Mongabay.co.id

Masyarakat Tebing Tinggi Okura Tuntut Plasma Sawit, Apa Upaya Pemerintah?

 

 

 

 

 

 

Masyarakat Tebing Tinggi Okura terus menuntut kejelasan kebun plasma dari perusahaan perkebunan sawit, PT Surya Intisari Raya (SIR). Hingga kini, persoalan kebun plasma sawit masyarakat ini  belum tuntas walau Pemerintah Riau mulai menggagas pertemuan para pihak untuk mencari jalan penyelesaian konflik.

Aliansi Masyarakat Adat (AMA) Melayu Riau bersama komunitas pemuda setempat sudah lama mendesak SIR memenuhi kewajiban membangun kebun plasma masyarakat, sebelum memperoleh hak guna usaha (HGU) baru.

“Mencari solusi terbaik buat masyarakat,” kata Jonhor Amin, Ketua Rukun Warga, Kelurahan Tebing Okura, Kecamatan Rumbai Timur, Pekanbaru juga tergabung dalam AMA Melayu Riau.

Penelusuran Mongabay,  dari pemberitaan sejumlah situs media elektronik, upaya masyarakat menyuarakan soal plasma sawit setidaknya berlangsung satu tahun belakangan. Mengingat, HGU SIR akan berakhir 31 Desember 2024 dan perusahaan sedang memohon perpanjangan HGU di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau.

SIR berdiri pada 1992. Bagian dari First Resources, milik Ciliandra Fangiono. Majalah Forbes pada 2021, pernah menobatkan pengusaha sawit ini,  sebagai orang kaya Indonesia nomer 24 dan tergolong masih muda karena berusia 45 tahun, saat itu.

Umar Fathoni,  Kepala Bidang Penetapan Hak dan Pendaftaran, Kanwil BPN Riau, mengatakan,  BPN tak lagi berwenang ‘menekan’ perusahaan menyediakan kebun plasma bagi masyarakat.

Meski aturan kementerian mewajibkan itu, pemeriksaan syarat sebatas dokumen. Teknis lapangan sepenuhnya kembali ke instansi perkebunan.

“(Plasma) wajib sebagai persyaratan formal. Tapi seperti apa plasma dibentuk? Siapa berhak? dan persyaratan lain mengenai itu BPN tidak ikut campur. Sepanjang sudah ada dokumen dilampirkan mengenai plasma BPN menindaklanjutinya,” kata Umar, via aplikasi percakapan, Januari lalu.

Mencuatnya gejolak masyarakat Tebing Tinggi Okura membuat Gubernur Riau Edy Natar Nasution membentuk Satgas Internal Terpadu. Tim ini dipimpin Kepala Dinas Perkebunan Syahrial Abdi. Tim ini akan bekerja sampai kesepakatan kedua belah pihak—masyarakat dan perusahaan—tercapai.

Syahrial Abdi, mengatakan, ada dua penyebab gejolak di masyarakat. Pertama, sebagian kelompok masyarakat merasa tersisih atau tidak terlibat dalam koperasi yang bekerjasama dengan SIR, beberapa tahun ke belakang.

Koperasi itu adalah, Tuah Okura Madani (TOM), selama ini menerima atau menampung beragam bantuan program dari perusahaan.

Kedua, mengenai informasi kewajiban fasilitasi pembangunan kebun masyarakat atau kebun plasma yang belum tersosialisasi.

Masyarakat, katanya, menganggap perusahaan perkebunan wajib menyisihkan 20% lahan dari luas izin usaha yang dimiliki.

“Setelah ditelaah, ketentuan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat itu terkait kondisi perusahaan. SIR masuk fase satu dan tidak kena kewajiban itu (kebun plasma). Ini yang mungkin pesannya tidak sampai pada masyarakat,” kata Syahrial.

 

Aksi masyarakat Tebing Tinggi Okura, menuntut kejelasan kebun plasma mereka . Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Beri kelonggaran

Syahrial merujuk pada Surat Edaran Direktorat Jenderal Perkebunan 12 Juli 2023. Warkah ini membagi tiga kategori perusahaan menyangkut kewajiban fasilitasi pembangunan kebun plasma masyarakat.

  1. Perusahaan perkebunan berizin usaha sebelum 28 Februari 2007.

Jika telah kemitraan berupa perkebunan inti rakyat atau pola serupa lain, dianggap sudah memenuhi kewajiban fasilitasi pembangunan kebun masyarakat. Sebaliknya, bila belum melaksanakan pola kemitraan kebun inti-plasma, wajib melakukan usaha produktif bagi masyarakat sekitar sesuai kesepakatan dengan diketahui pemerintah daerah setempat.

  1. Perusahaan perkebunan yang memiliki izin usaha antara 28 Februari 2007-2 November 2020, wajib fasilitasi pembangunan kebun masyarakat paling sedikit 20% dari luas IUP-B dan IUP.

Kebun masyarakat yang akan dibangun di luar izin perusahaan. Mempertimbangkan kertersediaan lahan. Jika tidak ada lahan, ganti dengan kegiatan usaha produktif yang dapat jadi sumber ekonomi masyarakat sekitar.

  1. Perusahaan perkebunan yang memiliki izin usaha setelah 2 November 2020.

Sebagian atau seluruh lahan berasal dari area penggunaan lain di luar HGU atau dari pelepasan kawasan hutan, wajib melaksanakan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat. Meski kewajiban ini telah selesai, perusahaan tetap mesti fasilitasi masyarakat secara sukarela untuk mengembangkan pengelolaan kebun.

Pola kemitraan kebun masyarakat, kata Syahrial,  bisa bentuk kredit, hibah atau bagi hasil. “Model pertama paling banyak diterapkan,” katanya.

Perusahaan, misal, sebagai penjamin di bank untuk mendapatkan modal membangun kebun masyarakat. Selanjutnya, pembayaran utang dari sebagian hasil produksi sawit masyarakat yang juga ditampung langsung perusahaan.

SIR,  tergolong dalam fase pertama. “Pemahaman masyarakat terhadap 20% (kebun plasma), awalnya, perusahaan wajib mengeluarkan sebagian lahan untuk masyarakat. Kita maklumi pemahaman ini. Itulah (gunanya) sosialisasi ke perusahaan dan masyarakat,” kata Syahrial.

Pasca program perkebunan inti rakyat (PIR) berakhir 2000, kebijakan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar perusahaan ‘bunyi’ kembali dalam Permentan 26/2007 tentang pedoman perizinan usaha perkebunan. Sejak awal banyak kritik para pihak karena tidak menyejahterakan masyarakat pekebun.

Mengutip riset Dian Cahyaningrum yang terbit 2013, pasal mengenai fasilitasi pembangunan kebun masyarakat memiliki beberapa kelemahan. Salah satu, Pasal 11 tidak menjelaskan apakah kewajiban hanya berlaku bagi perusahaan perkebunan yang berizin setelah aturan ini terbit—28 Februari 2007—atau tanpa pengecualian.

Enam bulan pasca penelitian, Kementerian Pertanian mencabut dan mengganti aturan dengan Permentan 98/2013. Di dalamnya, masih memuat kewajiban perusahaan perkebunan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat.

Di sini ada penegasan bagi perusahaan yang berizin usaha sebelum 28 Februari 2007 dan telah åååmelaksanakan pola kerjasama kebun inti-plasma tidak diwajibkan lagi fasilitasi pembangunan kebun masyarakat.

 

Msyarakat Tebing Tinggi Okura, Riau, protes kejelasan kebun plasma 20% untuk mereka. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Mayoritas belum penuhi aturan

Di Riau, ratusan perusahaan perkebunan belum menyediakan kebun plasma bagi masyarakat. Gubernur Edy Natar Nasution, saat rapat koordinasi konflik perkebunan di Riau, 24 Januari lalu, memaparkan, hanya 63 perusahaan dari 273 yang memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat. Dengan kata lain,  dari 1,7 juta hektar luas IUP baru 298.000 hektar terbangun kebun masyarakat.

Gubernur Riau menyurati pemerintah kabupaten dan kota untuk menindaklanjuti atau pembinaan pada perusahaan perkebunan di wilayah masing-masing. Sekaligus menyelesaikan persoalan soal kewajiban plasma sesuai kategori fase perolehan perizinan.

“Secara regulasi, kita ngikut dan berpedoman pada SE Dirjen Perkebunan. Kita di daerah ikut apa yang diarahkan pusat. Pemerintah ini pentingnya regulasi. Apa aturannya, itu kita ikuti. Walapun regulasi ini berubah-ubah,” kata Syahrial.

Satu contoh Kabupaten Siak, dari 11 perusahaan perkebunan berizin baru satu perusahaan bangun kebun masyarakat seluas 3.741 hektar dari total 71.938,61 hektar IUP.

M Ihsan, Kabid Perkebunan Dinas Pertanian Siak, mengatakan,  lebih separuh pemilik izin di Siak beroperasi sebelum 28 Februari 2007.

Rata-rata, katanya,  belum memilik pola kerjasama kebun inti-plasma sejak awal.  Pemerintah Siak, katanya,  telah menyurati perusahaan untuk memenuhi kewajiban kemitraan berupa kegiatan ekonomi produktif bagi masyarakat.

“Perusahaan sudah merespon dan datang ke kami. Kami juga akan sosialisasi SE Dirjenbun. Kami juga akan mendengar permintaan masyarakat,” kata Ihsan, via telepon seluler, Selasa (6/2/24).

Selain hambatan kategori waktu perusahaan perkebunan peroleh izin, katanya, target 347 hektar kebun plasma di Riau juga hanya berdasarkan kebun sah. Kalau mengikuti luas kebun sawit perusahaan terbangun, katanya, plasma tentu lebih banyak.

Prayudi Syamsuri,  Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Kementerian Pertaanian, menjelaskan langsung surat edaran kepada bupati, wali kota dan sejumlah perwakilan perusahaan perkebunan.

Yudi, biasa disapa mengatakan, banyak surat masuk ke Direktorat Jenderal Perkebunan mengenai fasilitasi pembangunan kebun masyarakat, saat perusahaan memperpanjang HGU. Kebanyakan, katanya.  surat masyarakat itu tak perpanjang HGU perusahaan karena belum jalankan kewajiban itu.

iItinya, kata Yudi,  pemerintah berada di tengah—fasilitasi penyelesaian konflik masyarakat dan perusahaan—dengan mengacu regulasi. “Perusahaan harus buka informasi pada pemberi izin maupun masyarakat supaya tidak menimbulkan konflik.”

 

Masyarakat Tebing Tinggi Okura mempertanyakan kejelasan kebun plasma sawit mereka. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Minim keberpihakan

Kebijakan fasilitasi kebun masyarakat lebih progresif pada masa sebelum 2000-an. Ketika masih bernama program PIR Bun dan PIR Trans, masyarakat dapat pembagian kebun sampai 80% dari luas yang dikembangkan untuk perkebunan sawit.

Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, mengingatkan,  pemerintah agar berpihak pada masyarakat.

Bila masyarakat sekitar kebun perusahaan tak sejahtera atau miskin, katanya, kondisi ini akan berdampak pada keamanan bisnis perusahaan.

Surambo mengkritik,  Permentan 98/2013 yang seharusnya tidak membedakan kewajiban fasilitasi pembangunan kebun masyarakat berdasarkan waktu perusahaan perkebunan memperoleh izin usaha.

“Itu bagian dari skenario, bagaimana bareng-bareng menikmati kue ekonomi untuk kesejahteraan. Jangan menang sendiri.”

Pemerintah,  kata Surambo, sempat beri solusi dalam bentuk lain agar perusahaan dan masyarakat pekebun sama-sama menikmati hasil. Yakni, katanya, dengan mewajibkan perusahaan sawit jual saham pada koperasi pekebun yang bekerjasama.

Sayangnya, dalam revisi Permentan 98/2013 menghapus ketentuan itu. Aturan 2016 itu merupakan revisi pertama setelah revisi lagi dalam Permentan 21/2017.

“Padahal solusi ekonomi masyarakat sekitar perusahaan dalam Permentan ini (No 98/2013), bukan hanya soal kebun plasma. Tidak terbatas lahan. Kebijakan lanjutan justru tidak tambah baik,” ucap Surambo.

Dia mengingatkan, pemerintah daerah harus kreatif dan inovatif mencari jalan keluar bagi masyarakat maupun perusahaan. Solusi lain, katanya, bisa dengan intervensi saat perusahaan akan memperbaharui HGU.

Kantor pertanahan, BPN maupun KATR, harus memperhatikan kondisi wilayah. Luas izin perusahaan, katanya, dapat saja berkurang untuk bagian masyarakat atau bahkan tidak diperpanjang. Kebijakan ini, katanya,  bisa sebagai solusi mengatasi ketimpangan kepemilikan lahan.

Pertimbangannya, kata Surambo, penduduk di desa terus bertambah. Kebutuhan lahan masyarakat juga meningkat. Belum lagi, keinginan pemerintah ketersediaan lahan untuk pembangunan berbagai fasilitas juga jadi perhatian.

Masalahnya, kata Surambo, proses perpanjangan atau pembaruan HGU tidak terbuka. Rekomendasi kepala desa atau suara masyarakat terkadang tidak dapat perhatian. Selama beraktivitas pun, katanya, hubungan masyarakat dengan perusahaan tak harmonis

“Desa-desa juga harus berkembang. Skenario pembangunan desa ke depan harus jadi perhatian juga. Hingga, tumbuh dan sejahtera bareng. Ini yang namanya keadilan ekonomi bukan menang sendiri.”

Difa Shafira, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), mendesak,  pemerintah menindak tegas ketidakpatuhan perusahaan atas kewajiban fasilitasi pembangunan kebun masyarakat.

Difa mengutip Pasal 25 PP 26/2021 tentang penyelenggaraan bidang pertanian. Perusahaan tidak memenuhi ketentuan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat, katanya, kena sanksi administratif, berupa denda, penghentian sementara kegiatan usaha perkebunan hingga pencabutan perizinan berusaha.

Dia sarankan, pemerintah buat peta kebun plasma agar publik bisa memantau kepatuhan perusahaan terhadap kewajiban mereka serta mendorong penjatuhan sanksi. “Ada peta kebun plasma dapat membantu publik mengawasi segala proses perizinan. Misal, perpanjangan hak guna usaha.”

 

Aksi masyarakat Tebing Tinggi Okura, menyuarakan soal kebun plasma dengan perusahaan sawit yang tak kunjung ada penyelesaian. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Ada kesepakatan?

Gubernur Edy mengumpulkan sejumlah pihak di Ruang Melati Kompleks Gubernuran, Selasa (6/2/24), siang. Syahrial dan Sekda Pekanbaru Indra Pomi Nasution mendampingi kiri dan kanan. SIR dan perwakilan masyarakat Tebing Tinggi Okura pun hadir.

Pertemuan itu terkesan seolah konflik masyarakat dan perusahaan selesai tetapi perbedaan pendapat soal kebun plasma masih mengemuka di antara kedua pihak.

Suparman, utusan SIR, berpegang pada aturan yang mengecualikan perusahaan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat.

“Sesuai aturan, SIR termasuk perusahaan fase satu. Tidak ada kewajiban membangun pola kemitraan kebun,” katanya.

Meski tidak wajib fasilitasi pembangunan kebun masyarakat, katanya, SIR sudah mengikuti alternatif pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar perusahaan. Mereka menggandeng Koperasi Tuah Okura Madani (TOM) menyalurkan beragam bentuk kegiatan ekonomi.

Ismanto, Ketua AMA Melayu Riau, tampak lebih lunak dengan tetap patuh dan mengikuti arahan gubernur. Meski masih tersirat harapan, supaya 522 keluarga Tebing Tinggi Okura mendapat kebun.

“Masyarakat tidak neko-neko. Yang diminta hanya satu, berikan ruang hidup. Tidak lebih dari itu.”

Heri, warga Okura  menyinggung, lebih 50% konsesi SIR berada di wilayah Tebing Tinggi Okura, namun masih ada anak kekurangan gizi dan putus sekolah.

“Mudah-mudahan dengan adanya itu (tanggungjawab perusahaan), masyarakat Okura, Tualang dan Maredan Barat, ada uang beli beras dan sekolahkan anak ke depan,” kata Heri.

Satu-satunya solusi yang disepakati dalam pertemuan itu, Pemerintah Pekanbaru segera menerbitkan surat keputusan calon petani penerima (CPP). Langkah pendataan dan identifikasi sudah jalan beberapa minggu sebelumnya. Belum jelas juga petani akan terima apa.

Indra mengatakan,  akan dibahas dan disepakati masyarakat dan perusahaan. Satu syarat lain, calon petani penerima juga harus bergabung dalam Koperasi Tuah Okura Madani dan tak mesti mendirikan koperasi baru.

Saat ini, Koperasi Tuah Okura Madani dipimpin Sarbaini, sebelumnya pengawas. Dia menggantikan Rayadi Saputra, ketua sebelumnya mengundurkan diri. Sejak berdiri, koperasi sudah menjalankan program ekonomi kemasyarakatan dari SIR berupa pelihara sapi, budi daya ikan dan kuliner.

Juga bantuan pendidikan buat Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA), dan pinjaman biaya perawatan kebun masyarakat sekitar.

Sarbaini mengaku dukung tuntutan agar SIR fasilitasi pembangunan kebun masyarakat 20%, tetapi juga berpegang pada aturan yang meniadakan kewajiban itu.

 

Kala Kebun Plasma Tak Sesuai Janji, Petani Bualemo Ganti Sawit dengan Beragam Tanaman

******

Exit mobile version