Mongabay.co.id

Ekonomi Biru Akan Berjaya pada 2030?

 

Wilayah perairan Indonesia diakui menjadi wilayah sangat strategis menjadi penghubung lalu lintas perairan internasional melalui tiga jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Ketiga jalur tersebut diyakini bisa menyumbang potensi ekonomi berbasis perairan atau ekonomi biru.

Keyakinan itu diungkapkan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa belum lama ini di Batam, Kepulauan Riau. Dia yakin, ekonomi biru bisa memberikan proyeksi nilai tambah senilai USD30 triliun pada 2030.

Ada pun, wilayah laut yang dinilai memiliki potensi ekonomi biru yang besar, di antaranya perairan Laut Natuna, Selat Malaka, Teluk Cendrawasih, Selat Capalulu, dan sejumlah lokasi lain. Tak hanya bisa memunculkan manfaat ekonomi, jika dimanfaatkan optimal, ada potensi untuk perlindungan habitat dan biodiversitas.

“Juga, menyumbang penurunan gas rumah kaca (GRK) hingga 20 persen, menciptakan sekitar 12 juta lapangan kerja pada 2030 mendatang, dan keuntungan investasi laut berkelanjutan yang mencapai USD15,5 triliun,” terangnya.

Namun demikian, dia mengakui kalau penerapan ekonomi biru pada semua aspek akan menghadapi sejumlah tantangan. Oleh karena itu, agar pengembangan ekonomi biru bisa berkelanjutan dan inklusif, pihaknya menyusun Indonesia Blue Economy Roadmap Edisi II.

Ada empat pilar yang menjadi bagian dari peta jalan, yaitu mengamankan laut yang sehat, tangguh, dan produktif; meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan secara lingkungan; meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, dan kemakmuran bersama; dan menciptakan lingkungan yang mendukung secara keseluruhan.

baca : Apa Manfaat Ekonomi Biru untuk Sektor Kelautan dan Perikanan?

 

Seorang nelayan tradisional dari Pulau Batam, Kepulauan Riau, yang melaut di daerah perbatasan antara Singapura-Indonesia. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Sinergi K/L

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono pada kesempatan berbeda mengatakan kalau saat ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sedang fokus menjalankan lima program ekonomi biru sebagai upaya transformasi tata kelola kelautan dan perikanan yang berasaskan pada prinsip ekonomi biru.

Lima program ekonomi biru yang digagas KKP mencakup perluasan kawasan konservasi laut; penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT); pembangunan budi daya perikanan di darat, pesisir, dan laut secara berkelanjutan; pengendalian dan pengawasan pemanfaatan pesisir dan pulau-pulau kecil; serta penanganan sampah plastik di laut.

Pelaksanaan lima program ekonomi biru bertujuan untuk pemerataan pertumbuhan ekonomi di wilayah pesisir, peningkatan kualitas dan daya saing produk perikanan di pasar global, pembangunan budi daya perikanan berkelanjutan, serta yang utama memastikan keberlanjutan ekosistem kelautan dan perikanan.

Untuk itu, KKP menjalin kerja sama dengan sejumlah pihak, termasuk Kementerian dan Lembaga (K/L). Salah satunya, adalah dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang melaksanakan program konservasi

“Pasti ini bersinggungan dengan pemerintah daerah dan masyarakat pesisir. Kita juga ingin kuat di bidang budi daya, dan bidang-bidang lainnya,” ujarnya.

Sinergi dengan Kemendagri dilakukan, berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi bidang kelautan dan perikanan dan pemerintahan dalam negeri. Sedangkan, dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sinergi berjalan dalam pemanfaatan tata ruang untuk kegiatan kelautan dan perikanan.

“Kolaborasi ini akan memperkuat pelaksanaan transformasi tata kelola kelautan dan perikanan. Kita bisa perbaiki kampung-kampung nelayan, penguatan data masyarakat pesisir, perbaikan infrastruktur perikanan budi daya, dan sebagainya,” terangnya.

baca juga : Strategi untuk Kembangkan Ekonomi Biru di Nusantara

 

Aktivitas nelayan di tempat pelelangan ikan di Kota Rembang, Jawa Tengah. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Pada berbagai kesempatan, Trenggono sering kali mengumbar klaim bahwa ekonomi biru tak hanya akan memajukan subsektor perikanan tangkap saja. Melainkan juga, subsektor perikanan budi daya yang potensinya disebut masih sangat besar.

“Dampak ekonominya luar biasa, penyerapan tenaga kerjanya juga demikian, di mana kita tetapkan bahwa tenaga kerja di pelabuhan atau kapal-kapal harus mengutamakan ABK lokal, begitu juga di tambak-tambak yang dibangun,” tegasnya.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memberikan apresiasi karena KKP mau melaksanakan sinergi dalam tata kelautan dan perikanan. Sinergi diyakini akan menjadi kunci, karena cakupan yang luas dan potensi yang sangat besar pada sektor tersebut.

Menurutnya, sinergi juga akan membuat pengelolaan sektor kelautan dan perikanan menjadi lebih sistematis dan kolaboratif, serta bergerak secara aktif di bawah koordinasi yang dilaksanakan KKP. Konteks tersebut utamanya berkaitan dengan penggunaan data kependudukan untuk program pemberdayaan nelayan di pesisir.

Penerapan ekonomi biru juga didukung penuh oleh Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto. Dia menyebut, sinergi dalam pemanfaatan tata ruang bagi kegiatan kelautan dan perikanan perlu dilakukan untuk memberi kepastian hukum kepada masyarakat dan pelaku usaha.

Katanya, ada banyak wilayah pantai yang memiliki potensi untuk menjadi tempat budi daya ikan. Hal itu mendorong perlunya dilakukan sinergi dan kolaborasi untuk mengatur tata ruang di darat dan laut, dan sekaligus sebagai bentuk kehadiran Pemerintah dalam memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan pelaku usaha.

Sinergi juga dilakukan KKP dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia (PUPR), Kementerian Pertanian, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan perguruan tinggi seperti Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan.

baca juga : Membumikan Ekonomi Biru di Tengah Ancaman Perubahan Iklim

 

Aktivitas di tempat pelelangan ikan Beba Galesong Utara, Takalar. Diperkirakan 20 ribuan nelayan yang berprofesi sebagai nelayan di sepanjang pesisir Takalar dan menjual ikannya di TPI ini. sejumlah nelayan mengeluhkan mulai adanya penurunan tangkapan ikan sejak adanya penambangan pasir di perairan mereka. Foto Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Kemitraan Internasional

Pengembangan ekonomi biru juga menjadi konsentrasi Kementerian Koordinasi Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), salah satunya melalui kemitraan Aksi Agenda Biru Nasional (NBAAP) yang sudah diluncurkan pada perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi Kelompok Negara 20 (G20) di Bali, akhir 2023.

Deputi Bidang Koordinasi Sumber daya Maritim Kemenko Marves Firman Hidayat menjelaskan kalau NBAAP adalah program yang mendukung Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan sudah mencapai sejumlah hasil yang signifikan.

Program yang dijalankan di antaranya fokus pada peningkatan akses ke pasar ekspor bagi perikanan skala kecil yang didukung oleh implementasi dari praktik baik; memperbaiki kondisi kerja nelayan karena menguatnya inspeksi tenaga kerja; dan pendanaan inovatif untuk menangani sampah plastik.

Kepala Kantor Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Indonesia Valerie Julliand mendukung penuh Indonesia untuk bisa mencapai beragam tujuan pada sektor kelautan dan perikanan. Termasuk, mengembangkan ekonomi berbasis laut yang berkelanjutan, dan menyediakan mata pencaharian dengan tetap menjaga laut untuk generasi mendatang.

“Badan-badan PBB di Indonesia berkomitmen untuk menyediakan keahlian dan sumber daya komplementer untuk membantu Indonesia mencapai tujuan ambisiusnya,” ungkap dia.

Keyakinan juga diungkapkan Pelaksana Tugas (Plt) Direktur The United States Agency for International Development (USAID) Indonesia Erin Nicholson saat mengomentari tentang kemitraan NBAAP. Dia optimis, NBAAP akan bisa berperan penting untuk mengonsolidasikan upaya Pemerintah Indonesia dan para mitranya untuk pembangunan nasional.

Selain beranggotakan Kemenko Marves, Komite Pengarah NBAAP juga mencakup Kementerian PPN/Bappenas, KKP, Perwakilan PBB di Indonesia, dan USAID.

Sementara, Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) juga meyakini kalau penerapan ekonomi biru akan mendorong Indonesia untuk menjadi negara kepulauan maju di masa mendatang. FAO yakin, penerapan program ekonomi biru dalam pengelolaan sektor kelautan dan perikanan Indonesia sudah sangat tepat untuk ekologi, ketahanan pangan, dan pertumbuhan ekonomi negara di masa depan.

Namun, walau diyakini akan membawa Indonesia lebih baik lagi sebagai negara kepulauan, Kepala Perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste Rajendra Aryal menyebut bahwa pelaksanannya akan menghadapi banyak tantangan, karena konsep ekonomi biru masih tergolong baru di Indonesia.

Akan tetapi, dia berjanji kalau FAO akan terus mendukung upaya Indonesia untuk menerapkan program ekonomi biru seperti yang sudah berjalan melalui program pengelolaan ekosistem laut besar Indonesia (ISLME) dan iFish.

“Ada beberapa kolaborasi yang telah dilakukan dengan Indonesia di bidang perikanan tangkap dan budi daya darat. Beberapa good practice pun telah dilakukan dengan baik,” ujar dia.

baca juga : Membumikan Ekonomi Biru di Asia Tenggara

 

Nelayan mencari ikan di Sungai Lalan yang berbatasan dengan TN Sembilang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kontributor Ekonomi

Beberapa waktu lalu, Rektor IPB University Arif Satria memberikan pandangannya tentang ekonomi biru. Katanya, ekonomi biru penting dan mutlak untuk dilaksanakan di Indonesia, karena menjadi katalisator pertumbuhan biru, dampak sosial ke masyarakat, kualitas lingkungan, terhubung ke semua kawasan, dan pariwisata berkelanjutan.

Menurutnya, jika ekonomi biru ingin menjadi salah satu kontributor utama untuk perekonomian nasional pada 2045 saat Indonesia merayakan hari kemerdekaan yang ke-100, maka Indonesia harus memperhatikan empat poin, yaitu:

Pertama, investasi untuk peningkatan/penguatan tata kelola yang berorientasi pada manfaat ekonomi nasional dan masyarakat lokal. Namun, tetap menjaga kelestarian sumber daya alam yang ada di laut dan pesisir.

Kedua, mengoptimalkan peran ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) untuk mendukung setiap pengambilan keputusan. Ketiga, meningkatkan infrastruktur pasar, serta akses yang lebih baik bagi orang miskin

“Keempat, pembiayaan yang berkelanjutan untuk menjamin manfaat adil dan merata,” sebutnya.

Secara khusus, Arif  kemudian membeberkan pemikiran yang dibuat IPB University tentang agro maritim 4.0. Konsep tersebut menyatukan pengelolaan wilayah darat dan laut secara inklusif yang melibatkan sistem sosial, ekologi, dan ekonomi kompleks.

Transformasi agro maritim 4.0 mengarah kepada industri agro maritim dan perdagangan yang berdaya saing; penguatan infrastruktur konektivitas dan rantai nilai agro maritim; serta penguatan sumber daya manusia dan IPTEK.

Sementara, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan beberapa waktu lalu juga pernah memberikan pandangannya tentang ekonomi biru. Menurutnya, pemerintah memerlukan koridor pemanfaatan dan tata kelola sumber daya kelautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil yang transparan, adil, dan berkelanjutan.

perlu dibaca : Agro Maritim 4.0, Ekonomi Biru, dan Keberlanjutan Lautan

 

Perahu nelayan secara beriring-iringan menyusuri sungai yang ditumbuhi pohon mangrove untuk mengikuti kegiatan sedekah laut di Desa Betahwalang, Kecamatan Bonang, Demak, Jateng. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Cara untuk mencapai tujuan tersebut, hanya bisa dilakukan jika pemerintah mengikuti rambu-rambu kebijakan ekonomi biru. Pertama, bagaimana Pemerintah bisa mengutamakan subjek utama pelaku ekonomi biru adalah nelayan kecil, masyarakat lokal, dan masyarakat adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Kedua, bagaimana pemerintah bisa mengimplementasikan konsep ekonomi biru yang transparan dan adil melalui kemudahan akses data yang mutakhir, dan terintegrasi dengan sistem informasi. Mengingat, saat ini sumber data yang ada terkesan tidak bermuara pada satu pintu dan terintegrasi antar kementerian/lembaga serta pemangku kepentingan.

Dia mencontohkan, data jumlah nelayan di Indonesia sampai saat ini masih beragam, baik dari segi kualitas data maupun kuantitas detail data. Kemudian, pemutakhiran dan integrasi data juga harus berjalan dari pemerintah hingga daerah dengan efektif dan tepat.

Ketiga, bagaimana pemerintah bisa memastikan mekanisme pengawasan end to end yang partisipatif dan penegakan hukum dalam kebijakan ekonomi biru bisa berjalan baik. Rambu ini berjalan mulai dari pengawasan ketat terhadap pintu perizinan yang diberikan pada pelaku usaha dan investor dalam negeri maupun asing.

Kemudian, pengawasan terhadap prinsip ketertelusuran skema pajak yang adil bagi nelayan tradisional dan pelaku usaha skala besar, hingga proses evaluasi dan uji tuntas terhadap keberlanjutan tata kelola kelautan dan perikanan.

Keempat, bagaimana pemerintah bisa mendorong tata kelola pemanfaatan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan, sekaligus bisa mengakomodir kearifan lokal. Rambu ini merujuk pada pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dengan meminta Pemerintah untuk memastikan pembangunan ekonomi didasarkan pada asas pemerataan.

Itu berarti, pembangunan dilaksanakan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan kemakmuran rakyat. Bukan didasarkan pada kepentingan investasi dan prinsip pertumbuhan ekonomi yang eksploitatif saja, lalu berujung munculnya perampasan ruang dan hak kearifan lokal.

Oleh karena itu, Suhufan menyebutkan, implementasi ekonomi biru yang transparan perlu diterapkan melalui berbagai arah kebijakan pembangunan. Kemudian, ekonomi biru juga perlu berpihak pada keberlanjutan ekosistem, serta sumber daya kelautan dan perikanan tangkap maupun budi daya yang ada dengan prioritas kesejahteraan dan kearifan lokal.

Kepala Unit Sistem Informasi dan Pengelolaan Pengetahuan Pusat Studi Agraria IPB University Ari Wibowo mengatakan, ekonomi biru muncul di Indonesia diawali dari penetapan target pemerintah untuk mendorong pengurangan emisi menjadi 31,89 persen pada 2030, dengan target dukungan internasional hingga 43,20 persen.

Target di atas ditetapkan dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) terbaru. Untuk mendukungnya, KKP menetapkan lima program prioritas untuk penerapan ekonomi biru. Kelimanya sudah disebutkan di paragraf sebelum ini.

Dia menyebut kalau pemerintah berani menyebutkan ekonomi biru sebagai kerangka kerja yang bisa menuntaskan permasalahan dalam tata kelola sektor kelautan dan perikanan. Kerangka tersebut menjadi penjabaran dari RPJ Panjang Nasional Indonesia (RPJPN) 2020-2025, dan RPJMN 2020-2024. (***)

 

Meluruskan Kembali Konsep Ekonomi Biru di Indonesia

 

Exit mobile version