Mongabay.co.id

Hukuman Ringan, Perdagangan Orangutan Sumatera Tetap Terjadi

Pasto yang mulai mencari makan sendiri, terpantau Februari 2023. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Perdagangan orangutan sumatera [Pongo abelii] terus terjadi di Aceh. Hukuman yang diputuskan hakim tidak memberi rasa takut para pelaku.

Sebut saja, pelaku Nanta Agustia [31], yang ditangkap saat hendak menjual satu anak orangutan di Kota Langsa, Aceh, Senin [3/7/2023].

Majelis Hakim Pengadilan Negeri [PN] Kota Langsa dipimpin Dini Damayanti, dengan hakim anggota Riswan Herafiansyah dan Muhammad Yuslimu Rabbi, memvonis warga ALue Pineung, Kecamatan Langsa Timur, Kota Langsa tersebut bersalah. Namun, hukumannya hanya satu setengah tahun penjara dan denda Rp40 juta subsider satu bulan penjara.

Keputusan Nomor: 124/Pid.B.LH/2023/PN Lgs itu menegaskan, terdakwa melanggar Pasal 40 Ayat [2] juncto Pasal 21 Ayat [2] huruf a UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Hukuman ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yaitu 2,5 tahun penjara.

“Ada pertimbangan motif, tujuan, dan tindakan pidana, serta riwayat hidup, sikap batin dan keadaan sosial ekonomi terdakwa. Pidana yang diberikan harus tepat dan tidak berlebihan,” jelas Majelis Hakim dalam putusannya, Senin [30/10/2023].

Berdasarkan fakta persidangan, diketahui sejak 2022-2023, Nanta empat kali menjual anak orangutan. Semua didapatkan dari seorang warga Kabupaten Aceh Tamiang.

“Pada 2022 beli satu dan 2023 beli tiga individu,” ungkapnya di persidangan.

Baca: Perdagangan Orangutan Sumatera Terus Terjadi, Ini Buktinya

 

Anak orangutan sumatera ini terpantau di Hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kasus perdagangan orangutan juga dibongkar Polres Aceh Tamiang, Rabu [13/9/2023]. Empat pelaku ditangkap yaitu Ali Ahmad, Arigozali, M Amin, dan Irwansyah.

Di Pengadilan Negeri Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang, Ali Ahmad, warga Desa Upah Kecamatan Bendahara, Aceh Tamiang, mengaku membeli anak orangutan dari seorang warga Kecamatan Tenggulun, Aceh Tamiang.

Setelah melalui proses persidangan, Rabu [3/1/2024], Majelis Hakim yang diketuai Tri Syawarni beserta hakim anggota Andi Taufik dan Arief Budiman, memvonis keempatnya bersalah.

Ali Ahmad, tiga tahun penjara, denda Rp100 juta, subsider tiga bulan penjara. Irwansyah,  satu tahun penjara, denda Rp100 juta, subsider tiga bulan penjara. Arigozali, satu tahun sembilan bulan penjara, denda Rp100 juta, subsider tiga bulan penjara. M Amin, satu tahun tiga bulan penjara, denda Rp100 juta, subsider tiga bulan penjara.

Dari persidangan diketahui, Ali bersama temannya [Awaluddin dan Khairi Roza] pernah ditangkap Polda Riau, Senin [9/11/2015], karena menjual tiga anak orangutan yang dibawa dari Aceh Tamiang.

Berdasarkan keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor: 55/Pid.Sus.LH/2016/PN Pbr, Ali Ahmad dihukum 2,5 tahun penjara dan denda Rp80 juta, subsider tiga bulan penjara.

Baca: Setiap Tahun, Konflik Manusia dengan Orangutan Sumatera Masih Terjadi

 

Inilah anak orangutan sumatera yang diselamatkan dari perdagangan ilegal di Aceh tahun 2021 lalu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Vonis rendah tidak membuat pelaku jera

Aidil Ramadan, pegiat lingkungan di Banda Aceh mengatakan, perdagangan orangutan di Kota Langsa dan Aceh Tamiang, masih berlanjut karena pemburunya belum ditangkap.

“Fakta persidangan menyebutkan, Nanta membeli dari Parli, warga Tenggulun, Aceh Tamiang. Ali mendapatkan dari Suparli, patut diduga orang yang sama. Banyak penegakan hukum berhenti sampai penjual pertama atau kedua, tidak ke pemburu,” terangnya, Kamis [15/2/2024].

Legal Advokasi Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh [HAkA], Nurul Ikhsan mengatakan, hukuman unuk penjual satwa liar dilindungi baik hidup maupun mati, masih ringan. Ini menyebabkan pelaku tidak merasakan efek jera dan mengulangi perbuatannya setelah bebas.

“Harusnya, pemburu dan penjual orangutan dihukum berat,” jelasnya.

Fahmi dari Perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup [P2LH] mengatakan, banyak hal yang menyebabkan vonis pelaku kejahatan lingkungan hidup rendah.

“Misal, kurangnya wawasan hakim mengenai dampak perbuatan pelaku. Juga, apakah hakim mengantongi sertifikat lingkungan hidup atau tidak,” jelasnya, Sabtu [17/2/2024].

Hingga saat ini, hukuman maksimal yang diatur undang-undang hanya lima tahun penjara.

“Kadang, hakim mempertimbangkan jika hukuman maksimal langsung dijatuhkan, ketika ada kejahatan lebih besar maka tidak mungkin dijatuhi hukuman yang sama,” ujarnya.

Wahyu Pratama, Tim Legal Lembaga Suar Galang Keadilan [LSGK] Aceh, mengatakan faktor hukuman tidak hanya dilihat dari sisi hakim, tapi juga dari penyidikan hingga tuntutan.

“Ketika kasusnya viral, biasanya vonis akan tinggi.”

Penting bagi lembaga sipil masyarakat melakukan pengawasan sejak kasus terungkap dan ditangani secara hukum.

“Pengalaman kami, kalau kasus tidak heboh maka hukumannya sangat rendah. Tidak akan memberi efek jera.”

Baca: Meski Dilindungi, Perdagangan Orangutan Sumatera Tidak Pernah Berhenti

 

Anak orangutan yang diselamatkan di Subulussalam, Aceh., pada September 2023. Foto: Dok. BKSDA Aceh

 

Peneliti Indonesian Center for Environmental Law [ICEL], Antonius Aditantyo Nugroho bersama Gabrielle Jane dan Salsabila Hana Safira, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam buku Arah Baru Kebijakan Penegakan Hukum Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, mengkaji putusan kasus kejahatan satwa liar dilindungi di Indonesia periode 2009 – 2019.

Tingginya angka kejahatan dikarenakan rendahnya hukuman pidana sehingga tidak memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan. “Kejahatan ini melibatkan banyak aktor dengan berbagai peranan terorganisir, hingga bersifat lintas negara.”

Berdasarkan penelusuran 2009 sampai 2019, terdapat 150 putusan pengadilan di berbagai wilayah Indonesia. “Terbanyak di pengadilan negeri Sumatera, sebanyak 72 putusan. Tingkap provinsi, paling banyak Sumatera Utara [19 putusan], diikuti Aceh [15], serta Bengkulu [9],” jelas Antonius.

Ada beberapa pertimbangan majelis hakim saat memvonis pelaku, mulai hukuman tinggi hingga rendah.

Alasan memberatkan adalah majelis hakim menggunakan perspektif lingkungan hidup dan konservasi keanekaragaman hayati, selain perbuatan terdakwa dianggap meresahkan masyarakat. Hukuman berat juga diberikan karena pelaku mengulang tindak pidana atau residivis.

Putusan meringankan adalah terkait kondisi subjektif terdakwa. Misal, terdakwa terus terang, sopan selama persidangan, belum pernah dihukum, menyesal, serta tulang punggung keluarga. Pertimbangan lain, hukuman untuk mendidik dan membina terdakwa.

“Ketidaktahuan terdakwa atas status satwa dilindungi juga dipertimbangkan sebagai hal-hal meringankan, selain alasan kemanusian,” ungkapnya.

Baca juga: Deforestasi Rawa Singkil Tertinggi di Aceh, Ancaman Serius Habitat Orangutan Sumatera

 

Hidup orangutan sumatera sudah pastinya di hutan. Bukan diburu untuk diperdagangkan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Orangutan jadi incaran pasar gelap international

Tezar Pahlevi, pemerhati lingkungan dan satwa liar di Aceh, sebelumnya mengatakan hutan Leuser dan Ulu Masen merupakan lokasi pemburu mencari satwa dilindungi.

“Aceh masih memiliki hutan bagus, sehingga masih ditemukan gajah, harimau, badak, dan orangutan,” terangnya, Kamis [18/1/2024].

Satwa lindung di Aceh telah masuk pasar domestik Pulau Jawa yang berakhir di tangan kolektor dan pengrajin untuk dijual kembali.

“Kami mendeteksi, penyelundupan anak orangutan melalui perairan Aceh, kemudian dibawa ke Thailand, Vietnam, lalu diangkut ke Timur Tengah. Sekali kirim sedikitnya enam individu. Satwa dibawa dengan perahu kecil melalui pelabuhan-pelabuhan tikus, lalu di tengah laut dipindahkan ke kapal.”

Menurut Tezar, perburuan dan perdagangan satwa dilindungi dilatari beberapa faktor, seperti adanya permintaan pasar, bahan obat tradisional, dan untuk peliharaan.

Aparat penegak hukum dapat menjerat para pelaku dengan UU Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

“Jumlah perputaran uangnya menempati urutan ketiga di dunia, setelah perdagangan obat-obatan terlarang dan perdagangan senjata api ilegal. Karena itu, kejahatan satwa liar harus dijerat juga dengan tindak pidana pencucian uang,” ujarnya.

Ditreskrimsus Polda Aceh mencatat, sepanjang 2020 hingga 2023, terdapat 27 kasus perburuan dan perdagangan satwa liar dilindungi dengan 36 tersangka.

Panit Subdit IV Tipiter Ditreskrimsus Polda Aceh, Iptu Wahyudi, mengatakan rendahnya kepedulian kita terhadap konservasi tumbuhan dan satwa liar menjadi penyebab perburuan terus terjadi. Selain, faktor harga yang tinggi.

“Penegakan hukum penting dilakukan karena berdampak pada kerusakan ekosistem dan kepunahan. Kejahatan lingkungan juga telah menjadi perhatian dunia internasional,” paparnya.

 

Mencermati Masa Depan Orangutan Sumatera

 

Exit mobile version