Mongabay.co.id

Perubahan Iklim Lokal, Pemicu Angin Puting Beliung dan Tornado di Rancaekek

 

Pergantian musim atau pancaroba kerap menciptakan kondisi atmosfer lebih labil. Kondisi ini rentan memicu terbentuknya awan cumulonimbus (CB) yang berpotensi menimbulkan angin ribut disertai hujan lebat dan petir.

Seperti fenomena puting beliung yang muncul di Rancekek atau perbatasan Bandung-Sumedang, Jawa Barat, atau Rabu (21/2/2024) lalu. Banyak rekaman video berasal ponsel warga yang memperlihatkan atap pabrik hingga rumah-rumah warga luluh lantak.

Langit gelap dengan situasi yang mencekam. Di udara, angin berputar kencang, membesar, dan menerbangkan apa saja ke atas. Di jalan raya mobil sampai ada yang terguling dan pohon-pohon tumbang.

Tercatat sebanyak 735 keluarga dan 116 bangunan dilaporkan terdampak puting beliung. Sedikitnya 32 orang menjadi korban luka-luka.

Saim (65), warga Bojong Bolang, menjadi salah satu korban yang mengalami kerugian dalam peristiwa itu. Sebagian rumah miliknya roboh hingga perabotan hilang disapu angin.

“Dari atas rumah seperti ada kilatan cahaya entah itu petir atau listrik. Entahlah kami sekeluarga hanya bisa berlindung di dalam dan tidak tahu harus bagaimana saat itu,” ucap Saim kepada Mongabay, Jumat (23/02/2024) yang baru pertama kali mengalami kejadian tersebut.

Kata Saim, pada siang hari cuaca cenderung panas dan normal. Sementara pada sore tiba-tiba hujan besar. Dan pola cuaca semacam ini sudah sering terjadi beberapa pekan belakangan.

baca : Kala Indonesia ‘Banjir’ Bencana Dampak Iklim

 

Suasana permukiman pasca angin ribut di Desa sukadana, Kampung Bojong Bolang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Jabar. Tercatat sebanyak 735 keluarga dan 116 bangunan dilaporkan terdampak puting beliung. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Menurut Kepala Stasiun Geofisika Kelas I Bandung BMKG Teguh Rahayu, kondisi peralihan musim itu menjadikan atmosfer bergolak. Biasanya ditandai munculnya pusaran angin akibat monsun Asia dan angin monsun Australia.

“Keduanya saling memberi tekanan pada pola cuaca sehingga membuat dinamika atmosfer salah satunya memicu angin puting beliung,” terang Rahayu kepada Mongabay, Jumat (23/02/2024).

Rahayu menegaskan, puting beliung merupakan fenomena alam biasa yang bersifat lokal. Adapun skala besar dan kecilnya tergantung pembentukan awan cumulonimbus. Pihaknya mencatat kecepatan angin yang terjadi di wilayah Bandung Raya atau Jawa Barat rata-rata 25-30 kilometer per jam.

“Yang kami catat kemarin 36,8 km per jam,” katanya. “Tapi saya ingin bilang bahwa peristiwa ini memang bukan sekali ini saja terjadi dan memang wilayah Bandung intensitasnya beragam.”

Pasca badai berlalu, fenomena itu memancing rasa penasaran publik. Sebab, berdasarkan video yang beredar, banyak yang mengasumsikan kejadian tersebut dengan fenomena tornado.

Erma Yulihastin, pakar klimatologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), misalnya, bahkan sampai mengunggah penjelasan di Twitter. Dia bilang adanya kemiripan dalam bentuk rupa. Dia menuliskan keyakinan bahwa struktur tornado Rancaekek dengan tornado yang biasa terjadi di belahan bumi utara, Amerika Serikat.

“Memiliki kemiripan 99,99% alias mirip bingits,” kicau Erma.

Dalam kasus puting beliung yang biasa terjadi di Indonesia, lanjut Erma, durasinya hanya sekitar 5-10 menit. Hanya ada satu kasus yang tidak biasa ketika puting beliung terjadi dalam durasi 20 menit di Cimenyan pada 2021 lalu.

“Untuk pertama kalinya, angin small tornado (di perbatasan Bandung-Sumedang) dapat ditangkap oleh satelit. Hal ini mengkonfirmasi bahwa kejadian ekstrem tersebut terjadi dalam skala meso. Untuk membatasi angin maksimum, kita harus menyelidiki lebih lanjut,” tulis Erma, Jumat (23/2/2024).

Skala meso adalah skala untuk mempelajari fenomena atmosfer yang memiliki skala jarak horizontal, yakni dari batas skala mikro sampai batas skala sinoptik dan skala vertikal yang dimulai dari permukaan bumi sampai batas lapisan atmosfer hingga mencapai 20 kilometer.

baca juga : Angin Puting Beliung Landa Umbul Ponggok Klaten

 

Foto udara salah satu atap pabrik yang rusak akibat diterjang angin berkecepatan 36 kilometer per jam di Desa Mangunarga, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Jabar. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Fenomena Alam

Meteorologis dari Kelompok Keahlian Sains Atmosfer ITB, Nurjanna Joko, berpendapat, ada dua kejadian sekaligus yang terjadi di perbatasan Bandung-Sumedang itu. Pertama puting beliung dan lalu tornado.

Joko bilang, penyebutan fenomena itu berdasarkan syaratnya. Dan syarat untuk terjadinya aliran angin yang berotasi berputar, itu hanya bisa diidentifikasi menurut variasi kecepatan dan arah angin pada jarak tertentu yang disebut vortex.

“Tornado itu adalah contohnya. Namun, yang membedakan hanya intensitasnya.”

“Jadi kalau saya perhatikan dari video kemarin itu memang ada 2 pusaran angin. Satu berasal dari bawah, satu berasal dari atas. Yang dari bawah itu biasanya memang kita kenal sebagai puting beliung karena adanya funnel cloud atau awan yang berpilin. Awan itu kalau lama-lama turun jadi vertikal dan menyentuh tanah dan itu biasanya disebut tornado,”

“Jadi tidak salah pernyataan-pernyataan yang menyebutkan puting beliung dan juga tornado. Karena memang kedua-duanya terjadi.”

Menurut Joko, dilihat dari data satelit, apa yang terjadi kemarin itu memang dipicu awan CB. Pertumbuhannya terkorelasi ketika ada lingkungan yang memenuhi persyaratan, yaitu adanya pemanasan yang cukup sehingga mengakibatkan kondisi atmosfer yang tidak stabil. Biasanya, jika pemanasannya semakin kuat, maka awan yang tumbuh itu bisa semakin tinggi atau disebut deep moist convection.

“Di data satelit puncak awannya itu mencapai tropopause karena ada overshooting top. Artinya bisa mencapai sekitar ketinggian 12 kilometer lebih.”

Tanda dari awan ini adalah bentuknya seperti gumpalan kapas yang berkembang cepat atau tiba-tiba. Awan CB yang menuju fase matang kerap menjulang tinggi dan berubah menjadi warna gelap kelabu dengan peningkatan embusan angin dan hawa dingin.

Joko menghimbau kewaspadaan dari munculnya angin ribut dari awan CB. Sebab, ihwal lokasi dan kapan terjadi puting beliung belum bisa diprediksi meskipun awan CB terpantau pergerakannya dari citra satelit.

“Karena ini fenomena alam yang sudah ada sejak dulu, maka upaya kita minimalnya mampu memprediksi tanda-tanda kemunculannya agar bisa mengantisipasi dampak turunannya seperti hujan lebat dan angin kencang.”

baca juga : Puting Beliung di Bogor Terkait Perubahan Iklim

 

Foto udara salah satu atap pabrik yang rusak akibat diterjang angin berkecepatan 36 kilometer per jam di Desa Mangunarga, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Jabar. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Secara meteorologis, kata Joko, sebenarnya ini bukan hal membahayakan atau mengancam. Justru cumulonimbus ini adalah ciri khas dari wilayah tropis.

“Sebenarnya awan ini muncul untuk menyeimbangkan suhu Bumi (dalam konteks iklim lokal). Karena awan ini juga punya peranan penting selain meredistribusikan panas bisa juga mendinginkan. Jadi hal positif sebenarnya. Cuma kendalanya ketika hujan kerap menimbulkan banjir. Kan hujannya itu kita butuhkan tapi yang kita rasakan banjirnya,”

Joko memprediksi, bencana akibat anomali cuaca ekstrem bakal terjadi di tahun-tahun mendatang. Hal ini tidak lepas dari pengaruh perubahan iklim secara lokal. Walaupun perubahan iklim merupakan isu yang kompleks. Perlu banyak pintu untuk memahami dampaknya.

“Saya tidak bisa memastikan (korelasi) tapi sejauh ini terbukti memperkuat intensitas dan juga mungkin frekuensinya.”

 

Perubahan Iklim

Pemerintah Kabupaten Sumedang saat ini menetapkan status tanggap darurat bencana puting beliung di Jatinangor dan Cimanggung. Keputusan berlangsung hingga tanggal 29 Februari 2024.

Frekuensi bencana terkait iklim dan cuaca terus meningkat dalam 10 tahun terakhir. Perubahan iklim kerap menjadi kambing hitamnya. Namun, kekeliruan pengelolaan lingkungan sebenarnya berperan besar terhadap peningkatan frekuensi bencana.

Manajer Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jabar Haerudin Inas menilai bencana ini dipengaruhi oleh aspek cuaca, walaupun tidak dipungkiri bisa dipicu oleh ulah manusia, atau kombinasi kedua faktor ini.

Persoalan lingkungan, katanya, turut memperburuk dampak bencana hidrometeorologi. Lantaran daya dukung dan daya tampung wilayah sudah tidak ideal menopang perkembangan kotanya.

Rancaekek, misalnya, berubah bentuk menjadi kawasan industri tekstil. Padahal dulu kawasan itu merupakan kawasan hijau, namun kini pembangunan abai dalam membagi ruang. Seolah menerabas “sejarah kawasan” dengan aturan-aturan yang tidak berkeadilan.

“Di wilayah yang terkena puting beliung itu tutupan lahannya berkurang. Zona penyangga malahan beralih fungsi menjadi klaster hunian dan penambangan,” ujarnya.

baca juga : BMKG Ingatkan Potensi Cuaca Ekstrem dan Ancaman Bencana

 

Suasana permukiman pasca angin ribut di Desa sukadana, Kampung Bojong Bolang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Jabar. Tercatat sebanyak 735 keluarga dan 116 bangunan dilaporkan terdampak puting beliung. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Akibat nafsu membangun justru membikin kawasan tersebut menjadi sumpek, kumuh, penuh polusi, dan sumber penyakit. Kata Inas, boleh jadi situasi ini akibat gagalnya pemerintah mengatur pola ruang yang seharusnya diadopsi dari undang-undang sebagai kebijakan yang menyelamat.

“Mungkin pemerintah tidak percaya perubahan iklim, sehingga masyarakat pun tidak terdidik bahwa ini akibat dari kebijakan yang salah. Sudah salah tapi lambat merespon dampak lingkungan,” terangnya.

Padahal kesalahan pengelolaan lingkungan berpengaruh besar terhadap meningkatnya intensitas bencana. Karena itu, dia mengingatkan, agar perubahan iklim tidak menjadi kambing hitam atas segenap bencana yang terjadi. Perubahan iklim terjadi sangat lama dan dampaknya juga masih diperdebatkan. Namun, kesalahan pengelolaan makin memperburuk keadaan.

Di Cekungan Bandung, hujan lebat dan angin kencang dan es berulang kali terjadi. Hal itu dipengaruhi pertumbuhan cepat kota-kota di sana. Pembangunan kota mengubah permukaan tanah jadi beton atau aspal dan mempercepat pemanasan permukaan.

Fenomena ini terkait peningkatan suhu perkotaan dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Kata Nurjanna Joko, “Ini disebut urban heat land (pemanasan permukaan kota).”

Saat kemarau, urban heat island meningkatkan temperatur udara. Ketika musim hujan, urban heat island dapat menimbulkan berdampak buruk. Tingginya temperatur udara membuat penguapan air, pembentukan awan terjadi lebih tinggi, dan memicu fenomena iklim lainnya. Hal itu rentan memicu cuaca ekstrem.

“Label ekstrem ini dihitung dari distribusi cuaca yang biasanya melebihi dari batas ukur BMKG. Jadi jika siklus di daerah tersebut sudah melebihi 10% itu bisa disebut ekstrem,” tutur Joko.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Jawa Barat menjadi provinsi yang paling banyak dilanda bencana cuaca ekstrem. BPS mencatat jumlah kejadian cuaca ekstrem di Jawa Barat sepanjang tahun rata-rata hampir 2 kali lipat dari provinsi di pulau Jawa.

Merujuk laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), iklim global secara garis besar telah berubah. Pengaruh perubahan iklim menyebabkan pola curah hujan berubah, intensitas, durasi, dan sebaran curah hujan juga berubah. Perubahan itu nyatanya telah membawa perubahan pola musim lokal.

Belajar dari fenomena di perbatasan Bandung-Sumedang, masyarakat sudah sepatutnya belajar memahami kondisi iklim di sekitar tempat tinggal. Karena dengan begitu kita bisa lebih siap beradaptasi untuk mengatasi bencana iklim. (***)

 

 

10 Tempat Angin Terkencang di Muka Bumi

 

Exit mobile version