- Konflik manusia dengan orangutan sumatera di Provinsi Aceh terus terjadi dan belum terlihat
- Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh mencatat, sejak 2019 sampai Oktober 2023 jumlah konflik manusia dengan orangutan mencapai 91 kasus. Rinciannya, 2019 [29 kasus], 2020 [23 kasus], 2021 [22 kasus], 2022 [8 kasus], dan Januari – Oktober 2023 [9 kasus].
- Pembukaan jalan, pembangunan permukiman baru, pembukaan areal pertanian dan perkebunan serta kegiatan pertambangan telah memperparah kehilangan tutupan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser, yang merupakan satu-satunya habitat alami orangutan s
- Data Geographic Information System [GIS] yang dirilis Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh [HAkA], dari 2017 hingga 2022, menunjukkan luas tutupan hutan KEL yang hilang mencapai 34.900 hektar.
Konflik manusia dengan orangutan sumatera di Provinsi Aceh terus terjadi dan belum terlihat mereda.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh mencatat, sejak 2019 sampai Oktober 2023 jumlah konflik manusia dengan orangutan mencapai 91 kasus. Rinciannya, 2019 [29 kasus], 2020 [23 kasus], 2021 [22 kasus], 2022 [8 kasus], dan Januari – Oktober 2023 [9 kasus].
“Interaksi negatif tertinggi terjadi di Kabupaten Aceh Selatan sebanyak 35 kasus. Lalu, Kota Subulussalam [28 kasus], Kabupaten Aceh Tamiang [12 kasus], dan Aceh Tenggara [10 kasus],” ujar Kepala BKSDA Aceh, Gunawan Alza, Rabu [6/12/2023].
Menurut Gunawan, data tersebut yang dilaporkan ke BKSDA Aceh. Ada juga data yang tidak tercatat karena warga tidak melaporkan perihal konflik.
“BKSDA Aceh bersama lembaga mitra telah melakukan berbagai upaya agar konflik tidak lagi terjadi, termasuk sosialisasi kepada masyarakat,” jelasnya.
Baca: Mencermati Masa Depan Orangutan Sumatera
Husaini, warga Desa Seuneubok Keuranji, Kota Bahagia, Kabupaten Aceh Selatan, mengatakan selama ini hidupnya bergantung dari hasil kebun yang berada di pinggir hutan Kawasan Ekosistem Leuser [KEL].
“Buah durian tidak jarang dipetik orangutan dan ada juga yang dimakan,” ujar ayah empat anak ini, Selasa [10/10/2023].
Saat orangutan masuk kebun, kejadian tersebut telah dilaporkan kepada pihak terkait. Namun, responnya agak terlambat. Hal ini yang menyebabkan beberapa warga mengambil tindakan yang tak jarang melukai orangutan.
“Warga bukan marah pada orangutan, tapi kecewa terhadap respon laporan yang terlalu lama. Sejauh ini, ketika orangutan terluka dianggap melanggar hukum, sementara kebun warga yang rusak tidak ada biaya perbaikan. Ini yang dianggap tidak adil oleh warga,” papar Husaini.
Baca: Ketambe, Desa yang Bersahabat dengan Orangutan Sumatera
Hutan rusak
Pembukaan jalan, pembangunan permukiman baru, pembukaan areal pertanian dan perkebunan serta kegiatan pertambangan telah memperparah kehilangan tutupan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser, yang merupakan satu-satunya habitat alami orangutan sumatera.
Hal ini pula, menyebabkan konflik manusia dengan orangutan sumatera makin sering terjadi, seperti orangutan masuk ke kebun masyarakat.
“Konflik orangutan dengan manusia terjadi karena orangutan semakin terjepit dengan habitat yang mulai terfragmentasi dan menyempit. Salah satu cara mencegah konflik adalah dengan tidak merusak hutan,” kata Misdi S.Hut, M.Si, Dosen Kehutanan PSDKU Universitas Syiah Kuala, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh, Senin [6/11/2023].
Menurut Misdi, semakin rusak hutan maka konflik akan sering terjadi. Satwa ini butuh hutan sebagai habitat dan buah-buahan sebagai pakan sehingga akan mencari makanan kemanapun. Termasuk, ke kebun masyarakat.
“Karena dianggap hama, ada yang melukai orangutan menggunakan senapan angin atau senjata tajam. Hal ini yang menyebabkan orangutan terluka, bahkan mati,” ungkapnya.
Baca juga: Sedih, Orangutan Sumatera Terluka Akibat Jerat Babi
Data Geographic Information System [GIS] yang dirilis Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh [HAkA], dari 2017 hingga 2022, menunjukkan luas tutupan hutan KEL yang hilang mencapai 34.900 hektar.
“Rinciannya, pada 2017 [7.066 hektar], 2018 [5.685 hektar], 2019 [5.395 hektar], 2020 [7.331 hektar], 2021 [4.747 hektar], dan 2022 [4.676 hektar],” jelas Lukmanul Hakim, Manager GIS Yayasan HAkA.