Berbasis Hak Perempuan pada Lingkungan, Komunitas Ini Berjuang Selamatkan Situs Warisan Dunia

 

 

Mereka adalah Komunitas Perempuan Penyelamat Situs Warisan Dunia (KPPSWD). Tepat di peringatan Hari Bumi, 22 April 2017, mereka melakukan penyadartahuan tentang hak perempuan pada lingkungan hidup, hutan warisan dunia, dan perubahan iklim, di Sekolah Menegah Kejuruan Negeri (SMKN) 4 Rejang Lebong, Bengkulu.

Kegiatan ini memang yang pertama kali mereka lakukan di sekolah. Rencananya, akan terus dilakukan setiap bulan. “Bersamaan peringatan Hari Kartini dan Hari Bumi, tahun ini kami memulainya,” terang Wakil Ketua KPPSWD Intan Yones Astika. Kegiatan ini, lanjutnya, sebagai upaya memenuhi hak informasi masyarakat, khususnya perempuan.

Pemaparan tentang hak perempuan atas lingkungan hidup dan kelestarian hutan warisan dunia juga dilakukan oleh Ade Purnama Dewi (Anggota). Sedangkan pemaparan tentang perubahan iklim oleh Eva Juniar Andika (Ketua), Oktaviana Hendri Y (Sekretaris) dan Dwi Utari Fransiska (Anggota).

Pemaparan perubahan iklim merupakan tindaklanjut dari kegiatan Youth Leadership Camp for Climate Change yang kami ikuti belum lama ini. “Disadari atau tidak, kerusakan TNKS telah berkontribusi terhadap perubahan iklim yang juga berdampak terhadap kehidupan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar TNKS, khususnya perempuan,” timpal Oktaviana.

Menurut Intan, KPPSWD dibentuk untuk berkontribusi menyelamatkan hutan warisan dunia (TNKS), dan memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak asasi perempuan. Hak tersebut mencakup hak atas informasi, berkomunikasi, dan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dan kebijakan.

“Kami juga akan membuat media untuk perempuan di desa guna mendapatkan informasi dan berkomunikasi terkait hak perempuan atas lingkungan hidup dan kelestarian hutan warisan dunia. Kami akan mengajak ibu-ibu desa untuk berdialog dengan pejabat pemerintahan, termasuk kepala desa dan kepala daerah agar berpartisipasi menyelamatkan hutan warisan dunia ini,” terangnya.

 

Komunitas Perempuan Penyelamat Situs Warisan Dunia (KPPSWD) yang mengajak masyarakat untuk peduli lingkungan dan menyelamatkan Situs Warisan Dunia. Foto: Dedek Hendry

 

KPPSWD dibentuk pada pada 20 Oktober 2016. Saat ini, beranggotakan 11 wanita yang merupakan mahasiswi Universitas Bengkulu, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Curup, Rejang Lebong, Politeknik Rafflesia Rejang Lebong, Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Rejang Lebong, dan karyawati PT. PLN Cabang Curup, Rejang Lebong.

Untuk beraktivitas rutin seperti pelatihan dan lainnya, KPPSWD telah mendapatkan izin menggunakan salah satu ruangan di Kantor Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Sumatera Selatan – Bengkulu Balai Besar TNKS di Rejang Lebong. “Banyak juga mahasiswi lain yang ingin bergabung. Namun, belum bisa kami akomodir,” kata Intan.

Rani Emilia, siswi kelas 10 SMKN 4 Rejang Lebong, usai kegiatan menyatakan dari penjelasan tersebut ia dan teman-tamannya baru mengetahui hak-hak perempuan atas lingkungan hidup dan kaitannya dengan kelestarian TNKS dan perubahan iklim.”

Menurut Rani, mayoritas orangtua siswa SMKN 4 Rejang Lebong bekerja sebagai petani kopi. Bahkan, tidak sedikit siswa di sini juga yang ikut bekerja di kebun, terutama saat musim panen. “Saya baru mengetahui bila perempuan yang paling utama menjadi korban bila terjadi kerusakan alam,” tutur Rani yang berdomisili di Desa Babakan Baru, desa di Rejang Lebong yang berbatasan dengan TNKS.

 

Laju perambahan TNKS, merujuk hasil penelitian Purwanto (2015), terus meningkat. Sumber: KPPSWD

 

Hampir lima puluh persen

Berdasarkan SK Menhut No 748/Menhut-II/2012, luas kawasan hutan di Provinsi Bengkulu sekitar 924.631 hektare. Dari luas tersebut, hampir separuhnya atau 412.324,6 hektare, merupakan bagian dari Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan TNKS. Dua taman nasional ini telah ditetapkan sebagai Tropical Rainforest Heritage of Sumatra (TRHS) dan masuk daftar Situs Warisan Dunia oleh UNESCO pada 7 Juli 2004.

Secara administratif, sebagian kawasan TRHS masuk wilayah Kabupaten Kaur (66.483,1 hektare), Rejang Lebong (25.825,6 hektare), Lebong (98.287,2 hektare), Bengkulu Utara (71.702,7 hektare) dan Mukomuko (150.036,0 hekatare). Namun, akibat tingginya ancaman dan gangguan, UNESCO memasukkan kawasan ini sebagai Situs Warisan Dunia dengan status In Dangered (terancam) pada 22 Juni 2011. Hingga kini, Pemerintah Indonesia berupaya menghapus TRHS dari daftar terancam.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,