Mongabay.co.id

Teknologi Tepat Guna, Penguatan Wisata dari Hulu ke Hilir

Seorang nelayan bertahan hidup di Danau Maninjau yang kualitas airnya terus menurun akibat berbagai limbah. Danau ini menjadi target Korem 032 Wirabraja dalam memperbaiki kualitas airnya bersama berbagai pihak. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Badai pandemi COVID-19 pernah meluluhlantakkan sektor-sektor publik di negara ini. Sektor pariwisata adalah bidang yang cukup menderita. Batasan bepergian, kebijakan menjaga jarak, menyebabkan pariwisata mau tidak mau harus berdiam diri sejenak. Sekarang, setelah badai berlalu, sektor ini kembali menggeliat, publik mulai melirik dan melakukan berbagai kunjungan.

Sektor pariwisata di Indonesia, memiliki karakteristik khusus, yaitu dominan pada pemanfaatan keunggulan sumber daya alam, ketimbang bentuk lainnya. Hal ini wajar karena memang potensi alam di Indonesia sangat besar dan menyimpan ragam keindahan yang menjadi daya tarik publik.

Lautan, pegunungan, lembah, ngarai, air terjun, danau, hutan, dan sebagainya adalah potensi besar yang selalu jadi magnet. Ragam keunggulan ini berpadu dengan banyaknya kearifan lokal, tradisi, seni dan budaya yang melingkupi masing-masing objek.

Baca: Ketahanan Pangan, COVID-19, dan Potensi Pengembangan Herbal Indonesia

 

Danau Maninjau yang kualitas airnya makin menurun akibat berbagai limbah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Indonesia surga wisata alam

Tetapi, seiring pengembangan ragam objek tersebut, persoalan besar ikut mengintai. Kerusakan lingkungan dan bencana alam sebagai turunannya, adalah masalah yang tak terhindarkan. Kerusakan lingkungan, tentu saja berdampak langsung pada pengembangan aset wisata, yang bersumber dari kekuatan alam.

Bukti konkrit tampak dari rusaknya ekosistem sungai-sungai di Jawa Barat, seperti Citarum, Cikapundung, Cikalapa, dan lainnya. Sungai-sungai yang sebetulnya sangat potensial menjadi objek wisata di Tanah Parahyangan ini sekarang justru menjadi tempat sampah segalanya [Mongabay, 25/01/2023].

Begitu juga yang terjadi di Danau Maninjau, Sumatera Barat. Danau tektonik yang dulunya menjadi ikon Ranah Minang, destinasi utama para wisatawan, sekarang sepi dan hening. Lalu lalang wisatawan hampir tak terlihat, kecuali beberapa warga lokal yang datang kala lebaran. Kondisi danau yang sudah tak terawat, tercemar, banyak ikan mati, menjadi alasannya [Marganof et al., 2007].

Pada konteks inilah, perlu revitalisasi menyeluruh dalam mengembangkan sektor wisata alam di Indonesia. Tidak hanya pada tataran objek atau sarana prasarana fisik, tetapi juga pada kesungguhan perubahan cara berpikir para pihak, terutama masyarakat dan pemerintah daerah selaku penanggung jawab.

Wisata jangan lagi dipandang sebagai objek semata; foto-foto, buat content, selesai. Sudah saatnya sektor ini mengarah pada konsep keutuhan dan keserasian antara alam dan lingkungan. Selanjutnya, tinggal dicari kemasan sebagai pengikatnya.

Tanpa menghubungkan keserasian tersebut, sulit sektor wisata Indonesia akan bertahan. Aspek keberlanjutan akan terabaikan. Contohnya, kasus deforestasi hutan bambu di Subang, Jawa Barat, yang mengancam debit air Sungai Cipangasahan. Ancaman kekeringan terjadi, kesuburan tanah berkurang, dan di sisi lain longsor mengancam. Padahal, sektor wisata alam daerah ini banyak bergantung pada keutuhan ekosistem yang ada.

Artinya, keberhasilan sektor wisata berbanding lurus dengan keseriusan dan komitmen menjaga alam.

Baca: Citarum Harum, Simbol Keseimbangan Hidup Manusia dengan Alam

 

Sungai Musi yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Palembang dan Sumatera Selatan keseluruhan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Ekologi, sport dan tourism

Melihat realitas tersebut, saya mengusulkan [diawali aksi nyata] memformat sektor pariwisata menjadi konsep keberlanjutan dan partisipatif. Pola pikirnya tidak lagi semata berorientasi objek, tapi proyeksi kedepan dengan menghitung semua cost ekonomi yang ditimbulkan. Pariwisata tanpa kalkulasi ekonomi juga tidak akan berjalan.

Banyak contoh keberhasilan dengan pola pikir seperti ini. Kesuksesan pemuda di Desa Lembar Selatan, NTB, mengelola kawasan mangrove yang masuk nominasi Anugerah Desa Wisata Indonesia 2023 adalah salah satunya [Mongabay, 30/06/2023].

Begitu juga nyamannya berwisata ke Desa Pujon Kidul, Malang, yang mampu mengkolaborasikan karakteristik lingkungan dengan pengembangan wilayah. Tak ada yang tersisa, itu prinsipnya saat berbicara mengenai limbah. Tertatalah objek dan termanfaatkannya segala limbah [Mongabay, 12/10/2019].

Gagasan yang dijalankan adalah memadukan sektor hulu dan hilir dari seluruh rangkaian terkait, memformatnya dalam satu kemasan yang menyenangkan. Ekologi atau ketahanan dan keberlanjutan lingkungan menjadi faktor utama. Apapun bentuk objek wisata alam, dikawal oleh kesadaran pada keutuhan lingkungan.

Keutuhan lingkungan ini dikemas dengan ragam aktivitas menarik dan menyenangkan, khas wisatawan, misalnya sport/olahraga. Kemasan-kemasan olahraga yang otentik kelokalan dan khas objek tersebut bisa diformat sejak awal. Sasaran akhirnya adalah kenyamanan dan kesenangan para pelancong. Kalkulasi ekonominya adalah keuntungan ekonomis masyarakat setempat, bukan pengelola objek saja.

Titik kunci konsep ecology, sport, tourism adalah kesatuan utuh sebuah ekosistem wisata. Wisata danau misalnya, pembenahan bukan pada danaunya semata, tapi pada ekosistem di sekitar danau yang akan memberikan pengaruh pada kualitas objek. Ini dilandasi kenyataan hukum alam bahwa segala sesuatu pasti terhubung dengan yang lain. Danau pasti terhubung dengan ekosistem di sekitarnya.

Sasaran utama kesuksesan program ini adalah komunitas atau ekosistem sekitar, terutama masyarakat setempat. Berbicara masyarakat, maka pendekatan kemanusiaan akan jadi prioritas utama.

Sebagai contoh, pengembangan pariwisata alam di sekitar pesisir Banten, terutama pulau-pulau yang ada. Analisis masalah menunjukkan bahwa ini bukan soal objek semata, tapi pada aktivitas sekitar. Kerusakan terumbu karang dan pencemaran air laut terkait dengan kegiatan berbagai pihak di sekitarnya. Membenahi terumbu karang tanpa masuk ke penyebab, tidak akan membuahkan hasil, karena itu sektor hulu harus dibenahi.

Baca juga: Jangan Lagi “Salahkan” Gambut Saat Terjadi Karhutla

 

Aliran Sungai Citarum di Baleendah, Kabupaten Bandung, Kamis (20/1/2022). Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Hal pertama yang dilakukan adalah membangun keterlibatan komunitas masyarakat setempat untuk ikut mengembangkan program penyelamatan lingkungan. Kegiatan ekonomi tanpa pencemaran dan membangun pengawasan bersama seluruh masyarakat. Komunitas dibentuk dan mereka dilibatkan sejak awal. Kawasan perlindungan laut disiapkan, sementara masyarakat diedukasi secara partisipatif.

Dalam praktiknya, mereka tidak semata berurusan dengan teknis pengelolaan lingkungan. Kemasannya adalah sport dan tourism. Artinya, sedari awal masyarakat sudah masuk ke wilayah ini. Sport dan tourism bukan untuk pengunjung saja, tapi masyarakat sudah terlibat.

Selesai pada tingkat ini, sektor hilir dikelola. Kolaborasi dengan pemerintah daerah diperkuat, LSM-LSM dan lembaga lain yang fokus pada sektor ini diajak berpartisipasi. Pengelola objek wisata juga dilibatkan. Pengawasan dilakukan bersama, pembenahan juga bersama. Secara konkrit, keutuhan lingkungan, kemasan olahraga yang menarik dilakukan, kenyamanan wisatawan dan  objek yang berkelanjutan senantiasa dipantau.

Tentu saja, apa yang dilakukan tersebut membutuhkan ragam inovasi dan teknologi. Saya selalu menekankan bahwa dalam setiap inovasi yang dilakukan, pendekatan teknologi tepat guna harus jadi acuan. Teknologi berguna untuk membantu dan mempermudah pengembangan objek, tetapi tetap dalam kerangka keberlanjutan lingkungan hidup.

Berbagai inovasi dimunculkan, seperti mesin pengolah sampah plastik, pengatur pH tanah, filter air, mesin pengolah limbah menjadi energi, dan sebagainya. Semua jadi kesatuan sehingga membentuk sistem pengembangan wisata dengan aset ekologi terjaga.

Jika dalam tulisan ini saya menggunakan istilah pariwisata berkelanjutan, yang kemungkinan dianggap tidak pas oleh penggagas pariwisata regeneratif, biarlah perdebatan konseptual itu terjadi. Yang jelas, sebuah objek harus dipelihara bersama dan tidak hanya mengkerangkeng pada satu wilayah semata. Kerja nyata dan aksi terukur, itu jauh lebih penting ketimbang perdebatan yang tidak substansial.

Apabila ditarik lebih jauh, gagasan ini tentunya punya implikasi lebih luas. Kenapa demikian, karena objeknya bertumpu pada alam, maka menjaga satu aset sama dengan menjaga satu kawasan ekosistem lingkungan hidup.

Misalnya, menjaga daerah hilir Sungai Musi di Palembang, tidak cukup hanya mengedukasi warga Palembang saja, tapi semua warga yang berada di DAS Sungai Musi. Artinya, keberhasilan mengelola sebuah objek wisata secara baik dan berkelanjutan, akan menyelamatkan ekosistem lingkungan hidup dalam skala lebih besar.

Cerita sukses tentang ini tampak dari bagaimana program Dutch Room for the River di Belanda yang berhasil mengelola dengan baik aliran Sungai Rhine dan Meuse. Keberhasilan menjaga semua unsur yang berada di DAS sungai-sungai ini, akhirnya berhasil menjadikan sungai sebagai aset penting pariwisata Belanda [eea.europa.eu, 30/08/2018]. Alhasil, Belanda berhasil mengatasi ancaman banjir yang selalu menghantui.

Andai usaha seperti ini bisa dimaksimalkan, dilaksanakan secara massif, didukung penuh pengambil kebijakan, bisa dibayangkan dampak besar yang akan ditimbulkan. Andai satu objek wisata punya kaitan sekitar 50 km2 area sekitarnya, maka jika ada sekitar 100 objek saja, tentu luasannya amat besar. Indonesia akan menjadi negara yang paling ramah dan aman dengan lingkungan setempat.

Bagi TNI, semua itu tidak lepas dari konsep Sishankamrata yang menjadi paradigma penting bagi ketahanan bernegara. Penguatan potensi alam, kapasitas masyarakat, keutuhan lingkungan, adalah modal dasar dalam membangun dan memantapkan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta. Rakyat yang kuat adalah rakyat yang hidup di alam yang juga kuat dan terjaga.

Terpenting, rakyat hidup dalam kemandirian dan merasakan kuasa besar atas alam yang mereka tempati. Paradigma besar “semangat berbagi” bukan semangat “menguasai”.

 

* Mayor Jenderal TNI Kunto Arief Wibowo. Perwira Tinggi TNI, pemerhati dan pegiat lingkungan. Tulisan ini opini penulis.

 

Danau Maninjau, Buya Hamka dan BIOS 44

 

Exit mobile version