Mongabay.co.id

Para Perempuan Pembela Lingkungan Minim Perlindungan

 

 

 

 

 

Para perempuan yang berjuang mempertahankan lingkungan dan hak-hak mereka di tengah konflik sumber daya alam paling rentan mengalami ketidakadilan dan kekerasn berlapis serta trauma kolektif. Para perempuan pembela lingkungan dan HAM ini berisiko mengalami kekerasan seperti kriminalisasi, intimidasi, serangan fisik, kekerasan verbal,  bahkan kekerasan seksual. Kondisi makin berat,  saat sudah ada UU pun yang melindungi para pembela  lingkungan tetapi tak berjalan.

Belum ada peraturan turunan dari Pasal 66 UU undang Nomor 32/2009 ini berkelindan dengan maraknya produk regulasi kontraproduktif pemerintah belakangan ini.

“Ada kekerasan seksual yang hanya terjadi dan menyasar kaum perempuan. Kekerasan ini sangat merendahkan dan sangat mempengaruhi mental dan psikis perempuan di tengah pusaran konflik sumber daya alam,” kata Khalisah Khalid, Manajer Public Engagement Greenpeace Indonesia, saat ditemui Mongabay selepas konferensi pers bertajuk PPHAM dan Rapor Hitam Demokrasi, di Jakarta, Kamis (7/3/24).

Dia menyebut,  kekerasan fisik yang terjadi akan langsung diarahkan pada tubuh perempuan. Karena itu, tidak jarang ada pelecehan seksual dialami perempuan saat memperjuangkan lingkungan dan HAM.

Belum lagi, budaya patriarkis kental di masyarakat membuat perempuan kerap dilabeli tidak baik saat melakukan perjuangan lingkungan atau membela HAM. “Ini tentu saja sedikit banyak akan memengaruhi psikologi para perempuan,” kata Alin, sapaan akrabnya.

Ucapan Alin dialami Emilia, dari Solidaritas Perempuan Palembang. Dia menceritakan, perjuangan berkonflik dengan PT Perkebunan Nusantara VII sejak 2012.

PTPN VII sudah beroperasi sejak 1984. Emilia merupakan generasi kedua dari Masyarakat Desa Seri Bandung, Ogan Ilir, yang berjuang melawan perusahaan plat merah ini. Masyarakat,  katanya, harus menjadi buruh tani karena tidak lagi memiliki lahan.

“Tahun 2012, banyak orang ditangkap tanpa sebab. Jika aparat tidak bisa menangkap laki-laki saat itu, maka anak dan istri yang ditangkap,” ucap Emilia.

Lahan yang diambil merupakan lahan ulayat. Masyarakat tidak memiliki basis legal adaministrasi ketika harus berhadapan dengan izin yang sudah dibebankan di lahan yang mereka garap.

Keterbatasan pengetahuan dan kemampuan membuat perempuan menjadi yang terdampak. “Kami tidak bisa memberikan kehidupan baik dan pendidikan baik pada anak-anak kami. Ekonomi kami tidak mampu menyekolahkan mereka tinggi-tinggi,” kata Emilia terisak.

 

Para pembela lingkungan dan HAM berkumpul di Jakarta, menyuarakan pelindungan minim bagi mereka. Foto: Richaldo Hariandja/ Mongabay Indonesia

 

Catatan Walhi, terjadi kriminalisasi 28 perempuan selama 10 tahun terakhir dalam isu lingkungan hidup. Jumlah ini memang tidak sesignifikan kriminalisasi pria pada periode sama mencapai 1.019 orang. Namun, katanya, saatlelaki alami  kriminalisasi pun yang menanggung beban perempuan.

“Yang tidak disadari, ada dampak terhadap perempuan dari 1.019 laki-laki yang dikriminalisasi ini. Mereka akan dicap sebagai istri kriminal, lalu menanggung sekonomi keluarga juga karena kepala keluarganya ditangkap,” ucap Uli Artha Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional.

Dengan begitu, stigmatisasi terhadap perempuan yang masuk dalam pusaran konflik agraria akan mengganggu psikologis dan kualitas hidup mereka. Walhi, kata Uli, memang  belum menghitung serangan psikologis terhadap perempuan, tetapi kondisi 10 tahun terakhir di pemerintahan Presiden Joko Widodo mencerminkan buruknya perlindungan terhadap para pejuang lingkungan dan HAM, terutama perempuan.

Annisa Azzahra, peneliti Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mengatakan, dari 150 proyek strategis nasional (PSN), 141 menggunakan pendekatan keamanan dan pertahanan.  Berarti, negara gunakan alat pertahanan dan keamanan negara, baik TNI atau Polri untuk melakukan berbagai tindakan kemananan terhadap warganya.

“Mulai dari tindakan awal ketika memberikan notifikasi ada pembangunan, TNI dan Polri sudah dilibatkan. Bahkan, sampai ke berbagai tahap selanjutnya, saat masyarakat digusur, tanah direbut dan dirampas. Semua itu melibatkan TNI dan Polri,” katanya.

Kondisi ini,  membuat masyarakat tidak berdaya ketika mengalami konflik dengan negara. Mereka yang tak memiliki kekuatan kerap berhadapan dengan pasukan yang sifat kerjanya membasmi lawan dan menyelesaikan masalah secara tuntas.

“Negara melakukan berbagai intimidasi dan berbagai kekerasan terhadap warga negara. Kita melihat kembali pola pembangunan represif. Kita harus berjuang lebih keras.”

 

Para perempuan Pocoleok, NTT. Mereka protes rencana pembangunan pembangkit panas bumi yang akan terdampak bagi lahan adat mereka. Foto: Anno Susabun

 

Menantang negara

Sejatinya, Pasal 66 UU PPLH memberikan imunitas bagi para pejuang lingkungan. Namun sejak ada UU pada 2009, tidak ada peraturan turunan yang memastikan proteksi terhadap para pejuang lingkungan.

Pejuang lingkungan dan HAM, termasuk dari kalangan perempuan bahkan kerap mendapat kriminalisasi dalam bentuk strategic lawsuit against public participation (SLAPP). “Padahal, hak kita atas lingkungan dan HAM sudah dijamin. Tapi masih banyak regulasi kontrafdiktif dari apa yang dijanjikan negara,” kata Prilia Kartika Apsari, peneliti Indonesia Center for Environmental Law (ICEL).

Negara, kata Prilia, memiliki kewajiban menghormati dan menjaga pemenuhan hak-hak dasar warga. Sayangnya, yang terjdi kini adalah fenomena penyempitan ruang demokrasi.

Kondisi ini,  membuat masyarakat tidak aman menyuarakan hak mereka, termasuk hak mendapat lingkungan hidup baik dan sehat serta HAM. “Seringkali kriminalisai dilanggengkan dengan pertaturan perundangan. Atau ada fenomena legislasi yang bersifat otokratik,” ucap Prilia.

Untuk itu, katanya, dia tantang pemerintah untuk menghasilkan produk turunan dari Pasal 66 UU PPLH. Tantangan ini dia harapkan bisa terjawab serius oleh pemerintah.

“Kami menuntut Undang-undang yang memastikan partisipasi publik dan ketika masyarakat berpartisipasi itu mendapatkan perlindungan,” seru Uli.

Seharusnya,  kata Uli, negara menciptakan regulasi omnibus partisipasi publik. Undang-undang ini bisa jadi payung mensinkronisasikan Undang-undang sektoral yang berpotensi menghasilkan SLAPP dari pasal-pasal mereka.

“Contoh seperti UU Minerba Pasal 162 yang bisa mengkriminalisasikan setiap orang yang mempertahankan ruang hidup. Dengan UU Partisipasi Publik, UU Minerba ini bisa dikoreksi.”

Dengan begitu, omnibus law yang seharusnya disusun pemerintah berazaskan keselamatan dan perlindungan rakyat serta lingkungan, bukan yang menyebabkan krisis sosial ekologis.

Belgis Habiba, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, sepakat ada UU Partisipasi Publik yang bisa menunjukkan keseriusan pemerintah dalam melindungi para pejuang lingkungan dan HAM, khusus perempuan.

“Di tengah kacau balau perundangan kita, UU Partisipasi Publik bisa jadi alat untuk mengawal dan menagih janji negara untuk memastikan partisipasi kita dalam bidang lingkungan dan HAM.”

 

Perempuan Wowanii,  berjuang menolak tambang. Dia meneteskan air mata usai mendengar pernyataan Lukman Abunawas yang akan mencabut 15 IUP di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

*****

 

Cerita Perempuan Adat Tobelo Melawan Kala Hutan Rusak jadi Tambang

Exit mobile version