIN, membuat warga terpaksa menghentikan aktivitas alat berat yang sedang berlangsung dengan dalih menginginkan lingkungan yang sehat sesuai dengan amanah Undang-undang No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Aksi penolakan dan ketegangan pun terus berlangsung di lapangan. Di medio September – Oktober 2023, mulai dari tingkat Pemerintah Desa, Camat, hingga Bupati telah mencoba melakukan mediasi antara pihak masyarakat dan PT WIN. Hasilnya, warga tetap bersikukuh menolak adanya penambangan di sekitar pemukiman yang tidak memiliki dokumen Amdal dan RKAB.

RKAB merupakan dokumen yang wajib disusun oleh perusahaan pertambangan setiap tahun dan diajukan untuk disetujui oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) atau instansi yang mendapat pendelegasian kewenangan dari Kementerian ESDM.

Mongabay berusaha mengkonfirmasi Humas PT WIN, Kasmaruddin via pesan singkat WhatsApp dan telepon, Senin (12/02/2024), tetapi sampai berita ini diunggah, belum juga mendapat jawaban.

baca juga : Kala Tambang Nikel Datang, Biodiversitas Pulau Wawonii Mulai Terdampak

 

Para perempuan yang dikriminalisasi akibat memprotes penambangan nikel PT WIN di sekitar pemukiman warga Desa Torobulu, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Foto: Riza Salman/Mongabay Indonesia.

 

Warga juga kecewa dengan menyusulnya hasil kajian Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Konawe Selatan yang menyatakan tidak ada dampak yang ditimbulkan dari aktivitas penambangan nikel PT WIN di sekitar pemukiman.

Padahal Hasilin dan sesama perempuan lainnya yang menjalani pemeriksaan di Mapolda Sultra Sultra memperlihatkan kondisi tangan mereka yang gatal-gatal akibat menggunakan air yang sumbernya telah dicemari lumpur galian nikel PT WIN, hingga berwarna keruh karena membawa material lumpur halus.

Mereka mengaku sudah beberapa bulan terakhir mengalami gatal-gatal sejak pagi sampai sore hari, terlebih di saat hawa siang hari memanas.

Dalam salinan dokumen elektronik yang diperoleh Mongabay Indonesia pada Oktober 2023, Bupati Konawe Selatan, Surunuddin Dangga, menerbitkan rekomendasi kepada PT WIN dapat melakukan kegiatan pertambangan pada lokasi lahan yang telah mendapatkan persetujuan hak atas tanah Masyarakat.

Dalam rencana bukaan tambangnya, PT WIN diwajibkan menurunkan dampak debu dengan tidak menebang pohon pelindung sekitar kawasan pemukiman dan jalan; memasang seng pembatas dan menyediakan mobil tangki penyiraman air; membuat kolam pengendapan sesuai kajian teknis kelerengan dan hidrologi untuk mencegah aliran permukaan dan erosi sebelum menambang; memperoleh persetujuan perizinan terlebih dahulu dari instansi terkait perihal perlintasan Jalan Nasional; tidak melakukan bukaan lahan sekaligus, dan dengan kaidah backfilling (penimbunan kembali).

PT WIN juga harus memperhatikan wilayah penyangga pada menara telekomunikasi 10-20 meter dan penyangga pada jalan 5-10 meter; tidak melakukan penambangan bijih nikel pada area yang dekat dengan tambak masyarakat; perusahaan aktif menjalankan program Community Development (pengembangan Masyarakat); menjalankan rencana reklamasi dan pasca tambang setelah menambang.

Keputusan itu dinilai cacat, tidak berpihak pada kelangsungan lingkungan hidup di Torobulu.

perlu dibaca : Aliansi Sulawesi Tampik Klaim Dampak Positif Hilirisasi Nikel

 

Aktivitas penambangan nikel oleh PT WIN di sekitar rumah warga Desa Torobulu, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Foto : dokumentasi warga

 

Warga terus melanjutkan aksi penolakannya dengan menghentikan secara paksa aktivitas penggalian nikel tersebut sampai  tanggal 6 November 2023. Momen terakhir itu dijadikan dasar PT WIN untuk melaporkan sebanyak 32 orang ke kepolisian, dengan tuduhan menghalang-halangi kegiatan perusahaan.

Berselang dua pekan kemudian, sebanyak enam warga dari 32 orang terlapor dipanggil secara berkala pihak Kepolisian untuk dimintai klarifikasi mengenai apa yang dituduhkan PT WIN.

Andi Rahman, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sultra, mengatakan bahwa masyarakat bergerak atas nama kekhawatiran terhadap proses penambangan nikel, yang diduga tidak sesuai dengan prosedur, UU Minerba dan UU PPLH serta Amdal sebagai aturan teknisnya.

Walhi Sultra membeberkan temuan mereka. Aktivitas tambang yang mencemari sumber air bersih berdampak negatif pada perekonomian sebagian warga, terpaksa beralih membeli air bersih kapasitas tandon ukuran sedang seharga Rp60 ribu per beberapa hari.

“Kalau sekarang posisi mata air ini sudah meluas, seperti danau,” kata Rahman, sambil memperlihatkan foto udara titik cemaran tambang nikel yang dimaksud.

Dugaan pelanggaran lain, PT WIN telah menambang di dekat fasilitas umum seperti fasilitas tower pemancar telekomunikasi dekat pemukiman, dan menambang hutan mangrove hingga merusak ekosistem pesisir, yang notabenenya sebagian besar masyarakat Torobulu bekerja sebagai nelayan. “Selain UU lingkungan hidup, Undang-undang Kehutanan juga dilanggar,” tegas Rahman.

Bisa dikata, dugaan penambangan nikel PT Win yang mencemari dan merusak lingkungan Desa Torobulu, mengancam kelangsungan hidup 2000 jiwa lebih yang menetap di Torobulu.

baca juga : Laporan Jatam Beberkan Jaringan Oligarki Tambang dan Energi di Kubu Capres Cawapres

 

Aktivitas penambangan nikel oleh PT WIN di sekitar rumah warga Desa Torobulu, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Foto : dokumentasi warga

 

Menurut Rahman, dalam UU No.32/2009 tentang PPLH, menjamin peran masyarakat untuk menjaga lingkungannya. Masyarakat juga punya kewenangan penuh memperjuangkan lingkungan yang baik dan sehat.

“Masyarakat itu punya dasar untuk memprotes. Dan itu hak asasinya (masyarakat) untuk menjalankan hak konstitusinya,” kata Rahman.

Dalam situs One Map Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sultra menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk melakukan Operasi Produksi di lahan seluas 1,931 ha berlokasi di Desa Torobulu kepada PT WIN pada Desember 2019.

Dibalik IUP itu, Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Sultra Menggugat bersama Walhi Sultra telah menginventarisir dugaan  pengrusakan lingkungan hidup oleh PT WIN di Torobulu, diantaranya di belakang Sekolah Dasar 12 Laeya, di belakang pemukiman warga, di mata air sumber air bersih utama warga, dan kawasan hutan mangrove.

Walhi Sultra meminta kepada PT WIN untuk legowo, tidak memaksakan aktivitas penambangan di sekitar pemukiman warga, jika tidak memiliki RKAB dan Amdal. Dan kepada pihak Kepolisian untuk menghentikan penyidikan terhadap 32 warga Torobulu yang menjalani pemeriksaan di dua tempat terpisah: Mapolda Sultra dan Mapolres Konawe Selatan.

“Kami anggap ini upaya kriminalisasi, dan setelah ore-nya habis, mereka (PT WIN) pergi, warga dapat ampasnya” tandas Rahman.

Sementara, Penyidik Tipidter Ditreskrimsus Polda Sultra, Iptu Ridwan, dalam pesan singkatnya menulis, “terkait panggilan 5 orang saksi kemarin, sudah dilakukan pemeriksaan. Namun hanya pemeriksaan saksi, belum ada penetapan tersangka apalagi pemeriksaan tersangka,” saat dikonfirmasi Mongabay Indonesia. (***)

 

Exit mobile version