- Papua akan jadi lokasi proyek pengembangan pangan skala besar (food estate) dengan alokasi lahan sekitar 2.684.680,68 juta hektar. Sekitar 2.684.461,54 hektar ada di kawasan hutan. Sekitar 1,4 Juta hektar ada di areal hutan produksi dapat dikonversi, 560.000 hektar di kawasan hutan produksi terbatas, 360.000 hektar di hutan porduksi, 243.000 hektar di hutan lindung. Ada 190 hektar belum diketahui status kawasannya.
- Walhi menolak dan mengingatkan proyek ini rawan meminggirkan masyarakat adat Papua, membuka hutan skala luas, dan mengancam keragaman hayati serta hanya menguntungkan segelintir elit korporasi. Walhi juga bikin kertas posisi dengan judul Food Estate di Papua: Perampasan Ruang Berkedok Ketahanan Pangan?’
- Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, proyek skala besar yang dipaksakan di berbagai wilayah Indonesia ini, bakal berakibat pada konsentrasi penguasaan lahan skala besar ke tangan korporasi dan merampas hak masyarakat adat dan masyarakat lokal yang selama ini mendiami wilayah-wilayah ini.
- Bustar Maitar, pendiri Yayasan Ekosistem Nusantara Berkelanjutan (EcoNusa Foundation) mengatakan, perlu memastikan rencana pemerintah dalam mengembangkan produksi pangan tak perlu merusak ekosistem.
Pemerintahan Joko Widodo akan menjalankan proyek pengembangan pangan skala besar (food estate) di Papua. Alasannya, proyek ini untuk mencegah krisis dan kelangkaan pangan dampak pandemi COVID-19. Sebelum di Papua, Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara, juga ada proyek serupa.
Walhi menolak dan mengingatkan proyek ini rawan meminggirkan masyarakat adat Papua, membuka hutan skala luas, dan mengancam keragaman hayati serta hanya menguntungkan segelintir elit korporasi. Walhi juga bikin kertas posisi dengan judul Food Estate di Papua: Perampasan Ruang Berkedok Ketahanan Pangan?’
Proyek food estate di Papua ini akan menyasar wilayah Merauke, Boven Digoel, Mappi dan Yahukimo. Keempat wilayah ini terletak di bagian selatan Papua.
Data Walhi menyebutkan, pemerintah akan mengalokasi lahan antara lain, sekitar 1,01 juta hektar di Merauke, 400.000 hektar di Mappi, 32.000 hektar di Boven Digoel, dan 4.650 hektar di Yahukimo.
Aiesh Rumbekwan, Direktur Eksekutif Walhi Papua mengatakan, proyek ini hanya akan mengulang kegagalan proyek Merauke integrated food and energy estate (MIFEE) yang dicanangkan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010 di Merauke. Melalui MIFEE, pemerintah mengalikasi lahan 2,5 juta hektar dengan pengelolaan kepada korporasi. Tujuan kala itu sebagai lumbung pangan bagi penduduk dunia dan Indonesia.
Saat MIFEE, Masyarakat Adat Malind Anim yang turun-temurun hidup di wilayah ini jadi korban. Tanah adat beralih ke tangan korporasi, hutan sebagai sumber pangan terbabat. Belum lagi konflik sosial dampak perbedaan sikap antara masyarakat saat melepas wilayah adat mereka.
Pengalaman Suku Malind Anim, katanya, menunjukkan proyek skala besar seperti MIFEE akan merugikan masyarakat terutama masyarakat adat di Papua. Untuk itu, pemerintah harus menghentikan rencana food estate ini.
“Ini bukan pembangunan, ini sebuah ancaman baru yang akan memarjinalkan orang Papua lagi di wilayah yang berbeda.”
Pemerintah, kata Aiesh, tak boleh lupa, kalau hutan sudah dibagi pemerintah dalam berbagai jenis pemanfaatan itu merupakan wilayah adat. Sebagai wilayah adat, hutan bukan sekadar sumber pangan juga menyangkut aspek kehidupan masyarakat.
Baca juga: Food Estate di Hutan Alam dan Gambut Rawan Perburuk Krisis Iklim
Dalam peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor P.41/Menlhk/Setjen/Kum.1/7/2019 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional 2011-2030, tampak di Papua ada 1.394 desa di dalam kawasan hutan dan 4.070 desa di pinggiran kawasan hutan. Membuka kawasan hutan dan menghadirkan korporasi, katanya, akan menghancurkan hidup warga di wilayah-wilayah ini.
Pemerintah, katanya, tampak tak pernah belajar dari pengalaman mengubah pendekatan pembangunan dengan lebih memberikan ruang cukup kepada masyarakat.
UU Otonomi Khusus Papua No 21/2001, kata Aiesh, menyediakan ruang luas kepada masyarakat adat Papua untuk merencakan dan mengelola sumber daya alam untuk kesejahteraan mereka.
Sayangnya, itu tak pernah terwujud, sebagaimana tampak dalam berbagai kebijakan pembangunan Indonesia di Papua termasuk proyek baru food estate ini.
Perparah krisis lingkungan
Proyek food estate akan dibangun di atas lahan seluas 2.684.680,68 hektar, sekitar 2.684.461,54 hektar ada di kawasan hutan. Sekitar 1,4 Juta hektar ada di areal hutan produksi dapat dikonversi, 560.000 hektar di kawasan hutan produksi terbatas, 360.000 hektar di hutan porduksi, 243.000 hektar di hutan lindung. Ada 190 hektar belum diketahui status kawasannya.
“Yang paling mencengangkan, hanya 29.02 hektar di areal penggunaan lain. Itu ada di Merauke,” kata Even Sembiring dari Walhi Nasional, belum lama ini.
Kurangnya kawasan non hutan untuk proyek food estate ini membuat pemerintah menerbitkan peraturan baru. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan Peraturan Nenteri Nomor P.24/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate. Aturan ini terbit pada 2020.
“P.24 tampaknya sengaja diterbitkan untuk melululantakkan hutan Indonesia untuk kepentingan food estate. Berdasarkan pengalaman di Kalimantan Tengah, yang sangat diuntungkan adalah entitas korporasi besar,” katanya.
Peraturan ini melegalkan deforestasi, salah satu penyebab utama perubahan iklim yang sedang jadi perhatian dunia. Ia bertentangan dengan semangat global yang melihat dunia sedang menghadapi krisis lingkungan.
Dia nilai, kebijakan ini sangat oportunistik. Kekhawatiran warga akan kelangkaan pangan di masa pandemi, dimanfaatkan para elit pemerintah dan korporasi untuk mengambil keuntungan. Hutan Papua yang dilihat masih luas kembali jadi sasaran.
Kebijakan ini, katanya, tak hanya mengancam kehidupan masyarakat adat juga keanekaragamanhayati tinggi di Papua.
Baca: Was-was Aturan Lahan Food Estate di Kawasan Hutan
Untungkan segelintir elit korporasi
“Proyek Food Estate Papua ini salah satu contoh lagi di mana masih terus melakukan proyek-proyek skala besar, tersentralisai, terkonsetrasi di tangan segelintir elit-elit korporasi,” kata Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional.
Proyek skala besar yang dipaksakan di berbagai wilayah Indonesia ini, katanya, bakal berakibat pada konsentrasi penguasaan lahan skala besar ke tangan korporasi dan merampas hak masyarakat adat dan masyarakat local yang selama ini mendiami wilayah-wilayah ini.
Pemerintah memberikan kesempatan kepada korporasi skala besar untuk melakukan kegiatan ekonomi dengan harapan memberi berdampak pada kelompok masyarakat lebih luas. Namun, katanya, model ini sudah gagal di banyak negara. Apalagi, di Indonesia, ini hanya menjadi alasan untuk merampas lahan dan ruang hudup masyarakat oleh kekuatan ekonomi politik yang sedang berkuasa.
Alasan ketahanan pangan dan menciptakan lumbung-lumbung pangan bagi masyarakat dengan memberi konsesi-konsesi besar kepada korporasi, kata Yaya, sapaan akrabnya, sudah terbukti gagal dari rezim ke rezim pemerintahan.
“Mulai sejak Soeharto, sejak SBY, hingga saat ini. Proyek-proyek dengan nama berbeda-beda itu gagal. Ada MIFEE atau dulu disebut kawasan pengembangan ekonomi terpadu, lalu saat ini food estate.” “Dulu, di zaman Soeharto ada namanya proyek pertanian di lahan gambut sejuta hektar, semua tidak ada yang berhasil.”
Menurut dia, proyek-proyek sejenis masih terus diulang, karena aktor-aktor korporasi yang mendapat konsesi punya hubungan erat dengan kepentingan politik. Yaya pun meminta publik peka dalam melihat rencana pemerintah ini dan bersama mendesak proyek ini setop.
“Kita bersama-sama mendesak agar pemerintah segera mengubah model pendekatan top down dan berbasis proyek skala besar yang mengabaikan hak-hak warga masyarakat lokal dan masyarakat adat.”
Aiesh berharap, sikap Walhi ini tak dilihat sebagai upaya melawan pemerintah tetapi masukan untuk tata kelola sumber daya alam demi mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial di Indonesia khusus Papua.
Dalam diskusi berbeda, Bustar Maitar, pendiri Yayasan Ekosistem Nusantara Berkelanjutan (EcoNusa Foundation) mengatakan, perlu memastikan rencana pemerintah dalam mengembangkan produksi pangan tak perlu merusak ekosistem.
“Inilah yang perlu kita kawal bersama,” katanya.
Dalam catatan sejarah, food estate baik oleh pemerintah sebelumnya, maupun swasta, berujung kegagalan. Pada 1995, Presiden Soeharto mengembangkan lahan gambut seluas 1,45 juta hektar di Kalimantan Tengah, kayu hutan habis tetapi tidak menghasilkan pangan.
Kegagalan juga terjadi pada masa Presiden SBY melalui Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) seluas 1,9 juta hektar. Pada 2008, proyek ini berubah nama jadi MIFEE), luas lahan 1.282.833 hektar melibatkan 32 investor. Akhirnya, proyek berujung pada perusakan ekosistem, tetapi tidak menghasilkan pangan bagi masyarakat.
Rencana food estate baru di Papua, dengan ada rencana pelepasan kawasan hutan untuk cetak sawah baru di Kabupaten Merauke, Mappi dan Boven Digul.
Pembukaan lahan jutaan hektar ini, katanya, akan banyak kayu bernilai jual tinggi ditebang. Dia mempertanyakan transparansi kelanjutan penjualan dari kayu ini dan manfaat bagi masyarakat, serta dampak bagi konservasi hutan di Indonesia.
*****
Foto utama:Hutan Papua yang terus terancam, antara lain sebagai proyek pengembangan pangan skala besar (food estate). Foto: Nanang Sujana