Mongabay.co.id

Perkotaan Penyumbang Terbesar Emisi Gas Rumah Kaca, Bagaimana Mengatasinya?

 

 

 

Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, perkotaan disebut-sebut menjadi salah satu penyumbang terbesar terjadinya krisis iklim. Sebab, perkotaan mengonsumsi 78% pasokan energi utama, dan menghasilkan lebih dari 60% emisi gas rumah kaca global.

Doddy S. Sukardi, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau Indonesia saat dihubungi awal Maret 2024 mengatakan, ada beberapa faktor yang mendasari perkotaan menjadi salah satu kontributor terbesar terjadinya krisis iklim.

Pertama, di perkotaan masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi untuk melakukan aktifitas sehari-hari masih jamak dijumpai. Sedangkan, umumnya kendaraan pribadi yang digunakan itu masih didominasi oleh kendaraan berbahan bakar fosil. Padahal selain pesawat, motor maupun mobil yang menggunakan bahan bakar fosil ini bisa menimbulkan jejak karbon yang cukup besar.

Ia menyebutkan, data dari Kementerian Perhubungan mencatat, sektor transportasi di Indonesia menyumbang 5% dari total emisi. Sementara secara global, sektor transportasi merupakan penyumbang seperlima emisi dari jejak karbon global.

Bukan hanya itu, dalam laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau IPCC menyebutkan bahwa sebanyak 62% penggunaan bahan bakar berasal dari sektor transportasi.

“Bayangkan, di Jakarta saja data terbaru per Agustus 2023 menunjukkan untuk kendaraan bermotor sudah mencapai 23,03 juta unit. Belum lagi di kota kota besar lainnya,” ujar sosok pria yang mengaku lebih sering menggunakan transportasi publik dalam kegiatan sehari-hari ini. Akibat tingginya penggunaan kendaraan bermotor total emisi yang dikeluarkan mencapai 81,17 juta kg CO2e.

baca : Kota Layak Huni dan Ancaman Nyata Perubahan Iklim

 

Di perkotaan masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi untuk melakukan aktifitas sehari-hari masih jamak dijumpai. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Terapkan Prinsip Rendah Emisi

Selain itu, menurut sosok pria yang pernah menjabat sebagai Kepala Divisi Perubahan Tata Guna Lahan di Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) faktor kedua yaitu adanya pembangunan yang pesat seperti gedung-gedung tinggi maupun pabrik-pabrik di perkotaan.

Secara langsung maupun tidak, gedung-gedung tinggi maupun pabrik-pabrik ini dapat mengubah karakteristik tanah, begitu pun dengan sirkulasi udara, serta gerakan angin jadi terhambat. Hal tersebut bisa menyebabkan terjadinya olakan dan turbulensi yang bergerak naik.

Sedangkan angin yang bergerak ke atas itu akan membawa partikel-partikel seperti asap kendaraan, polusi, debu ke atmosfer permukaan.

Tidak hanya itu, gedung-gedung bertingkat berdinding kaca yang terus menjejali perkotaan itu akan memantulkan radiasi panas dari matahari yang menyebabkan daerah sekitarnya juga mengalami peningkatan panas.

“Pada umumnya, kota-kota besar merupakan penyebab terjadinya partikel-partikel halus atau asap industri maupun asap kendaraan bermotor ke dalam lapisan atmosfer,” katanya.

Beberapa gas buangan yang diemisikan ke dalam atmosfer akan bertindak sebagai gas rumah kaca yang transparan dengan radiasi gelombang yang pendek matahari, serta menyerap radiasi gelombang panjang bumi sehingga pemanasan bumi meningkat. Akibatnya, seiring perkembangan perkotaan suhu udara akan semakin naik.

baca juga : Perubahan Iklim Lokal, Pemicu Angin Puting Beliung dan Tornado di Rancaekek

 

Gedung-gedung bertingkat yang menjejali perkotaan akan memantulkan radiasi panas dari matahari. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Faktor ketiga yaitu gaya hidup masyarakat perkotaan. Menurutnya, peningkatan populasi perkotaan tentu berbanding lurus dengan kebutuhan energi listrik yang semakin tinggi. Peningkatan ini terjadi hampir semua sektor industri, sektor rumah tangga, maupun sektor komersial.

Secara tren, sejak tahun 2017 konsumsi listrik perkapita terus mengalami peningkatan. Terbaru, berdasarkan laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 2023 realisasi konsumsi setiap orang di Indonesia rata-rata mencapai 1.285kWh/kapita. Angka ini disebut meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 1.173 kWh/kapita.

“Untuk itu saya menghimbau kepada pemerintah maupun masyarakat agar memulai mengimplementasikan prinsip-prinsip hidup yang rendah emisi, jadi bagaimana merubah gaya hidup, merubah pembangunan agar tidak boros emisi,” tuturnya.

 

Cukup Adaptif

Pada saat bersamaan, selain menjadi kontributor terbesar krisis iklim, masyarakat miskin perkotaan juga dinilai menjadi kelompok yang rentan terdampak perubahan iklim. Ari Mochamad, Program Director Climate Change and Circular Economy, Save the Children-Indonesia mengatakan, rentannya kelompok masyarakat miskin kota ini dilandasi karena keadaan lingkungan mereka yang kurang memadai.

Ari menyoroti, tanpa ada perubahan iklim, kota juga memiliki persoalan yang sangat kompleks. Misalnya, kurangnya ruang resapan, drainase yang kecil dan tidak terpelihara dengan baik membuat perkotaan lebih mudah banjir.

Selain itu, sedikitnya ruang terbuka hijau di perkotaan juga dapat menyebabkan berkurangnya oksigen dan rusaknya kualitas ozon.

Walaupun mempunyai tingkat ancaman yang besar, lanjutnya, wilayah perkotaan umumnya juga memiliki kemampuan daya tangkal yang tinggi, atau cukup adaptif untuk melakukan mitigasi ancaman perubahan iklim.

baca juga : Perempuan Pesisir Perkotaan Rentan Terdampak Perubahan Iklim

 

Gedung-gedung tinggi dapat merubah karakteristik tanah dan sirkulasi udara dapat terpengaruhi, serta gerakan angin jadi terhambat. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Hal ini dilatarbelakangi karena perkembangan infrastruktur, kemampuan finansial, juga aplikasi teknologi untuk mendorong perbaikan kualitas lingkungan hidup di perkotaan lebih bagus.

“Dengan tingkat pendidikan yang jauh lebih baik, otomatis orang-orang yang menikmati fasilitas pendidikan itu jauh lebih paham terhadap isu perubahan iklim dan kerusakan lingkungan,” ujarnya.

Sebuah studi yang rilis dalam laporan “The Future of Urban Consumption in a 1,5 celcius World” tahun 2021 menunjukkan peran besar masyarakat perkotaan terhadap penanganan perubahan iklim.

Dari sisi emisi karbon saja, seluruh wilayah perkotaan menyumbang sedikitnya 10 persen dari emisi karbon global.

Studi ini dilakukan di 96 kota besar di dunia, termasuk Jakarta. Sedangkan pendekatan yang digunakan merupakan enam pola konsumsi penduduk, yaitu pakaian/tekstil, makanan dan minuman, industri penerbangan, pembangunan ifrastruktur, kendaraan bermotor, dan teknologi.

“Ini seharusnya menjadi momentum kepada para pemimpin kota maupun kabupaten mulai dari daerah atau provinsi, serta pelaku usaha agar menyadari, bahwa pembangunan ke depan merupakan pembangunan yang ramah lingkungan,” pungkasnya. (***)

 

 

Studi Paleoekologi Ungkap Hutan di Asia Tenggara Bertahan dari Perubahan Iklim di Masa Lalu

 

Exit mobile version