Mongabay.co.id

Sampah Alat Peraga Kampanye Pemilu, Bagaimana Penanganannya?

 

 

 

 

 

Masa kampanye pemilu presiden dan wakil presiden, maupun legislatif tingkat nasional maupun daerah 2024 sudah usai. Yang masih tertinggal adalah sampah-sampah dari penyelenggaraan kampanye seperti atribut berupa spanduk dan poster yang menenuhi tepian jalan, pohon maupun jembatan dan berbagai tempat umum lain. Akan ke mana sampah-sampah itu berakhir? Bagaimana penanganan dan pengelolaan dari para calon maupun partai terhadap sampah-sampah yang mereka hasilkan dari kampanye itu?

Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), pada 2023,  timbulan sampah di Indonesia  sebanyak 17,4 juta ton. Sekitar, 18,8% merupakan sampah plastik. Angka ini khawatir membengkak pasca Pemilu 2024, yang mengalokasikan 20.462 kursi legislatif dari 2.710 daerah pemilihan (dapil).

Abdul Ghofar, Juru Kampanye Isu Polusi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional mengatakan, selama ini sampah alat peraga kampanye (APK) jarang dibicarakan. Padahal, potensi pencemaran lingkungan dapat memberi dampak serius.

Rata-rata APK di Indonesia, terutama baliho dan spanduk, terbuat dari plastik berjenis polyvinyl chlorida (PVC), masuk kategori paling sulit didaur ulang dan mengeluarkan racun kalau dibakar.

Hingga kini, tak ada data total APK di seluruh Indonesia untuk pemilu 2024 ini.  Tetapi, kalau dihitung tiap kursi legislatif untuk 15 orang, setidaknya ada 306.930 peserta Pemilu 2024.  Kalau masing-masing calon anggota legislatif membuat 10 APK, paling sedikit ada tiga juta produk kampanye di Indonesia.

Ghofar bilang, kalau tidak terkelola dengan baik, sampah APK berpotensi jadi mikroplastik yang mencemari lingkungan, merusak ekosistem dan mengancam kesehatan masyarakat.

“Belum selesai masalah plastik kemasan, sekarang nambah sampah dari banner yang jumlahnya jutaan,” katanya, awal Februari lalu.

Sejak tahap produksi, plastik memang melahirkan masalah. Menurut organisasi kerjasama dan pembangunan ekonomi (OCED), 93% plastik produksi menggunakan bahan bakar fosil dan berkontribusi terhadap 4% emisi gas rumah kaca global.

 

Atribut kampanye seperti spanduk paslon itu, bagaimana penanganan setelah kampanye usai? Akan ke mana sampah-sampah itu berakhir? Bagaimana pengelolaannya? Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Tekan dampak, KLHK terbitkan edaran

Guna menekan dampak pada lingkungan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menerbitkan Surat Edaran Nomor 3/2024 soal pengelolaan sampah yang timbul dari penyelenggaraan pemilu 2024. Sampah-sampah itu  antara lain, poster, baliho, spanduk, bendera, tiang-tiang bambu dan lain-lain.

Rosa Vivien Ratnawati, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 KLHK mengatakan, lewat surat edaran itu, Menteri LHK mengimbau gubernur, bupati dan walikota memastikan sampah hasil pemilu tidak berakhir di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).  Sebab, pada 2030, tidak akan ada lagi bangun TPA.

“Berarti dari sekarang, bagaimana mengelola sampah dari hulu itu harus kita lakukan. Supaya sampah jadi bahan baku digunakan lagi dan tidak terbuang ke TPA.”

Vivien menilai, terbitnya surat edaran itu juga dapat menjadi titik pijak untuk program-program perlindungan lingkungan di masa mendatang. Misal, mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membuat kebijakan pengelolaan sampah hasil pemilu.

Selain itu, langkah yang dianggap penting adalah mendata APK yang terkumpul pasca kampanye, dan bentuk pengelolaannya. Vivien mengakui, selama ini pendataan itu belum pernah dilakukan.

“Hal seperti ini harus kami koordinasikan dengan KPU dan sebagainya. Tidak hanya alat peraga tetapi ketika kampanye, orangnya ribuan terus menghasilkan sampah. Itu yang harus kami atur, mungkin untuk lima tahun mendatang atau pilkada sertenak,” katanya.

Seturut Pasal 36 ayat (7) Peraturan KPU Nomor 15/2023, kewajiban membersihkan APK adalah tanggung jawab para peserta pemilu. Namun, peraturan itu tak menjelaskan lebih jauh soal teknis pengelolaan APK.

 

Berbagai atribut kampanye di tepian jalan bisa jadi sudah dibersihkan dari jalanan, tetapi ke manakah sampah-sampah itu berakhir? Bagaimana para peserta pemilu bertanggung jawab atas sampah-sampah mereka? Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Ghofar bilang, ke depan penyelenggara pemilu perlu menambal celah kebijakan yang berkaitan dengan penanganan sampah. Misal, pengaturan pembatasan jumlah, standarisasi ukuran, penentuan lokasi, hingga pengumpulan APK pasca kampanye.

“Kami berharap, pemilu mendatang bisa dicoba kurangi produksi alat peraga kampanye dengan memanfaatkan medium lain, seperti digital atau membatasi area tertentu,” katanya.

Ibar Akbar, Corporate Plastic Campaign Project Leader Greenpeace Indonesia menambahkan, pembatasan-pembatasan itu juga harus menyasar hingga aspek modalitas kampanye. Sebab, makin besar dana peserta pemilu, makin banyak pula APK yang mereka produksi.

“Kalau bicara pengelolaan sampah kan ada 3R (reduce, reuse, recycle), itu yang penting reduce, pengurangannya.”

Dia percaya, pembatasan-pembatasan itu akan memperkuat peralihan kampanye pada cara-cara berbeda. Misal, dengan memanfaatkan media digital, pakai bahan yang bisa daur ulang hingga pendekatan langsung pada masyarakat.

“Jadi,  perlu model kampanye lain yang tidak menimbulkan sampah, tetapi harus ada aturan khusus yang memuat itu. Mungkin pemilu mendatang perlu dibicarakan.”

Ibar menilai, peralihan media kampanye fisik ke online dapat mendorong interaksi lebih erat antara peserta pemilu dengan masyarakat pemilih. Juga, menghemat biaya dan lebih penting mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan.

 

Kampanye telah berlalu, apakah sampah-sampah dari sisa kampanye itu pun sudah selesai penanganannya? Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Koordinasi para pihak

Upaya mengurangi timbulan sampah juga jadi program Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Herwyn Malonda, anggota Bawaslu ketika dihubungi Mongabay mengatakan, akan mendorong peserta pemilu mendaur ulang APK yang mereka buat.

Demi mewujudkan upaya ini, Bawaslu tengah berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup dan pengelola sampah plastik di berbagai daerah. “Mudah-mudahan ini bisa dilaksanakan di seluruh Indonesia. Saya lagi kontak asosiasi, supaya sampah-sampah ini tidak mengotori lingkungan,” ujar Herwyn.

Sejak awal, katanya, Bawaslu selalu mengingatkan pentingnya pemilu ramah lingkungan pada pihak terkait. Sebab, Peraturan Bawaslu 5/2022, mengatur ketentuan mengenai pengawasan penyelenggaraan pemilu ramah lingkungan.

Pasal 2 ayat (3) peraturan itu menyebut, pelaksanaan pengawasan pemilu dengan memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup, prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

 

********

 

Pemilu 2024: Jangan Ada Botol Plastik Sekali Pakai dalam Debat Capres Cawapres

Exit mobile version