- Praktik pertanian perkotaan (urban farming) mulai menjamur di kota-kota di Indonesia. Salah satu di Kota Medan, Sumatera Utara. Sakiah Nasution, warga Medan ini sudah lebih setahun jadi petani perkotaan atau urban farming. Bergama sayur mayur organik dia tanam, dari cabai, kembang kol, bayam Brazil, tomat, selada, sawi Jepang, kale, timun, labu madu hingga kunyit, jahe dan lain-lain.
- Aksi Sakiah Nasution, diikuti para tertangganya. Kini, beberapa orang di sekitarnya juga tanam beragam sayur mayur yang bisa penuhi untuk keperluan keluarga. Dari balik atap kini mereka sudah bisa merasakan udara segar di tengah bangunan tinggi yang gersang.
- Hayu Dyah Patria, ahli teknologi pangan dan pendamping masyarakat dari lembaga Mantasa mengatakan, peranan urban farming bisa jadi salah satu cara membantu atasi krisis iklim.
- Nissa Wargadipura, pendiri Pesantren Ekologi Ath-Thaariq mengatakan, tren urban farming sebagai pemenuh kebutuhan pangan juga gerakan revolusi pertanian keluarga. Urban farming itu dekade pertanian keluarga yang berpedoman pada keanekaragaman hayati (polikultur), tidak monokultur.
Matahari terik. Daun-daun hijau terlihat dari atap lantai dua rumah di bilangan Kota Medan, Sumatera Utara, siang itu. Ada banyak jenis tanaman sayur mayur di sana. Beberapa warga di Kota Medan berupaya memenuhi keperluan pangan keluarga secara mandiri lewat bercocok tanam di atap rumah.
Sakiah Nasution, salah satunya, warga Medan ini sudah lebih setahun jadi petani perkotaan atau urban farming.
Keterbatasan lahan, bukan hambatan untuk berkebun. Tanaman secara alami, tanpa bahan kimia, memberikan kebaikan bagi alam dan manusia yang mengkonsumsinya. Ia juga memunculkan kemandirian pangan keluarga.
Sakiah bilang, dengan menanam sayur mayur sendiri, setidaknya bisa penuhi keperluan keluarga. Banyak kebaikan, katanya, mereka peroleh dari tanam sayur sendiri secara alami.
Kebaikannya, antara lain, katanya, menghasilkan makanan sehat tanpa pestisida, biaya belanja bulanan mengecil. Bonusnya, dapat kesehatan mental (bonding) kuat dari rutinitas berkebun.
Pandemi COVID-19, jadi titik awal Sakiah memulai bercocok tanam sayuran di atao rumah. “Kalau dipetik hikmah masa COVID ini, urban farming bagian dari healing di rumah saat pagi hingga sore untuk menyegarkan pikirkan dan mata,” katanya, kepada Mongabay baru-baru ini.
Sehari-hari Sakiah adalah pengajar ilmu pertanian di salah satu universitas di Medan. Dia memang konsern dengan isu lingkungan. Hal itu pula yang mendorongnya menanam sayuran secara organik di rumah.
Dengan memanfaatkan sisa ruang terbuka di lantai atap sekitar 2×3 meter, dia membangun perkebunan mini di atas gedung. Tanaman beragam, ada cabai, kembang kol, bayam Brazil, tomat, selada, sawi Jepang, kale, timun, labu madu hingga kunyit, jahe dan lain-lain.
“Hasilnya untuk kebutuhan sehari-hari, bahkan dari beberapa sayuran hijau, saya sudah tidak lagi mengeluarkan biaya untuk membeli di pasar,” katanya.
Menularkan kebaikan
Apa yang dilakukan Sakiah menginspirasi orang sekitar. Beberapa tetangga mengikuti jejaknya. Kini, dari balik atap saja, dia sudah bisa merasakan udara segar di tengah bangunan tinggi yang gersang.
“Ada tantangan memang saat menanam di atas gedung, yaitu angin kencang. Saat panas ya panas banget, apalagi ketika hujan, itu dampaknya sangat besar sekali, bisa merusak tanaman. Belum lagi gagal panen dan gagal tanam,” katanya.
Kondisi itu malah menantang baginya. “Ada kepuasan batin bagi saya, karena bisa bersama dengan tanaman.”
Ibu tiga anak inipun berkeinginan mengembangkan sebuah komunitas urban farming lebih luas, agar jangkauan orang-orang yang tertular ‘virus’ menanam lebih banyak.
“Mari sama-sama memanfaatkan lingkungan sebaik-baiknya, apa yang kita lakukan terhadap lingkungan dan alam akan kembali lagi ke kita. Dengan melakukan yang baik akan dapat hasil yang baik juga,” katanya.
Nissa Wargadipura, pendiri Pesantren Ekologi Ath-Thaariq mengatakan, tren urban farming sebagai pemenuh kebutuhan pangan juga gerakan revolusi pertanian keluarga.
“Tanah itu tidak bergerak, tapi bisa jadi sumber kehidupan dengan digerakkan oleh manusia sebagai sumber kehidupan bagi semua orang,” kata penerima penghargaan tokoh inspiratif Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) pada 2018, lewat pendirian pesantren yang menerapkan pertanian ramah lingkungan ini.
Nissa bilang, pertanian keluarga adalah penopang pangan di Indonesia karena bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga secara mandiri. Ditambah lagi, ada keragaman walau dalam lingkup kecil.
“Urban farming itu dekade pertanian keluarga yang berpedoman pada keanekaragaman hayati (polikultur), tidak monokultur.”
Nissa bilang, ketika warga menerapkan pola polikultur, maka kebutuhan di satu lingkungan akan terpenuhi tanpa kekurangan gizi dan beragam.
“Pola penanaman itu berbasis lanskap. Ketika tiap rumah punya jenis tanaman tertentu yang berbeda, saat membutuhkan bisa saling meminta dan berbagi. Itu sebuah adopsi nusantara dan bisa jadi kesatuan agraria versi Indonesia.”
Pesantren Ekologi Ath-Thaariq menerapkan pengajaran sistem pertanian berbasis ekologi, dengan menekankan kedaulatan pangan.
Di pesantren Nissa, sekitar satu hektar lahan untuk pertanian dengan beberapa zona. Ada zona hutan, aquakultur, sawah, area khusus penyimpanan benih, zonasi hewan ternak, zonasi pangan tanaman semusim dan tanaman jangka panjang. Ada sekitar 450 jenis tanaman.
“Hasil alamnya untuk apa? Saat ini diutamakan untuk 30 keluarga yang mengelola itu. Ada juga yang dimanfaatkan sebagai ekonomi alternatif,” katanya.
Hadapi krisis iklim
Hayu Dyah Patria, ahli teknologi pangan dan pendamping masyarakat dari lembaga Mantasa mengatakan, peranan urban farming bisa jadi salah satu cara membantu atasi krisis iklim.
Menurut dia, kepedulian masyarakat terhadap kualitas pangan yang dikonsumsi makin tinggi juga jadi jalan keluar dalam menghadapi harga bahan pangan tinggi.
“Rantai pangan makin diperpendek, kalau masif, berdampak pada banyak hal, seperti pemangkasan penggunaan bahan bakar fosil untuk transportasi, penurunan penggunaan input pertanian seperti pupuk dan pestisida buatan pabrik. Jika setiap rumah tangga bisa memiliki kebun pangan, maka kedaulatan pangan bisa dicapai,” katanya.
Untuk mencapai kedaulatan pangan, katanya, penting penerapan prinsip pertanian ekologis, yang bertumpu pada tanah sehat. Karena itulah, yang jadikan sayuran dan buah-buahan nutrisi padat gizi. Tanah sehat, katanya, membantu mengatasi krisis iklim.
“Ini sangat mungkin dilakukan dengan pertanian-pertanian skala kecil. Pastikan jika benih adalah benih organik dan lokal yang bisa terus-menerus ditanam, bukan benih hibrida buatan pabrik.”
Selain itu, katanya, buka mata dan hati untuk sayur-sayuran liar yang banyak tumbuh di sekitar kita, seperti krokot, jelatang, sintrong, amaranth dan lain-lain.
“Mereka sumber pangan bergizi tinggi namun sudah jarang dilirik orang.”
Alasan tak melupakan sayuran liar, katanya, karena karakteristik mudah ditanam dan resilien hingga bisa untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi masyarakat.
Indonesia, kata keragaman hayati sudah seharusnya tidak mengalami ‘krisis pangan’, karena ada banyak jenis bahan pangan muncul sesuai musim. “Namun penyeragaman pangan membuat kita bergantung pada beberapa jenis pangan saja,” kata Hayu.
Hal penting lain, katanya, adalah prinsip ekologis yang berfokus pada tanah untuk segala pertanian skala kecil (di rumah tangga dan di perkotaan). Karena, masalah besar saat ini, katanya, yakni, kadar nitrogen dalam udara meningkat kemudian mengakibatkan krisis iklim dan mengakibatkan pemanasan global.
Dia bilang, peningkatan nitrogen karena berbagai aktivitas manusia, antara lain penggunaan pupuk kimia pabrik, penambangan, penggunaan bahan bakar fosil, limbah makanan, pertanian monokultur dan lain-lain.
Dampaknya, kepunahan besar-besaran tumbuhan dan hewan, air laut naik, cuaca tak terprediksi hingga merugikan petani dan lain-lain.
Bahaya pertanian monokultur
Berdasarkan studi, kata Hayu, pertanian monokultur salah satu penyumbang nitrogen terbesar. Untuk mengurangi kadarnya, harus memperbaiki tanah.
Tanah yang rusak, katanya, tak mampu mengikat nitrogen hingga terlepas ke udara. Tanah yang baik, akan menyimpan nitrogen di dalam tanah yang bermanfaat untuk menumbuhkan tanaman. “Salah satu cara termudah mengikat nitrogen di udara dengan menanam kacang-kacangan juga menerapkan pertanian polikultur.”
Pada kehidupan modern, salah satu penyumbang terbesar nitrogen adalah peternakan industrialis. Dengan mengurangi konsumsi daging dan memperbanyak menghadirkan pangan nabati, katanya, jadi salah satu anjuran mengatasi krisis iklim.
“Sekali lagi, harus dilihat bagaimana peternakan itu dijalankan. Peternakan yang mengurung hewan-hewan ternak di dalam kandang selama 24 jam sehari dan pakai banyak sekali air adalah peternakan yang tak ramah lingkungan.”
Berbeda, katanya, dengan hewan ternak hidup bebas di alam (free range) yang tidak memerlukan pakan buatan pabrik.
“Sebagai catatan, makanan ternak buatan pabrik umumnya berasal dari kedelai. Kedelai salah satu komoditas yang merusak alam saat ini karena permintaan tinggi.”
Sistem pangan yang menyimpang
Menurut Hayu, persoalan pangan di Indonesia sangat kompleks, bahkan sistem pangan sudah menyimpang jauh dari sistem yang dianut masyarakat zaman dahulu sebelum revolusi hijau. Dulu, tak hanya satu pangan, namun ada keragaman mencapai ratusan.
Sistem pangan heragam itu, katanya Hayu, seperti dipraktikkan masyarakat adat, masyarakat pegunungan, masyarakat daerah kering, masyarakat di perairan. Juga, sistem pangan masyarakat di hutan, yang semua berbeda-beda dan unik.
“Masing-masing bekerja sama dengan alam mereka, merayakan keberagaman, untuk memberikan penghidupan lestari.”
Namun, katanya, semua berubah ketika terjadi penyeragaman pangan dengan padi mulai terjadi. Ribuan benih lokal hilang, begitu juga pengetahuan tradisional yang tak ternilai. “Kemudian juga harus dibayar dengan kerusakan ekologis yang masif.”
Pemerintah Indonesia lewat Peraturan Presiden (Perpres) No. 22/2009 mengeluarkan kebijakan tentang percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal. Tujuannya, memfasilitasi dan mendorong pola konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang dan aman.
Satu sisi, kata Hayu, ada kebijakan pangan industrialis lewat program pengembangan pangan skala besar (food estate), di mana masyarakat lokal dan adat menjadi korban dan kehilangan ruang hidup, karena lebih banyak menguntungkan korporasi.
“Food estate, lagi-lagi hanya berfokus pada tanaman komoditas, seperti padi, jagung, kentang, kedelai dan lain-lain, yang seringkali justru bukan makanan sehari-hari masyarakat yang tinggal di sekitar area food estate.”
Dia contohkan di Sumatera Utara, tanaman fokus pada kentang, bawang putih dan bawang merah untuk memenuhi kebutuhan perusahaan. “Bukan kebutuhan pangan masyarakat lokal.”
Bagi Hayu, ada banyak regulasi dibuat pemerintah justru saling kontradiksi. Untuk itu, katanya, perlu niat baik pemerintah mengatasi permasalahan pangan dan gizi, dengan berkomitmen menyukseskan pembangunan berkelanjutan salah satunya, tuntaskan kelaparan.
“Sistem pangan di Indonesia dibentuk berdasarkan keanekaragaman, hingga penyeragaman tak mengatasi permasalahan pangan, malah sebaliknya menimbulkan bencana pangan serta bencana ekologis.”
Krisis pangan, katanya, tak akan pernah terjadi kalau semangat keragaman pangan terus diusung hingga masyarakat benar-benar berdaulat pangan.
******