Mongabay.co.id

Pengembangan Listrik Minihidro dan Kerusakan Hutan di Sumatera Selatan

 

 

Baca sebelumnya:

Perubahan Iklim dan Peluang Energi Bersih dari Sekam Padi di Sumatera Selatan

Energi Surya di Sumatera Selatan: Potensi Besar tapi Belum Dimaksimalkan

**

 

Salah satu energi bersih yang sudah dimanfaatkan masyarakat Sumatera Selatan sejak ratusan tahun lalu adalah tenaga air [hidro]. Energi ini digunakan untuk menggerakkan kincir penggilingan padi dan kopi oleh masyarakat yang menetap di wilayah huluan Sungai Musi, seperti di Semende, Pagaralam, Lahat, dan Musi Rawas Utara. Namun, sejalan perkembangan teknologi, kincir air digantikan mesin yang menggunakan energi fosil.

Kini, pemerintah Indonesia kembali mendorong penggunaan energi bersih untuk menghasilkan listrik, sebagai upaya menggantikan energi fosil yang banyak melepaskan emisi karbon, penyebab perubahan iklim global. Mampukah kesadaran menggunakan air sebagai energi kembali tumbuh pada masyarakat di Sumatera Selatan?

Ira Rihatini, Kepala Seksi Konservasi Energi Dinas Energi Sumber Daya Mineral [ESDM] Sumatera Selatan, menyebutkan beberapa desa di Kabupaten Muaraenim dan Kabupaten Lahat telah mengembangkan PLTM [Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro]. Baik yang dikelola swadaya masyarakat, maupun bantuan dari Kementerian ESDM, Pertamina, dan PT. Batubara Bukitasam. Misalnya di Desa Segamit, Desa Singapure [Muaraenim], Desa Merbau, Desa Pelakat, Desa Babatan, Desa Simpang Sender, serta Desa Ulu Danau.

Pemanfaatan kapasitas terpasang pembangkit energi hidro di Sumatera Selatan baru mencapai 21,96 MW.

“Masih jauh di bawah potensinya sebesar 448 MW. Kami selalu mendorong berbagai pihak, baik kelompok masyarakat, swasta dan industri untuk memanfaatkan energi air,” terangnya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan IESR [Institute for Essential Services Reform], potensi Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro [PLTM] di Sumatera Selatan sebesar 287,7 Megawatt [MW]. Sementara untuk seluruh Indonesia sebesar 27,8 Gigawatt [GW].

“Hitungan kami memang berbeda dengan Dinas ESDM Sumatera Selatan. Yang terpenting, bagaimana potensi energi bersih ini dapat dimanfaatkan secara optimal,” kata Rizqi Prasetyo, Koordinator Subnasional Program Akses Energi Berkelanjutan IESR.

Meskipun potensi energi hidro di Sumatera Selatan lebih rendah dibandingkan surya [389,5-441,2 GW] dan biomassa [5,0 GW], tapi pemanfaatannya dapat dilakukan di berbagai daerah dataran tinggi yang belum dimasuki PLN.

Kelemahannya, kata Rizqi, selain banyak kawasan resapan air [hutan] yang rusak, perubahan iklim, dan lokasinya jauh dari permukiman.

“Selain itu, jika wilayah tersebut sudah ada PLN, pengembang atau pemanfaat harus berbentuk IPP [Independet Power Producer] sehingga harus dijual ke PLN sebelum didistribusikan ke masyarakat. Tidak bisa dikelola kelompok masyarakat, harus berbentuk perusahaan.”

 

Bila terjadi banjir bandang, sedimentasi aliran air dari Sungai Endikat ini dapat mencapai 20 ribu kubik, sehingga PLTM Green Lahat berhenti berproduksi. Foto: AP Perdana

 

Banjir bandang

Kastiono, Plant Manager PLTM Green Lahat, menyatakan salah satu persoalan yang dihadapi pembangkit listriknya adalah banjir.

“Saat banjir kami tidak produksi karena sedimentasi tinggi. Kami setop produksi dan melakukan pembersihan di hulu bendungan. Pembersihan ini, bisa satu hari hingga satu minggu, tergantung kondisinya. Kalau banjir bandang, sedimentasinya dapat mencapai 20 ribu meter kubik,” ujarnya, Rabu [28/2/2024].

Dijelaskannya, banjir bandang tersebut disebabkan hutan yang berada di hulu Sungai Endikat, yang merupakan kawasan hutan lindung, sebagiannya mengalami kerusakan akibat aktivitas manusia.

“Kami terus melakukan penghijauan [penanaman pohon] di sekitar hulu Endikat. Bila hutan habis, resapan air terganggu, yang berdampak pada operasional PLTM ini. Terkait cuaca yang tidak menentu akibat perubahan iklim, jelas memengaruhi produksi kami,” lanjutnya.

PLTM Green Lahat berada di Desa Singapure, Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat. Perusahaan IPP atau produsen listrik swasta ini beroperasi sejak 2015. Meskipun berada di wilayah yang berbatasan dengan Pagaralam, mayoritas penerima manfaat PLTM berkapasitas 3 x 3,3 MW ini justru masyarakat Pagaralam.

“Listrik sebesar 9,9 MW yang kami hasilkan, pendistribusiannya diatur PLN. Sekitar 70 persen ditransfer ke Kota Pagaralam dan 30 persen untuk Kabupaten Lahat,” kata Kastiono.

PLTM Green Lahat dikembangkan PT. Manggala Gita Karya. Saat ini mereka juga membangun PLTM Endikat dengan kapasitas 3 x 2,67 MW yang sudah beroperasi sejak 2022. Listrik yang dihasilkan juga dijual ke PLN.

 

PLTM Green Lahat beroperasi sejak 2015. Listrik yang dihasilkan dijual ke PLN dan didistribusikan ke Kota Pagaralam serta Kabupaten Lahat. Foto: AP Perdana

 

Apa manfaat PLTM Green Lahat bagi masyarakat sekitar?

Dijelaskan Kastiono, sebelum hadirnya Green Lahat, warga sekitar pembangkit, yang sudah mengakses listrik dari PLN sejak 1994, baik di Pagaralam maupun Lahat, sering mengalami pemadaman. Hal tersebut disebabkan lokasi yang jauh dari gardu induk, sehingga tegangan listrik tidak stabil.

“Sejak PLTM ini hadir, gangguan  tidak terjadi lagi bagi masyarakat di sekitar pembangkit. Kalau terjadi pemadaman, juga tidak lama,” kata Hamzah [62], warga Desa Bandar, Kecamatan Lubuk, Kabupaten Lahat.

“Tapi mungkin, listriknya gratis, sebab sumber airnya di sini. Atau, kalau kami boleh mengelola [pembangkit] sendiri, mungkin bayarannya lebih murah,” lanjutnya.

 

Pipa penstock Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro [PLTM] Green Lahat di Desa Singapure, Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. PLTM berkapasitas 3 x 3,3 MW memanfaatkan hulu Sungai Endikat. Foto: AP Perdana

 

Kerusakan hutan

Para pengelola Perhutanan Sosial [PS] di Kecamatan Semendo, Kabupaten Muaraenim, dengan kearifan lokalnya berupaya mempertahankan tutupan hutan dan memulihkan lahan dengan tanaman campuran [agroforestry], yang sekaligus memanfaatkan jasa lingkungannya berupa sumber air untuk sumber energi listrik [mikrohidro].

“Para pengelola PS yang kami dampingi dan mengembangkan PLTM antara lain di Desa Cahaya Alam, Desa Danau Gerak, Desa Pelakat, Desa Segamit, Desa Tanjung Tiga, Desa Tanjung Agung. Mereka mendapatkan manfaat tersebut setelah menjaga dan memulihkan tutupan Hutan Lindung Bukit Jambul Gunung Patah,” kata Adios Syafri dari HaKI [Hutan Kita Institute].

HaKI adalah organisasi yang melakukan pendampingan pada 17 pengelola PS di Sumatera Selatan. Luasan yang dikelola mencapai 18.376,7 hektare.

Terjaganya Hutan Lindung Bukit Jambul Gunung Patah, kata Adios, bukan hanya terjaminnya sumber air bagi PLTM, juga menjadi rumah bagi beragam satwa liar [wildlife], terutama harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae].

Namun, pada saat masyarakat lokal berjuang mempertahankan keberadaan hutan [tutupan hutan] sebagai sumber penghidupannya, di sekitarnya terjadi kebakaran hutan, pembangunan jalan, pembangunan dan aktivitas pembangkit listrik panas bumi, serta pengembangan perkebunan dan tanaman monokultur. Dampaknya, terjadi bencana banjir, efek pulau panas [urban heat island], serta hilangnya habitat satwa liar.

“Jadi, pengembangan energi bersih, seperti pembangkit mikrohidro, harus diiringi dengan tindakan untuk menjaga hutan. Tidak hanya masyarakat, juga para pelaku usaha dan pemerintah.”

Berdasarkan kajian HaKI, melalui platform mapbiomas Indonesia [MapBiomas Indonesia], dalam dua puluh tahun terakhir [2000 – 2022], Provinsi Sumatera Selatan pernah kehilangan hutan alam yang luasnya sekitar 119.610 hektar. Kabupaten Musi Banyuasin [Muba], Musirawas, dan Musirawas Utara [Muratara] yang terbesar mengalami deforestasinya, yaitu mencapai 70.500 hektare.

Sementara sepanjang tahun 2000 – 2022, pemulihan tutupan hutan di Sumatera Selatan baru mencapai 82.170 hektare. Jadi, hingga 2022, tutupan hutan di Sumatera Selatan yang belum dipulihkan seluas 37.440 hektare.

 

Perhutanan Sosial Mampu Kurangi Angka Kemiskinan di Sumatera Selatan?

 

Exit mobile version