Mongabay.co.id

Tambang Tembaga di Pacitan Bermasalah Sejak Lama

 

 

 

 

 

Kesabaran para petani di Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur,  sudah habis. Pada Jumar 12 Januari lalu, mereka mendatangi pendopo Pacitan mendesak tambang tambang PT. Gemilang Limpah Internusa (GLI) ttutup karena jadi biang pencemar lahan pertanian warga.

Ada sekitar 130-an petani turut dalam aksi itu. Mereka berasal dari enam desa di Ngadirojo yang terdampak limbah tambang GLI. Ada Desa Cokrokembang, Pagerejo, Wiyoro, Tanjung Puro, Hadiluwih, dan Ngadirojo.  Kedatangan petani ini diterima langsung Bupati Pacitan, Indarto Nur Bayuaji.

“Warga sudah terlanjur jengkel dengan perusahaan. Intinya,  keinginan warga hanya satu, ambang GLI ini ditutup karena mencemari sawah-sawah kami,” kata  Gunadi, Kepala Desa Cokrokembang, kepada Mongabay. Tulus, Pujianto, wakil ketua kelompok tani, membenarkan ucapan Gunadi.

Indarta merespons tuntutan itu dengan mengirim surat ke sejumlah instansi, dan lembaga kementerian, pekan berikutnya. Antara lain, kepada Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta, termasuk kepada Pemerintah Jawa Timur.

Mongabay mendapatkan salinan surat bupati kepada Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakkum) KHLK Jawa Bali dan Nusa Tenggara.

Dalam surat bernomor: 600.4.16.1/039/408.45/2024 itu, bupati meminta, pertama,  kegiatan GLI setop sebelum perusahaan mengelola limbah dengan benar, sebagaimana tuntutan warga.

Kedua, meminta pemulihan lahan pertanian yang rusak diduga tercemar. “Pemkab Pacitan telah melakukan pemantauan dan pengawasan, serta pengambilan sampel di lokasi,” tulis bupati dalam surat tertanggal 16 Januari itu.

Cici Roudhlotul Jannah,  Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pacitan, mengatakan, surat mereka kirim sebagai tindak lanjut protes warga sebelumnya. Dia bilang, tidak bisa melakukan penutupan lantaran kewenangan terbatas.

 

Warga Pacitan memperlihatkan sungai yang diduga terdampak operasi tambang tembaga. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Sudah lama

Gunadi, Kepala Desa Cokrokembang mengatakan, polemik atas keberadaan tambang tembaga milik GLI  di Pacitan sudah berlangsung lama. Ia tak lepas dari serangkaian persoalan yang melingkupi operasi perusahaan ini sejak awal beroperasi.

“Dari dulu ya kami protes terus. Apalagi sekarang ini dampaknya makin parah. Kalau hujan itu lumpur turun ke bawah meracuni saluran irigasi dan menyebabkan tanaman warga mati,” kata Gunadi.

Pada awal operasi dulu, warga sempat memasang patok untuk menghalau kendaraan tambang lewat.

Kompilasi laporan yang terbitan UMM Press 2017 (UMM Press) memperkuat pernyataan Gunadi. Saat awal beroperasi, perusahaan ini dinilai cacat prosedur. Sebab, produksi sudah jalan meski belum mengantongi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

“Izim amdal baru diurus tahun 2010 setelah perusahaan tambang berjalan kurang lebih dua tahun,” tulis laporan itu.

Indikasi cacat prosedur ini juga tercermin dari surat aduan warga yang dikirimkan kepada Komnas HAM 2010. Dalam salinan aduan itu, terungkap, izin produksi (eksploitasi) GLI bupati Pacitan kala itu keluarkan pada 11 Mei 2008. Izin eksplorasi baru terbit pada 17 Oktober 2008.

Selain perizinan cacat, persoalan ganti rugi lahan juga sempat mengemuka saat awal tambang ini beroperasi. Meski penambangan dengan membuat terowongan, perusahaan tak memberi ganti rugi kepada para pemilik lahan di atasnya. Menurut laporan itu, ganti rugi hanya pada lahan di sekitar mulut terowongan.

Situasi itu membuat warga terus protes. Apalagi dalam praktiknya, penambangan GLI juga menyebabkan sungai di bawahnya tercemar hingga menyebabkan ikan-ikan di sungai mati. Hal itu mendasari warga mengirim aduan ke Komnas HAM pada 2010,  yang direspons dengan menurunkan tim dan membuka posko pengaduan di lokasi.

Protes tak berkesudahan itu pun direspons Pemerintah Jatim yang menurunkan tim ke lokasi. Pada 2012,  operasi GLI di Desa Kluwih itu dihentikan. Begitu juga GLI di Desa Kasihan, Kecamatan Tulakan, ditutup imbas protes warga.

GLI memiliki dua konsesi pertambangan tembaga di Kabupaten Pacitan, seperti data KESDM. Konsesi pertama seluas 350 hektar meliputi Desa Kluwih, Kecamatan Tulakan dan Cokrokembang, Kecamatan Ngadirojo—sedang bermasalah.

Lokasi kedua di Desa Kasihan dan Desa Ngreco, Kecamatan Tegalombo serta Bubakan, Kecamatan Tulakan mencapai 805 hektar–sudah tidak beroperasi.

Kedua konsesi tertuang dalam Surat Keputusan Bupati Pacitan pada 2010, dengan masa berlaku selama 20 tahun, 2008-2028.

 

Tanaman padi tak tumbuh subur karena air diduga tercemar limbag tambang tembaga. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Sebelum berhenti, tambang di Kasihan pernah beroperasi tetapi tutup menyusul protes warga pada 2010. Nur Romdoni, pemuda setempat mengatakan, ada banyak alasan melatari warga menolak GLI.

“Warga merasa terganggu lantaran akses jalan kendaraan berada di tengah kampung. Dalam sehari itu ada 30 truk lewat. Satu truk bisa bolak-balik sampai empat kali,” katanya kepada Mongabay, Januari lalu.

Lain dengan tambang di Kasihan, yang tak lagi beroperasi sampai kini, kondisi sebaliknya terjadi pada konsesi di Kluwih. Kendati juga sempat tutup pada 2012–versi Dinas Lingkungan Hidup–, perusahaan membuka kembali tambang tujuh tahun kemudian atau pada 2019 menyusul ada kesepakatan dengan warga.

Data Mongabay, sebelum tambang Kluwih kembali buka, Indarto sempat membentuk Tim Fasilitasi Penyelesaian Permasalahan GLI dengan masyarakat pada 2019. Tim diketuai sekretaris daerah (sekda) kala itu, Suko Wiyono, beranggotakan sejumlah unsur, seperti Pemerintah Pacitan, kepolisian, TNI, Badan Pertanahan Nasional (BPN), perwakilan perusahaan (lima orang) dan masyarakat (delapan orang).

Dalam pertimbangannya, bupati menyebut pembentukan tim untuk merespons gejolak di masyarakat terkait dampak kegiatan GLI. Salah satu tugas tim ini adalah koordinasi dan memfasilitasi perselisihan antara GLI dengan masyarakat di sekitar area tambang.

Hasil fasilitasi tim terpadu ini pun membuahkan sejumlah kesepakatan, antara lain, perusahaan boleh melanjutkan operasi dengan masa uji coba selama tiga bulan dan mendapat pengawasan ketat. Kalau dalam uji coba terjadi pelanggaran (pencemaran), perusahaan siap menghentikan operasi.

Kesepakatan ini pula yang jadi dasar warga mendesak perusahaan menghentikan operasi. Karena sejak perusahaan itu kembali beroperasi pada 2019, pencemaran terus terjadi sampai sekarang.

“Jika mengacu pada kesepakatan ini, perusahaan seharusnya ditutup karena tidak mengelola limbah tambang dengan benar hingga mencemari, sebagaimana (penutupan) yang pernah dilakukan beberapa tahun lalu,” kata Juli Agus Sumanto, warga setempat. Dia menunjukkan dokumen kesepakatan itu kepada Mongabay.

 

Operasi perusahaan tmbang tembaga di dataran atas Pacitan. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Masalah dan masalah

Pencemaran lingkungan bukanlah satu-satunya persoalan yang melingkupi operasional GLI. Di sektor ketenagakerjaan, penambangan perusahaan juga dinilai tak memperhatikan keselamatan pekerjanya.

Selama beroperasi, beberapa kali terjadi insiden terowongan ambruk hingga memakan korban jiwa. Pada 2020, ada satu pekerja tewas dan satu luka). Pada 2022, ada satu pekerja tewas dan tiga luka.

Mongabay sempat mengunjungi langsung ke lokasi tambang GLI di unit pengolahan limbah. Puluhan pekerja tengah istirahat makan siang.

Kendati pekerjaan sarat risiko paparan logam berat, tak ada fasilitas safety guard memadai. Tak ada masker, sarung tangan, atau helm.

Ironisnya, dengan risiko dan beban pekerjaan begitu tinggi, para pekerja ini mendapat upah murah. Saban hari, mereka hanya dibayar Rp85.000 untuk sembilan jam kerja mulai pukul 07.00-16.00.

“Kalau lembur, setiap jam dibayar Rp15.000,”  kata salah satu pekerja.

Tak ada asuransi kesehatan atau jaring pengaman sosial apapun dari perusahaan pada para pekerja.

 

 

Lumbung padi

Pencemaran lahan pertanian GLI berpotensi mengancam status Desa Cokrokembang sebagai salah satu lumbung padi di Pacitan karena sawah-sawah tak lagi bisa ditanami.

Berdasar data BPS Pacitan, dari 18 desa di Kecamatan Ngadirojo, Cokrokembang punya area sawah paling besar, 105 hektar.

Desa ini punya empat dusun, Kwangen, Cerbon, Barak, dan Prancak luas mencapai 444,4 hektar. Jumlah penduduk 3.201 jiwa dengan 1.605 laki-laki dan 1.596 perempuan.

Data tingkat perkembangan Desa Cokrokembang, 2022, menyebutkan,

sebagian besar pencarian penduduk dari pertanian, sebagai buruh maupun pemilik lahan.  Lokasi penambangan GLI sejatinya bukan di Desa Cokrokembang, tetapi di Desa Kluwih, Kecamatan Tulakan. Desa ini bersebelahan dengan Cokrokembang dengan kontur lebih tinggi. Dengan begitu, aliran sungai yang mengandung limbah mengalir ke sawah-sawah di Desa Cokrokembang, terutama Dusun Kwangen dan Cerbon.

Tulus Pujianto, Wakil Ketua Kelompok Tani  Cokrokembang berulangkali mengingatkan perusahaan tidak mengumpulkan limbah padat di ketinggian agar tidak mencemari. Peringatan itu tak digubris.

“Karena itu nanti pasti akan menjadi bom waktu. Selain mencemari, juga berpotensi terjadi longsor,” katanya.

Gunadi cerita bagaimana suasana sebelum ada GLI. “Dulu ya menyenangkan di sini. Suasana tenang.”

Untuk makan, warga bisa mengandalkan hasil panen padi yang melimpah. Pun dengan lauk, Sungai Pinihan yang membelah Cokrokembang kaya akan ikan, terutama sidat yang jadikan sungai ini sebagai habitatnya.

Ketenangan itu buyar setelah tambang dari perusahaan asal Tiongkok ini menjejakkan kaki pada 2008. Alih-alih sidat, tak ada satu pun jenis ikan bisa dijumpai di sungai yang bermuara di Samudera Hindia ini.

 

 

Gakum KLHK menindaklanjuti laporan pencemaran tambang tembaga di Pacitan. Foto: Gakum KLHK

 

Kendati membawa dampak luas, sikap perusahaan tetap beroperasi. Gunadi pun mendesak, perusahaan tutup agar pencemaran tidak makin meluas sekaligus bila pemulihan. “Dulu kan sudah ada kesepakatan di 2018, kalau melakukan pencemaran, perusahaan berjanji berhenti. Kesepakan itu yang kami tagih saat ini, jadi ya ditutup saja sesuai kesepakatan dulu,” katanya.

Badrul Amali, penasihat hukum GLI menolak tuntutan warga untuk menutup perusahaan. Penutupan GLI, katanya,  bukan solusi bijak dalam menyelesaikan persoalan yang timbul karena kegiatan perusahaan. Sebaliknya, penutupan itu justru akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari.

Badrul mengklaim, ada lebih 100 orang bekerja di GLI, baik pekerja tetap maupun harian. Bila perusahaan tutup, para pekerja ini otomatis kehilangan pekerjaan yang akhirnya berdampak pada penghidupan mereka. “Sebagian besar dari pekerjaan ini adalah warga sini,” katanya.

Alasan penutupan itu juga berdasarkan pada sederet persoalan imbas kegiatan perusahaan yang belum selesai, terutama pencemaran. Karena itu, dia sepakat mendorong perbaikan dan pengawasan lebih ketat.

“Pengawasannya harus diperketat untuk memastikan tidak ada lagi masalah. Kecuali kalau perusahaan tidak kooperatif untuk menyelesaikan persoalan, bisa saja itu ditutup,” ungkap Badrul akhir Januari lalu.

Kasus ini sudah warga laporkan dan sedang penanganan, Badrul pun meminta masyarakat bersabar sembari menunggu tindak lanjut dari pemerintah.

Perusahaan, katanya, senantiasa terbuka menerima masukan dari siapapun, termasuk tim Gakkum KLHK saat turun nanti.

 

 

KLHK  turun tangan

Pada 21 Februali lalu, tim Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum KLHK wilayah Jawa Bali dan Nusa Tenggara (Jabal Nusra) mendatangi lokasi tambang GLI. Petugas memasang plang menegaskan tambang  GLI sedang dalam pengawasan.

“Masih didalami. Kami sudah turunkan tim ke lokasi. Selain Gakkum, ada dari DLH provinsi, DLH kabupaten, juga inspektur tambang dari KESDM,” kata Taqiuddin, Kepala Gakkum Jabalnusra, saat dihubungi Mongabay.

Selama di lokasi, tim juga mengambil sampel air di enam titik untuk uji laboratorium. Pengambilan sampel pada area upstream dan downstream.

“Konsekuensinya apa, nanti lihat hasilnya. Kalau melihat sekilas, memang ada yang tidak sesuai. IPAL ada, tapi tidak sesuai dengan yang dizinkan.”

 

Operasi tambang di dataran atas hingga limbah mengalir ke bawah. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

*****

 

 

Nestapa Petani Pacitan Terdampak Limbah Tambang Tembaga

Exit mobile version