Mongabay.co.id

Penyebab Harga Pangan Mahal Tak Hanya Cuaca dan Krisis Iklim

 

Perubahan iklim global dan cuaca ekstrem kerap disebut sebagai alasan berkurangnya pangan di pasaran. Memang berpengaruh, tapi Indonesia dinilai perlu memetakan sumber pangan beragam dan adaptasi sesuai dengan kondisi daerah, kearifan lokal, dan sumberdayanya.

Ketergantungan pada satu sumber pangan seperti beras membuat kondisi ekonomi rentan seperti inflasi saat ini. Selain itu, harga beras mendongkrak kenaikan harga-harga pangan lain.

Upaya mengantisipasi cuaca dan mendorong berbagai alternatif sistem pertanian dibahas dalam diskusi daring bertajuk “Bahan Pokok Mahal: Pentingnya Keberlanjutan Pangan di Tengah Krisis Iklim”, pada Selasa (06/03/2024).

Prof. Advin Aldrian Vice Chair Working Group I, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) & Profesor Meteorologi dan Klimatologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengingatkan, saat ini dunia memang menghadapi rekor baru kenaikan suhu, bahkan melampaui prediksi. “Bumi bukan pemanasan tapi pendidihan (boiling),” katanya mengutip pidato Sekjen PBB Antonio Gutteres.

“Tahun 2023 merupakah tahun terpanas dengan kenaikan suhu global hingga 1,52 derajat Celcius. Hingga Maret 2023 tercatat kenaikan suhu ini melebihi batas  yang ditetapkan pada Perjanjian Paris yaitu 1,5 derajat Celcius,” jelas Edvin.

Dia menambahkan, menurut laporan IPCC, tahun 2030 kenaikan suhu bumi diperkirakan akan naik lebih cepat dari beberapa prediksi sebelumnya. Misalnya, pada tahun 2019 telah diperkirakan kenaikan suhu akan tembus beberapa derajat pada tahun 2052. Namun, pada temuan tahun 2020 suhu bumi diperkirakan akan kembali mengalami kenaikan pada tahun 2042 atau 10 tahun lebih cepat dari prediksi awal.

Ada fenomena kenaikan suhu, El Nino di lautan Indonesia, dan secara tidak langsung mempengaruhi ketersediaan pangan. Namun, kemampuan mengantisipasi bisa dilakukan dengan memanfaatkan deteksi sinyal di laut pada enam bulan sebelumnya untuk antisipasi fenomena ENSO (El Nino dan La Nina) termasuk di budidaya pertanian.

baca : Waspada El Nino, dari Ancaman Krisis Air sampai Kebakaran Hutan

 

Cuaca panas yang kita rasakan belakangan ini sangat berdampak pada kehidupan keseharian kita di Bumi. Foto: Pixabay/Fotorech/Public Domain

 

Supari, Koordinator Bidang Analisis Variabilitas BMKG melanjutkan, El Nino masih berlangsung sampai pertengahan 2024. Kategorinya moderate dengan intensitas tertinggi Desember-Januari lalu. Dampaknya pada 2023 curah hujan rendah bahkan kondisi hari tanpa hujan terus menerus meningkat, paling tinggi di Lombok sekitar 220 hari atau 7 bulan sangat panas.

Ketika kondisi sangat kering, sebagian daerah mengeluhkan produksi pangan. Jika menganalisis El Nino yang akan berakhir 2024, berarti masih siklus dua tahunan.

Setelah itu, kemungkinan kedatangan La Nina pertengahan 2024, dilihat dari beberapa model laut prediksi pendinginan di Samudera Pasifik.

Kondisi ekstrem di Indonesia diprediksi lebih sering terjadi. Curah hujan diprediksi tinggi, berdampak pada hortikultura seperti sayur atau cabai. Kondisi normal hanya pada 2017, sementara sisanya kemarau pada iklim ekstrem sehingga terjadi penyimpangan suhu. Misalnya 2019, terjadi hari tanpa hujan selama delapan bulan di NTT.

Budi Waryanto, Plt. Direktur Ketersediaan Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyebut lembaganya ini relatif baru pada 2021, awalnya pada Dinas Pertanian, kemudian berdiri sendiri. Tantangan utama selain iklim adalah ketidakstabilan geopolitik misal konflik Ukraina menyebabkan pasokan gandum dunia berkurang karena negara itu produsen gandum utama.

Juga terjadi gangguan pasokan pupuk dan energi, karena bahan baku pupuk di Indonesia seperti kalium dan fosfat diimpor dari Ukraina dan negara lain. Pembatasan ekspor makanan dari negara lain juga terjadi saat kasus lain, misalnya saat Covid. Kerawanan pangan dan gizi juga menurutnya perlu diantisipasi.

Kenapa harga beras meroket dan menyebabkan inflasi?

Mengutip data produksi beras, selama empat bulan pertama tahun 2024 dibanding 2023 produksinya lebih sedikit. Sejak Januari-April 2023 hampir 13 juta ton, tapi turun jadi hampir 11 juta ton. Sedangkan konsumsi tetap. Defisit lebih 2 juta ton (17%).

“Jadi, volume produksi beras dari Januari hingga Maret 2024 diprediksi lebih rendah dibanding produksi beras pada dua atau tiga tahun lalu. Sehingga, kondisi ini merupakan musim paceklik yang luar biasa,” katanya.

baca juga : Pertanian dan Pangan Rawan Terdampak El-Nino, Langkah Antisipasi?

 

Seorang anak melihat aliran sungai dan sawah yang mengering di Desa Batujai, Kecamatan Praya, Kabupaten Lombok Tengah, NTB. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Menurutnya, pemerintah dalam hal ini Bapanas telah melakukan beberapa langkah untuk menjaga ketersediaan pangan yaitu; Pertama, menyediakan 2,4 juta ton setiap tahunnya. Kedua,  melakukan bantuan pangan untuk 22 juta masyarakat yang rawan pangan. Ketiga, melakukan stabilisasi pasokan dan harga untuk retail modern serta melakukan sinergi dengan pemerintah daerah melalui program gerai pangan murah di bawah program Kementerian Dalam Negeri untuk mengendalikan inflasi di daerah.

Kenaikan inflasi ini diperkirakan terus terjadi jika pasokan masih minim menjelang hari raya. Ketersediaan pangan juga tak hanya untuk manusia karena bahan pakan jagung yang dibutuhkan untuk ternak ayam petelur sekitar 55% agar telur berkualitas baik. Harga telur pun bisa melambung.

Bapanas sebagai regulator dan Bulog sebagai operator menjaga harga beras, jagung, kedelai untuk cadangan nasional. Sedangkan urusan produksi secara umum ada di Kementerian Pertanian. Berbeda dengan cadangan pangan masyarakat yang berjalan sesuai supply and demand.

Budi mengakui perlu teknologi baru antisipasi iklim ekstrem dan subsidi pertanian untuk produktivitas. Tak hanya iklim, pembangunan infrastruktur juga mengurangi lahan. Sebelumnya Jawa menyumbang 70% produksi beras, namun ada beragam proyek pembangunan yang membuat alih fungsi lahan seperti jalan tol, karena itu perlu mendorong produktivitas potensi lahan lain seperti model padi terapung.

Di sisi lain, penelitian peningkatan produktivitas jalan di tempat. “Perlu dipikirkan agar tidak terlambat menciptakan varietas tahan iklim, misal di lahan rawa, kering, tanah masam, bisakah bisa menciptakan varietas dengan anakan dua kali lipat lebih banyak?” katanya.

Misalnya saat ini produktivitas padi 5 ton/hektare, target 7 ton/hektare. Dari input pertanian juga ada kendala, subsidi pupuk berkurang. Ia mengatakan pemerintah akan mengembalikan nilai subsidi untuk mengatasi produktivitas karena pertanian masih tergantung pupuk.

Jika iklim sulit diintervensi, maka perlu teknologi manajemen pertanian seperti pengairan irigasi. Pihaknya mengaku sedang menyusun rencana strategis sampai 2045 untuk meningkatkan produktivitas di luar Jawa dan instrumen stabilisasi harga pasar.

Modifikasi pangan untuk milenial juga dinilai penting. Misalnya sagu dikemas dengan mengikuti tren dan olahannya beragam.

baca juga : Bumi Terluka: Bencana Iklim Mengancam Ketahanan Pangan Global

 

FOTO 2-Sarno, petani padi asal Desa Waetele, Kecamatan Waeapo, Kabupaten Buru, Maluku Foto Jaya Barends Mongabay Indonesia (1)

 

Ahmad Juang Setiawan dari Traction Energy Asia mencontohkan cara kreatif dalam efisiensi pangan sekaligus mengurangi emisi. Misalnya pengolahan limbah bahan sembako minyak goreng untuk sumber energi alternatif.

Sejumlah bencana alam dampak cuaca ekstrem mendorong penurunan produktivitas pangan. Banjir di perkebunan sawit bisa mengakibatkan penurunan kualitas tanah. Kebakaran hutan dan lahan juga berbahaya. Ada kajian jika asap mengurangi radiasi matahari, mengakibatkan terhambatnya penyerbukan, aborsi bunga, dan produksi pembentukan buah tandan segar terhambat atau gagal.

Data produksi kelapa sawit fluktuatif, 2-5 juta ton per bulan. Pengolahannya dalam negeri jadi minyak goreng dan biosolar. Kebutuhan minyak goreng empat tahun terakhir tertinggi pada hari raya sampai meningkat 38%.

Demikian juga untuk pangan dan biodiesel. Pada Agustus 2023, alokasi biodiesel bahkan lebih besar dari pangan karena B35 biodiesel mulai dijalankan. Akibatnya deforestasi meningkat untuk meningkatkan produktivitas. “Harusnya sistem perkebunan adaptif, tata kelola dan niaga, eksplorasi bahan baku biodiesel selain sawit,” ingat Ahmad.

Solusi alternatif adalah used cooking oil (UCO) atau minyak jelantah sebagai komplementer biodiesel, bukan pengganti sepenuhnya. Menurutnya bisa menurunkan gas rumah kaca karena emisinya lebih rendah. “Sudah banyak digunakan negara maju, seperti kredit karbon untuk pelaku industri dan pemerintah jika menggunakan biodiesel berbasis UCO,” lanjutnya.

Potensi UCO di rumah tangga 1,2 juta liter/tahun. Perhitungannya, jika penyusutan 40% dari total penggunaan minyak, maka menghasilkan 400 ml jelantah. Ditambah sektor industri pengolah makanan, restoran, dan hotel, potensinya 2,3 juta total per tahun. Pengolahan UCO juga disebut bisa merespon dua masalah lain yakni kesehatan dan lingkungan karena cemaran limbah jika dibuang sembarangan.

menarik dibaca : ‘Urban Farming’, Penuhi Pangan Sehat sekaligus Bantu Hadapi Krisis Iklim

 

Seorang ibu membelai anaknya berlatar Pembangkit Listrik Tenaga Batubara Indramayu, Jawa Barat, pada Jumat (21/10/2022) lalu. Dampak debu batubara membuat pertanian di sana acapkali mengalami gagal panen berkepanjangan. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Angga Dwiartama, peneliti sosiologi pangan dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (ITB) mengkritisi perlunya adaptasi sistem pertanian mengantisipasi cuaca ekstrem. Mengutip data BPS 20211-2023, produksi pertanian sempat naik pada 2016 walaupun terjadi El Nino pada 2015. Kemudian sejak 2018, produksi turun 80 juta ton gabah kering giling jadi 50 juta. Turun terus sampai sekarang dengan titik terendah 12 tahun terakhir pada 2023.

Lahan baku pertanian berkurang sekitar 600 ribu hektare. “Perubahan iklim mungkin berubah, tapi ada faktor alih fungsi lahan. El NIno mengancam kerentanan pangan,” sebutnya.

Kerentanan pangan ini tergantung pada keparahan EL Nino, sensitivitas pertanian pada iklim, dan kapasitas adaptasi di setiap daerah, misal tradisi pertanian lokal untuk mitigasi seperti pengelolaan air, subak, di Bali

Sejumlah kelompok petani mencoba membuat adaptasinya sendiri dan ini harus diapresiasi seperti Warung Ilmiah Lapangan mengukur curah hujan dan pengembangan padi SRI organik meningkatkan produktivitas 8 ton/hari. Jika tetap fokus pada industrialiasi, penggunaan pupuk terus berlebih sehingga secara signifikan tak berpengaruh pada tanah.

Menurutnya perlu perbaikan lebih fundamental seperti diversifikasi sistem pertanian.

Ia mencontohkan sistem pertanian mandiri di Jawa Barat yang sangat ekstensif mengandalkan bendungan dan bibit unggul. Namun ada yang bersifat lokal, tidak bisa diseragamkan seperti tradisi pertanian Kasepuhan Cipta Gelar. (***)

 

 

Ini Tawaran Solusi dan Inovasi untuk Menahan Krisis Iklim

 

 

Exit mobile version