Mongabay.co.id

Harga Beras Naik, dari Papua Ingatkan Jangan sampai jadi Alasan Lancarkan Food Estate

 

 

 

 

 

 

Sejak bulan lalu, harga beras merangkak naik hingga ramai jadi bahasan terutama di Pulau Jawa. Muncul berbagai dugaan penyebab kelangkaan beras dari dampak perubahan iklim sampai pasokan tersedot untuk bantuan sosial. Dari Papua, berbagai kalangan mengingatkan, jangan sampai kenaikan harga beras ini jadi alasan pemerintah untuk menjalankan proyek pengembangan pangan skala besar (food estate) .

Selain itu, Papua tak perlu ikut latah harga beras mahal karena sumber pangan selain beras seperti sagu, dan umbi-umbian—yang merupakan pangan khas Papua–melimpah.

Ulin Epa, aktivis pangan dari Sentani, Jayapura mengatakan, kenaikan harga beras di Indonesia saat ini seharusnya tidak jadi isu besar di Papua. Papua, punya banyak jenis makanan lokal yang sudah ada jauh sebelum pemerintah mendatangkan beras.

“Kita terlalu lama melakukan pembiaran. Saya lihat selama 10 hingga 20 tahun terakhir ini kita melakukan pembiaran, masyarakat termasuk kita punya anak-anak untuk tidak lagi makan pangan lokal. Akhirnya mereka tumbuh dengan apa-apa maunya nasi, menangis nasi.”

Ulin meyakini, masyarakat di Papua tidak serta merta kelaparan karena harga beras naik.  Dia bilang, di Papua, tersedia banyak pangan lokal sebagai pengganti. Namun, dengan selera makan yang sudah berubah, tidak ada nasi dalam menu makanan menjadi terasa ada yang kurang.

“Kadang mereka bilang, ah mau makan papeda, alas dulu dengan nasi. Itu kan perubahan pola pikir dan pola makan yang sangat jauh. Padahal, orang-orang dulu ya makan langsung saja makan papeda, makan ubi, makan singkong dan lain lain.”

Pasar-pasar rakyat di Papua khusus di Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura, berlimpah makanan setara beras seperti sagu, pisang, dan ubi. Penjualnya adalah pedagang Papua, terutama perempuan atau biasa disebut mama-mama.

Ulin mengamati, tingginya harga beras saat ini tidak serta merta membuat dagangan mama-mama menjadi lebih laku.

“Kita bisa lihat di pasar-pasar, mama-mama tetap harus duduk sampai pagi, tidur sampai pagi jualan di pasar otonom itu, karena tadi, pola makan masyarakat berubah.”

 

Jangan sampai kenaikan harga beras jadi alasan untuk melancarkan proyek food estate di Papua. Kalau sampai terjadi, hutan-hutan Papua bisa hilang dan Masyarakat Adat Papua kehilangan ruang hidup. Foto: Nanang Sujana

 

Hentikan food estate, galakkan diversifikasi pangan

Di tengah ramai kenaikan harga beras, muncul juga kekhawatiran isu ini jadi alasan pemerintah untuk melancarkan proyek pengembangan pangan skala besar (food estate) yang mereka klaim untuk mengantisipasi krisis pangan.

Atas nama atasi ‘krisis pangan’ sebelumnya, pemerintah berencana membuka food estate di Papua seluas 2, 684 juta lebih hektar. Luasan ini menyebar di Merauke, Mappi, Boven Digoel, dan Yahukimo.

Tebu dan padi adalah dua dari komoditas yang disebut-sebut akan dikembangkan.

Maikel Peuki, Direktur Walhi Papua mengatakan, food estate merupakan ancaman terhadap hutan dam masyarakat adat Papua.

Food estate ini juga akan menyingkirkan masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat.”

Apalagi, katanya,  selama ini proyek-proyek pangan ini pemerintah dan perusahaan rencanakan sepihak tanpa sepengetahuan masyarakat adat.

Masalah krisis pangan, katanya,  jangan jawab dengan food estate.

Ulin mengatakan,  jargon ketahanan pangan yang pemerintah gaungkan seharusnya dengan mendukung pangan mandiri masyarakat. Di Papua, katanya, itu bisa dengan kembali melihat pada apa yang ada di kebun-kebun masyarakat.

Pemerintah, katanya,  perlu membuat kebijakan mengurangi ketergantungan pada beras.

“Naiknya harga beras menjadi kesempatan sangat baik untuk menggalakkan diversifikasi pangan. Bukan karena itu baru, tapi itu memang bagian dari orang Papua yang harus kembali.”

Masyarakat Papua,  kata Ulin, sebenarnya tidak punya kebudayaan menanam padi. Beberapa program taman padi yang pernah pemerintah canangkan terbukti gagal. Masyarakat lebih mudah mengembangkan pangan lokal. Makanan-makanan ini tidak perlu lahan besar dan perawatan minim.

“Hitung hitungan waktu, energi, pengeluaran petani ketika menanam pun itu jauh dibandingkan kalau kita membudidayakan barang yang bukan punya kita seperti padi.”

Dari segi kesehatan pun demikian. Makanan lokal kaya serat dan hampir tak ada bahan kimia hingga baik untuk kesehatan.

“Tidak banyak gula di situ, lalu kita makan, tidak perlu makan banyak. Makan sedikit saja akan kenyang. Jadi, baik sekali untuk kesehatan.”

Dia soroti peran media penting untuk membentuk selera makan masyarakat. Media harus mengangkat lebih banyak keunggulan rasa dan kualatas pangan lokal. Begitu juga orangtua dalam rumah tangga yang bertanggungjawab menyediakan makanan untuk anak-anak.

“Harus menyediakan makanan-makanan lokal.”

Senada dengan Ulin, Daawia Suhartawan, akademisi dari  Universitas Cenderawasih Jayapura juga hobi berkebun mengatakan,  penting edukasi pangan lokal. Edukasi bisa di sekolah-sekolah agar anak-anak muda sadar kualitas makanan lokal dibanding makanan yang sekarang lebih digandrungi.

Kerja semua pihak di segala lini akan membantu mengurangi ketergantungan pada nasi dan makanan-makanan lokal tidak lagi asing di rumahnya sendiri.

“Seperti ubi ungu jingga itu punya kandungan karbohidrat, antioksidan dan tinggi serat. Anti oksidan itu mencegah kanker dan meningkatkan daya tahan tubuh.”

 

Ubi jalar yang merupakan tanaman budaya masyarakat di Pegunungan Tengah Papua. Foto: Pixabay/LauraLisLT/Publik Domain

 

Ancaman hilangnya keragaman pangan lokal

Ina Wenda, pedagang perempuan di Pasar Otonom Kota Jayapura mengeluhkan ubi lama terjual. Ida menjual empat jenis ubi, ada bete, keladi, petatas merah, dan petatas madu.

Ida membeli dalam karung-karung umbi dari Arso,  Kabupaten Keerom. Kisaran harga sekarung sekitar Rp400.000 dan Rp500.000 tergantung jenis. Dia memecahnya dalam tumpukan. Untuk bete, ada tumpukan seharga Rp100.000, Rp50.000 hingga Rp20.000. Untuk petatas, ada yang dijual seharga Rp10.000. Begitupun keladi.

Ina menganyam noken sambil menunggu pembeli. Sesekali dia menawarkan dagangannya pada para pengunjung pasar yang lewat di depan los-nya. Menurutnya, kadang butuh waktu tiga atau empat hari baru semua terjual.

“Kalau laku yang dapat untung. Kalau tidak, ya busuk. Rugi.”

Ina Wenda tidak sendiri. Pada banyak titik di pasar ini, berbagai jenis ubi tersedia menunggu dibeli.

Di pasar ini juga ada para pedagang pisang. Intan Sringon dan Vela Sringon adalah dua di antaranya. Memakai waktu akhir pekan libur sekolah, dua remaja perempuan ini menemani ibu mereka, Dominggas Buara, berjualan.

Mereka baru saja memanen pisang di kebun mereka di Arso 4 Kabupaten Keerom. Hasil yang berlimpah membuat mereka harus mengangkut dengan mobil.

Mereka sering disebut orang kebun, karena menjual hasil kebun sendiri. Mereka datang ke pasar hanya saat sedang panen. Ada tiga jenis pisang yang mereka jual yaitu raja, barangan, dan abu. TIap sisir mereka jual Rp5.000, sedang dalam ikatan terdiri dari 5-6 sisir Rp25.000.

“Sebulan turun ke pasar dua kali. Kalau sedang panen baru jualan. Kemarin pas panen jadi saya ikut urun bantu mama.” ucap Intan Sringon.

Mereka memaneh pisang dalam keadaan masih mentah, berjaga-jaga dengan waktu lamanya menunggu pembeli agar tak membusuk.

Sagu, pisang, maupun pangan umbi-umbian di pasar-pasar rakyat saat ini harus terjaga, salah satu  lewat konsumsi masyarakat.

“Kalau kita tidak konsumsi di rumah, pasti orang akan berhenti tanam di kebun. Ketika berhenti menanam, bibitnya otomatis akan hilang. Itu sudah terjadi di Sentani,” kata Ulin.

Pola konsumsi, katanya, sangat berpengaruh terhadap sistem pangan. Apa yang banyak dimakan masyarakat, katanya,  akan berpengaruh dengan apa yang dijual pedagang dan yang ditanam petani.

Ubi-ubi asli Sentani, misal, diibawa ke pasar satu atau dua kali, lalu berhenti karena tidak ada pembeli. Mereka tak membawa ke pasar, namun  tetap menanam untuk konsumsi di rumah tangga. Namun, katanya,  setelah itu mama atau nene akan berhenti tanam karena pola konsumsi dalam rumah tangga juga berubah.

“Tidak ada transfer bibit antar generasi dari mama ke anak, apalagi kalau anak atau cucunya itu adalah orang bekerja tidak berkebun, akhirnya hilang.”

Daawia mengatakan,  kecenderungan bibit-bibit lokal hilang kemungkinan tidak terjadi di Papua saja juga daerah lain di Indonesia.

Daawia contohkan, bibit jagung lokal dari daerah asalnya, Buton, Sulawesi Tenggara. Para petani kini lebih sering menanam jagung hibrida dengan rasa lebih manis.

 

Persawahan proyek food estate di Desa Makata Keri Kecamatan Katiku Tanah, Kabupaten Sumba Tengah, NTT.  Dari Papua mengingatkan, jangan sampai kenaikan harga beras jadi alasan melancarkan proyek food estate di Papua. Papua, kaya sumber pangan, tak hanya ada beras.  Foto : Suwensy Daha Walu

 

Bibit-bibit hibrida ini melewati proses rekayasa genetika hingga hanya bisa sekali tanam. Hal ini berdampak pada kemandirian petani, juga pada kesehatan konsumen.

“Rekayasa genetik berdampak kurang bagus terhadap kesehatan, disamping itu membuat petani bergantung pada perusahaan.”

Sejak nenek moyang, para petani sebenarnya  sudah memiliki pengetahuan tentang cara menyediakan bibit secara mandiri. Mereka tahu cara memisahkan bibit dari bagian yang dikonsumsi, serta perlakuan-perlakuan khusus agar bibit bertahan sampai musim tanam tiba.

“Jadi,  tidak pernah terputus. Bibitnya ada terus walaupun dilakukan secara tradisional.”

Di tengah ancaman hilangnya bibit-bibit lokal ini, konservasi bibit lokal belum menjadi prioritas pemerintah.

Daawia membandingkan dengan negara yang melakukan konservasi bibit lokal dengan baik seperti Thailand. Di saat sama, negara itu terus mengembangkan bibit hibrida. Negara-negara Asia, kini banyak menggantungkan bibit pada Thailand.

“Padahal, sebenarnya secara genetik  itu keragaman tanaman pangan kita lebih kaya dari mereka.”

 

Proses peremasasn batang sagu unti mendapatkan pati. Foto: M Ichi/ Mongabay Indonesia

*****

 

Walhi: Hutan dan Masyarakat Adat Papua Terancam Proyek Food Estate

Exit mobile version