Mongabay.co.id

Melihat Situs Belajar Rehabilitasi Mangrove di Lantebung Makassar

 

 

Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia yang didukung Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI) bersama masyarakat mengembangkan lokasi pembelajaran rehabilitasi ekosistem mangrove di kawasan wisata mangrove Lantebung, Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Kegiatan ini dimulai sejak Juni 2023 lalu, yang diawali dengan refleksi bersama dengan masyarakat terkait pengalaman selama 10 tahun terakhir melakukan rehabilitasi mangrove di wilayah Lantebung, baik yang berhasil maupun yang gagal.

Nuryamin, koordinator program ini, menyampaikan bahwa dari hasil pembelajaran bersama masyarakat dan pengamatan langsung kemudian dielaborasikan pengalaman dari wilayah lain serta berbagai literatur menjadi dasar dalam penyusunan desain rehabilitasi mangrove yang dilakukan.

“Masyarakat menyampaikan bahwa tak sedikit rehabilitasi mangrove yang gagal karena menanam jauh ke wilayah laut, sehingga tersapu ombak, selalu tergenang dan banyak sampah. Selanjutnya kami melakukan pemantauan menemukan ketinggian substrat lokasi rehabilitasi yang tidak sesuai,” ujar Nuryamin di Makassar, Selasa (13/2/2024).

Dari pembelajaran ini, lanjutnya, kemudian menjadi dasar melakukan rehabilitasi. Sebelum dilakukan penanaman terlebih dahulu mengatasi faktor gangguan pertumbuhan dan mendukung pertumbuhan alami mangrove dengan membuat bangunan rekayasa.

baca : Lantebung dan Optimisme Rehabilitasi Mangrove Sulawesi Selatan 

 

Dari pembelajaran rehabilitasi mangrove di kawasan Lantebung, Makassar ini tidak hanya sekedar melakukan penanaman tapi terlebih dahulu memahami lokasi dengan baik kemudian mengatasi faktor gangguan dan menerapkan metode yang tepat. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Masyarakat kemudian membuat bangunan alat pemecah ombak (APO) dari bambu yang sekaligus sebagai perangkap sedimen untuk mempercepat tinggi substrat sesuai dengan mangrove alami terluar dari lokasi rehabilitasi. Mereka kemudian membuat guludan sebagai pelindung tanaman yang terbuat dari bambu serta memasang waring sebagai pelindung sampah sekaligus perangkap bibit alami.

“Setelah itu baru dilakukan rehabilitasi mangrove seluas satu hektare dengan penanaman 10.000 bibit mangrove jenis Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa dan Avicennia officinalis. Selain itu, dilakukan penebaran bibit mangrove jenis Avicennia marina, Sonneratia caseolaris dan Sonneratia alba,” jelas Nuryamin.

Untuk metode penanaman dilakukan sejumlah pendekatan, seperti pola tanam murni, rumpun berjarak, pola tanam pengayaan dan pola tanam acak. Kegiatan rehabilitasi turut mengadopsi sebagian metode ecological mangrove rehabilitation (EMR) di mana melakukan upaya perbaikan kondisi ekologi dan hidrologi untuk menyesuaikan lokasi rehabilitasi sesuai dengan kondisi alami mangrove dapat tumbuh.

Untuk kegiatan lapangan, dilakukan Andi Muhammad Subhan, staf lapangan YKL Indonesia, dibantu dua pemuda lokal sebagai community organizer, setiap bulannya melakukan monitoring, evaluasi dan perawatan hasil rehabilitasi.

“Kami sudah tujuh bulan melakukan monitoring dan perawatan hasil rehabilitasi,” ujar Subhan.

baca juga : Mangrove Terjaga, Kesejahteraan Nelayan Meningkat di Lantebung

 

Pembelajaran rehabilitasi mangrove di kawasan wisata Lantebung Makassar yang dilaksanakan oleh YKL Indonesia dan Yayasan KEHATI, belajar dari keberhasilan dan kegagalan rehabilitasi mangrove. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Berdasarkan data hasil monitoring bulan Juli 2023 hingga Januari 2024, secara umum mangrove hasil penanaman tumbuh dengan baik. Persentase tumbuh 93% dan ditemukan 374 bibit  rekrutmen alami jenis Avicennia sp. Tingkat pertumbuhan antara 30% sampai 100% dari tinggi awal bibit dengan rata-rata jumlah daun 18,35.

“Untuk perawatan yang dilakukan adalah pengecekan bangunan rekayasa untuk memastikan masih berfungsi dengan baik, pembersihan sampah serta alga pada waring dan penguatan waring serta dilakukan penyulaman,” tambahnya.

Menurut Subhan, beragam pembelajaran keberhasilan dan kegagalan didapatkan dari kegiatan ini. Catatan terpentingnya adalah rehabilitasi mangrove tidak hanya sekedar melakukan penanaman tapi terlebih dahulu memahami lokasi dengan baik kemudian mengatasi faktor gangguan dan menerapkan metode yang tepat.

Pembelajaran keberhasilannya adalah penanaman dengan jenis beragam lebih efektif khususnya jika berbicara zonasi, penanaman dilakukan pada area yang tidak terlalu jauh dari pohon mangrove yang sudah tumbuh dan memiliki ketinggian substrat yang sama.

“Bangunan rekayasa untuk mengatasi faktor gangguan membantu mangrove tumbuh dengan baik serta tinggi substrat bertambah. Pemasangan perangkap bibit mangrove dengan menggunakan waring efektif untuk merangkap bibit-bibit yang terbawa arus untuk kemudian tumbuh di lokasi yang sesuai,” lanjutnya.

baca juga : Yusran Nurdin Massa: Dua Dekade Merawat Mangrove

 

Kegiatan rehabilitasi mangrove di Lantebung ini diharapkan berkontribusi pada RTH Kota Makassar yang ditargetkan seluas 5.273,1 ha atau 30% dari total wilayah. Menurut data DLH Kota Makassar per akhir 2023 RTH Makassar masih berkisar 11,47%. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Sementara untuk pembelajaran kegagalannya, bangunan rekayasa mengalami kerusakan terkena gelombang besar pada periode Desember hingga Januari 2024. Bibit yang ditanam di luar APO hilang saat musim ombak.

“Dari pengamatan terhadap musim kami melihat bahwa tidak disarankan untuk melakukan penanaman pada bulan September – Januari di wilayah pesisir utara Kota Makassar dan sekitarnya. Penanaman di daerah berlumpur yang dulunya bukan area  wilayah mangrove dan ketinggian substratnya sangat rendah tidak direkomendasikan untuk ditanami,” ujar Subhan.

Nirwan Dessibali, Direktur Eksekutif YKL Indonesia menyampaikan bahwa pihaknya sangat terbuka untuk berbagai pembelajaran rehabilitasi mangrove di Lantebung khususnya kepada berbagai pihak yang berencana melakukan rehabilitasi di daerah berlumpur.

“Ini adalah situ belajar yang kami kembangkan bersama dengan masyarakat, berharap ini bisa menjadi referensi bagi berbagai pihak yang berencana melakukan rehabilitasi mangrove khususnya di Lantebung maupun di daerah sekitarnya serta di wilayah yang karakteristiknya sama,” jelasnya.

Menurut Nirwan, kegiatan rehabilitasi mangrove ini diharapkan akan berkontribusi pada serapan karbon mangrove sebesar 1.025 ton/tahun. Berkontribusi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca sebagaimana target RAN GRK Kota Makassar dan NDC (Nationally Determined Contribution).

perlu dibaca : Harapan dan Masa Depan Dunia kepada Mangrove

 

Bangunan guludan terbuat dari bambu yang dibangun Yayasan Konservasi Laut Indonesia (YKLI) sebagai situs belajar, bagian dari program rehabilitasi dan konservasi mangrove yang tujuannya untuk pembelajaran terkait keberhasilan dan kegagalan kegiatan rehabilitasi mangrove di Lantebung. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Selain itu, kegiatan ini juga diharapkan berkontribusi pada Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Makassar yang ditargetkan seluas 5.273,1 ha atau 30% dari total wilayah. Menurut data DLH Kota Makassar per akhir 2023 RTH Makassar masih berkisar 11,47%.

“Kami juga berharap kegiatan ini bisa menambah keanekaragaman jenis mangrove di Lantebung di mana saat ini hanya didominasi jenis Rhizophora mucronata, menjadi benteng pesisir dari abrasi dan amblasan tanah, terhadap intrusi dan penggenangan akibat kenaikan muka air laut, angin kencang dan lainnya, serta sumber penghidupan dan ruang hidup masyarakat pesisir Kota Makassar dan luasan destinasi ekowisata,” pungkasnya. (***)

 

Ade Saskia Ramadina, Perempuan Muda Penjaga Mangrove di Lantebung

 

 

Exit mobile version