Mongabay.co.id

Nasib Orang Rimba di Tengah Himpitan Perkebunan Sawit dan Tambang Batubara

 

 

 

 

 

Truk tronton bermuatan puluhan ton batubara melintasi jalan tanah berdebu. Seketika jalan gelap. Tumenggung Ngelembo yang mengendarai motor pun dibuat pontang-panting,  awal November lalu.

“Mati kito macam ini. Dak nampak lagi jalan. Orang dipakso makan debu.” Ngelembo gusar, karena mulut kemasukan debu.

Ngelembo ingin menunjukkan dusun Orang Rimba di Desa Hajran, Kecamatan Batin XXIV, Kabupaten Batanghari,  Jambi, yang lenyap tergusur batubara. Kami mengendarai motor puluhan kilometer melintasi jalan angkutan batubara.

Di tengah jalan dia cerita, dua tahun lalu, Ngeleman Sanggul, warga Rimba, meninggal kecelakaan ditabrak truk pengangkut batubara. Dugan yang mengendarai motor tidak bisa melihat jalan akibat tertutup debu. Dia ditabrak truk dan Ngeleman jatuh di bawah kolong truk nyaris terlindas.

“Kerugian kami kerno batubara dak keitung lagi,” kata Ngalembo.

“Nyawo bae sudah orang empat meninggal.”

Sejak batubara beroperasi, banyak anggota kelompoknya terserang diare, gatal-gatal, sesak napas. “Awalnya sakit perut, terus meninggal, banyak penyakit sejak PT (sebutan untuk perusahaan) masuk.”

Setelah sejam lebih mengendarai motor, Kami sampai di lokasi dusun Orang Rimba. Ngelembo menunjuk ke sebuah bukit. Katanya di sanalah dulu kebun karet, makam dan tempat anak-anak mereka dilahirkan. Semua telah hancur. Makam Tumenggung Sukoberajo, sekarang jadi kolam penampungan limbah tambang batubara.

Sejauh mata memandang, hanya hamparan tanah kosong sedang teraduk ekskavator. Puluhan truk tronton hilir mudik mengangkut batubara. Bisnis emas hitam yang menggiurkan telah melenyapkan kampung dan sumber penghidupan Orang Rimba.

Ngelembo kemudian mengajak saya melihat Sungai Mantan yang tercemar aktivitas tambang batubara. Air sungai ini mengalir ke Sungai Serengam, yang jadi sumber air minum kelompok Orang Rimba.

Sekitar dua tahun lalu, dua anak dari Kelompok Tumenggung Mena meninggal setelah mengeluh sakit perut.

“Air macam ini—coklat kehitaman—kek mano tidak banyak penyakit?” tanya Ngelembo.

Pada 2019, lima orang Kelompok Tumenggung Minang juga meninggal diduga gara-gara minum air tercemar limbah batubara. Dua anak-anak dan tiga orang dewasa.

“Orang Rimba ini kalau minum airnyo tidak pernah dimasak, langsung diminum. Makanyo banyak yang mencret, muntaber. akhirnyo meninggal,” kata Minang.

“Dulu, Orang Rimbo paling anti penyakit. Kini,  debu batubara itu sumber penyakit, sesak napas, gatal-gatal,” katanya. “Sebulan yang lewat, pas kemarau banyak sekali penyakit sampai tidak teurus lagi sama dinas sosial.”

Bukan hanya sumber air yang hilang akibat sungai tercemar, tetapi ikan dan hewan buruan juga menghilang.

“Labi-labi aja gak mau masuk—sungai—karno airnyo hitam. Ikan jugo dak katek lagi.”

Sejak wilayah berburu berubah menjadi tambang batubara, kelompok Orang Rimba di Batanghari terpaksa berpindah-pindah untuk mencari sumber penghidupan.

“Kalau masih rimbo hewan buruan ada terus. Sekarang seminggu pindah seminggu pindah, hewan buruan tidak ada lagi. Mau makan sehari-hari susah,” kata Minang.

Dia mengeluh makin lama kehidupan Orang Rimba makin sengsara. “Enak kalau pemerintah bantu setiap hari. Kalau sebulan sekali kek mano makannyo.”

 

Debu mengepul pekat di jalan yang dilalui angkutan batubara di Koto Boyo, Batanghari. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia

 

Beberapa kelompok Orang Rimba ini tinggal area–yang belakangan jadi– konsesi perusahaan sawit,  PT Sawit Desa Makmur (SDM).  Ada sembilan kelompok Orang Rimba tinggal di sana, Kelompok Minang, Nyenong, Ngelembo, Ngelambu, Girang, Menah, Jelitai, Meraman, dan Nguyup. Total lebih 1.000 orang.

SDM mendapatkan izin lokasi pencadangan lahan pada 1989, dan izin HGU pada 1997 untuk perkebunan sawit seluas 14.225 hektar. Pada 1991,  perusahaan mulai menanam sawit, tetapi tidak pernah terurus.

Rentang 2017-2019, perusahaan tambang batubara masuk dan mulai menggarap di lokasi izin SDM. Berdasarkan Minerba One Map Indonesia, ada tujuh perusahaan tambang, yakni PT Tambang Bukit Tambi (TBT), PT Bumi Makmur Sejati (BMS), PT Batu Hitam Sukses (BHS), PT Batu Hitam Jaya (BHJ), PT Bumi Bara Makmur Mandiri (BBMM), PT Kurnia Alam Investama (KAI) dan PT Alam Semesta Sukses Batubara (ASSB).

TBT dan BMS punya orang yang sama. Berdasarkan Minerba One Data Indonesia, 51% saham dua perusahaan dikuasai PT Bukit Tambi. Sisanya,  Hendro Heng 15,4%, Suparmin Heng 13,3%, Muchri 8,8%, Sukaimi Hendra Heng 6,6% dan Muhamad Ridho 5 %. Direktur dua perusahaan ini juga sama, Hengsen Sugiawan.

Sementara BHS, BHJ, BBMM, KAI dan ASSB, 99% saham Rizal Senangsyah. Wagiran memegang 1% saham, dia juga menjabat sebagai direktur di lima perusahaan tambang  itu.

Rizal merupakan saudara Andi Senangsyah, Direksi SDM. Dalam laporan Walhi Jambi berjudul “Praktik Kotor Perkebunan Kayu di Indonesia” yang rilis 2020 menyebut, sebelum memulai bisnis sawit, keluarga Senangsyah merupakan agen tunggal minyak tanah, bensin dan solar. Mereka juga punya SPBU terapung di Payo Selincah, Jambi.

Sedang Santoso,  saudara Andi dan Rizal merupakan pemilik sekaligus pendiri Taman Nusa di Bali. Keluarga Senangsyah tercatat sebagai pemegang saham PT Asiatic, PT Limbah Kayu Utama dan PT Scona Persada di Jambi.

Data yang didapatkan Mongabay, BHS, BHJ, BBMM dan ASSB merupakan pemasok batubara untuk PLTU milik PLN.

 

Kondisi Sungai Mantan, setelah ada tambang batubara. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia

 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menyebut,  ada 28 perusahaan tambang di Jambi jadi pasok batubara untuk PLTU PLN, dengan kuota 3,9 juta ton.

Novaizal, Kepala Bidang Pertambangan Dinas ESDM Jambi menyebut, batubara dari Jambi dikirim ke Jawa salah satunya untuk memasok PLTU Suralaya.

“Ada juga yang dikirim ke Riau, Medan, ke Semen Padang. Sebagian untuk bahan bakar mesin industri baja dan tekstil di Jawa,” katanya.

Batubara di Jambi rata-rata berkalori rendah, antara 2.800-3.400 cocok untuk bahan bakar PLTU. “Di Tanjung Jabung Barat itu ada yang sampai 6.000 kalori, tetapi untuk campuran kalori rendah.”

Jambi memiliki cadangan batubara terbesar di Sumatera setelah Sumatera Selatan. Berdasarkan “Hand Book of Energy & Economic Statistic of Indonesia 2021, Jambi memiliki sumber daya batubara mencapai 4,574 juta ton dan cadangan batubara 1,658 juta ton. Produksi batubara Jambi selalu masuk 10 besar nasional.

Emas hitam telah menjadi sumber ekonomi baru bagi Jambi. Pada 2017,  Jambi menerima dana bagi hasil (DBH) batubara Rp105 miliar, 2018 naik jadi Rp145 miliar, 2019 naik jadi Rp 193 miliar. Pada 2020,  tembus Rp 213,3 miliar dan 2021 mencapai Rp 271,3 miliar. Pada 2022, PNBP dari tambang batubara di Provinsi Jambi Rp505 miliar lebih.

Pada 2023, lebih 18 juta ton batubara di Jambi terkeruk, di bawah kuota KESDM 36,5 juta ton. Meski demikian,  Jambi tetap menerima DBH batubara Rp300 miliar lebih.

Sementara nilai ekspor batubara di Jambi pada 2023 mencapai US$360,58 juta, turun US$85,31 juta dibanding 2022. BPS mencatat, tambang batubara menyumbang produk domestik regioal bruto (PDRB) Jambi 6.36% pada 2022, dan 6.19% pada 2023.

 

Kebun sawit PT SDM yang ditanam pada 1991 terlihat tidak terurus. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia

 

Berlarut

Lebih tiga dekade, konflik antara Orang Rimba dengan SDM tak pernah selesai. Ia bermula saat keluarga Senangsyah memulai bisnis perkebunan sawit.

Sejak tanam 1991, perkebunan sawit SDM tidak terurus. Beberapa kelompok Orang Rimba masuk dan menggarap lahan SDM. Mereka menanam karet, sawit dan banyak tanaman buah. Mereka juga tinggal di sana, meski tidak menetap di satu tempat.

“Kami nengok kebun itu tidak diurus. Hukum adat Orang Rimbo, tiga tahun tidak diurus, itu pacak—bisa—orang lain bukaknyo,” kata Ngelembo.

Perusahaan tidak tinggal diam. Beberapa kali kebun Orang Rimba digusur hingga memicu konflik. Puncaknya, 2006. Kelompok Orang Rimba kemudian melaporkan perusahaan ke Pemerintah Batanghari. Mereka menuntut pencabutan izin SDM. Pada 27 Maret 2006, Bupati Batanghari, Syahirsah menyurati BPN Jambi agar memproses pencabutan izin HGU SDM. Hasil rapat di BPN pada April 2006 memutuskan HGU tidak bisa dicabut karena masih tahap pembinaan.

Pada 8 April 2011, Bupati Batanghari, Abdul Fattah menyurati SDM agar tidak lagi menggusur kebun Orang Rimba, karena mereka terbukti tidak memanfaatkan izin HGU dengan baik, bahkan lahan terlantar.

Enam tahun setelah itu, perusahan tambang batubara milik Rizal Senangsyah masuk dan menggarap di lokasi izin HGU SDM. Semua kebun Orang Rimba beserta tempat-tempat sakral hancur tanpa tersisa.

Pembukaan tambang batubara membuat konflik Orang Rimba dengan SDM makin meruncing. Pada 2020, Gubernur Jambi, Fachrori Umar menyurati Kepala Kantor Wilayah BPN Jambi agar mengevaluasi izin SDM. Dalam surat tertanggal 17 September 2020 itu menyebut konsesi SDM terbukti terlantar dan tak sesuai peruntukan. Gubernur meminta luas izin HGU dikurangi sesuai yang dikuasai perusahaan.

Surat ini merupakan tindak lanjut surat Bupati Batanghari, Syahirsah yang dikirim 30 Juli 2020, dan surat dari Kepala Desa Hajran, Sungai Lingkar, Mata Gual,  Sungai Lingkar, Koto Boyo, Padang Kelapo dan Sungai Ruan yang mendesak agara izin HGU SDM direvisi.

Surat Gubernur Jambi tak digubris. Perusahaan keluarga Senangsyah itu justru membuka lahan baru di wilayah Orang Rimba yang sebelumnya belum tergarap perusahaan.

Ngelembo tak bisa berbuat apa-apa. “Kami sudah ngadap ke bupati, kemano-mano, tapi belum jugo ado keputusan. Sekarang masuk batubara,” katanya.

Pokok kami lah puaslah berjuang,” timpal Jelitai.

Konflik berkepanjangan membuat kelompok Orang Rimba tersingkir. Kelompok Jelitai pindah ke Sungai Geger, tetapi konflik dengan PT Adimulia Palmo Lestari—perkebunan sawit. Sebagian menempati pemukiman yang dibangun pemerintah di wilayah Padang Kelapo, tetapi banyak tak betah.

“Sekarang kemano kami nak pindah, semua sudah masuk izin PT (sebutan perusahaan).  Wilayah kami itu sudah tidak ado lagi. Separuh jadi batubara, separuh jadi sawit,” kata Jelitai. “Tekepung kami.”

Kan nyuruh mati itu namonyo,” sahut Ngelembo.

 

Pohon yang ditebang PT SDM di lokasi yang bersengketa dengan Orang Rimba. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia

 

Konflik memanas

Pada 17 September 2023, puluhan Orang Rimba dari tujuh kelompok menghadang alat berat SDM di seberang Sungai Pawal. Mereka marah. Perusahaan keluarga Senangsyah  melanggar perjanjian.

Puluhan hektar kebun karet, pohon durian, pohon sialang dan nuaron—kebun buah—orang rimba ditumbang tanpa ganti rugi. Makam dan tanah pranaon—tempat orang rimba melahirkan—digusur.

Ngelembo menunjukkan saya, copy-an surat perjanjian antara Andi Senangsyah, Direksi SDM dengan Tumenggung Berambai—kakek Ngelembo—pada 9 Oktober 1991. Dalam surat itu, keduanya sepakat mengadakan perjanjian tanda batas rencana pembangunan perkebunan sawit SDM di Kecamatan Mersam, mulai Sungai Pawal terus ke selatan sampai Sungai Serengam ke hilir. SDM juga sepakat memberikan ganti rugi Rp15 juta untuk kebun dan tanah makan yang kadung digarap.

Ngelembo bilang, ada sekitar 2.000 hektar lahan SDM berbatasan dengan wilayah Orang Rimba. Sekarang wilayah Orang Rimba ikut digarap perusahaan.

“Itu dusun Orang Rimbo nian. Di situlah kebun durian, tanah pranaon, tanah pasoron—makam—lebih banyak lagi. Sekarang untuk tanam sawit, kayunyo dibalok,” kata Jelitai.

“Yang kami tahan, itu hak kami, tanah adat kami,” kata Atik, anak Jelatai.

Dia pernah minta SDM menunjukkan batas izin HGU, tetapi perusahaan menolak.

“Sampai sekarang kami tidak tahu, wilayah kami ini masuk SDM semuo, atau masih ada yang di luar izin. Jadi yang kami yang pegang itu perjanjian datuk kami dengan PT SDM, tahun 1991.”

Kasus penghadangan oleh kelompok Orang Rimba berbuntut panjang. SDM melaporkan kasus ke Polres Batanghari.

Pada Oktober 2023, Tumenggung Jelitai mendapat surat panggilan kedua dari polisi. Dalam surat disebutkan bahwa Polres Batanghari sedang melakukan penyidikan atas kasus dugaan tindak pidana yang menyuruh melakukan pendudukan lahan dan penggelapan atas barang tidak bergerak.

“Jadi,  kami diadunyo ke kepolisian, karena melarang batang durian, makam keluarga kami digusur. Dibuatnyo dalam surat panggilan ‘penggelapan barang tidak bergerak’,” kata Jelitai.

Total ada 12 orang mendapat surat panggilan polisi, Tumenggung Ngelembo, Tumenggung Mena, 9 orang Kelompok Tumenggung Jelitai serta jenang Untung—penghubung masyarakat luar dengan orang rimba.

 

Hutan Orang Rimba yang berkonflik baru dibuka oleh perusahaan sawit. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia

 

Surat panggilan itu membuat Kelompok Ngelembo ketakutan. Mereka pergi ke hutan dan sembunyi. Berhari-hari mereka tidak keluar hutan, takut ditangkap polisi.

Pada 22 Januari 2024, Mongabay menemui AIPDA Ramson, penyidik Unit I Pidana Umum Sat. Reskrim Polres Batanghari. Dia bilang, kasus SDM dengan Orang Rimba masih tahap penyelidikan.

“Karena beberapa saksi yang dipanggil kepolisian belum hadir. Nanti akan kita panggil ulang,” kata Ramson.

Kepolisian menduga lahan yang diklaim Orang Rimba dikuasai pihak ketiga. Karena saat di lapangan, mereka menemukan bangunan dan alat berat.

Ramson bilang, belum bisa memastikan lahan di Maro Sebo Ulu yang bersengketa itu merupakan wilayah izin SDM, karena perusahaan belum menunjukkan peta izin konsesinya.

Agusrizal, Kepala Dinas Perkebunan Jambi menduga, SDM sengaja tidak mengurus kebun sawit karena mengetahui ada kandungan batubara di dalamnya.

“Mungkin mereka sengaja tanam sawit sambil nunggu batubara siap produksi, yang penting izin HGU tidak dicabut atau dipindahkan ke investor lain,” katanya.

“Harusnya Pemerintah Batanghari bertindak tegas, karena itu kewenangan mereka.”

Bupati Batanghari, Fadhil Arief mengatakan,  ada aturan yang membolehkan IUP di dalam izin perkebunan. “ Selama ada izin dari pemegang HGU, itu boleh. Tinggal bagimana mereka menegosiasikan pada pemilik lahan.”

Meski demikian, dia mengakui beberapa tumenggung telah mengajukan bahwa lahan sengketa dengan SDM merupakan hak Orang Rimba.

“Yang jadi masalah SDM ini HGU-nya sudah lama, sudah diberikan negara pada investor yang masuk di Batanghari. Mediasi terus dilakukan oleh tim terpadu Batanghari hingga tidak bisa saling klaim. Mudah-mudahan mediasi bisa berhasil,” katanya.

Saya dua kali mendatangi Kantor SDM di Jl. Orang Kayo Hitam No.18, Sulanjana, Kecamatan Jambi Timur, Kota Jambi pada 28 Desember 2023 dan 15 Februari 2024, untuk bertemu Lukman, Direktur SDM, tetapi tidak pernah ketemu. Dua kali saya meninggalkan nomor telepon agar bisa dihubungi, tetapi tidak ada pesan dari SDM hingga berita ini terbit.

 

Seorang anak rimba melihat kebun dan tanah makam keluarganya yang kini jadi tambang batubara. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia

 

Malapetaka

Zahara, istri Tumenggung Minang terbaring di bawah terpal berselimut kain. Sudah beberapa hari didera demam dan tak kunjung sembuh.

Minang tak tahu lagi bagaimana harus mengobati demam istrinya, meski Orang Rimba dikenal sebagai peramu ulung. Hutan yang dulu menjadi sumber obat telah berubah jadi sawit SDM, sekarang jadi tambang batubara.

Sejak makam dan tanah pranaon tergusur untuk batubara, katanya, banyak bala (malapetaka) menimpa Orang Rimba. Kasus kematian anak dan perempuan makin banyak.

“Banyak bala Orang Rimbo itu gara-gara banyak kuburan digusur. Mulai nenek puyang kito, kuburan itu tidak boleh disungkur. Makoyo bala yang datang. Kalau idak anaknyo, emaknyo atau keluarganyo pasti meninggal.”

Seharusnya, setiap satu makam tergusur diganti dengan 1.000 lembar kain. Begitu juga dengan tanah pranaon.

Meski demikian, kata Minang, keluarga dengan tanah makam tergusur, akan tetap kena balak. Orang Rimba percaya, setiap adat dilanggar pasti ada konsekuensi.

“Walaupun diganti rugi bala itu akan datang terus, kalau nggak anaknya pasti emaknyo meninggal. Makanyo Orang Rimbo ngelarang perusahaan masuk kareno merusak. Tetapi pemerintah kasih izin terus.”

 

Etnosida

Robert Aritonang,  Manajer Program KKI Warsi yang mendampingi Orang Rimba sejak 2007 mengatakan, inti masalah Orang Rimba adalah hak sumber daya. Orang Rimba yang tinggal lebih dulu sebelum ada perusahaan hingga area itu bagian dari wilayah adat mereka.

“Orang adat yang turun-temurun hidupnya di situ tersingkirkan. Ini masalah hak, jadi mereka akan terus mempersoalkan itu.”

Robert bilang, kalau prinsip penggunaan ruang wilayah Orang Rimba berbeda dengan masyarakat luar. Orang Rimba yang punya budaya berburu dan meramu perlu satu ruang kehidupan dengan sumber daya di kawasan itu tersedia oleh alam.

“Kalau sudah digusur tambang batubara, sawit, mereka pasti merasa kehilangan dari apa yang mereka miliki sebagai hak. Secara prinsip HAM, mereka jauh lebih berhak atas sumber daya itu, meski perusahaan dapat izin dari pemerintah.”

 

Aktivitas mengambil batubara di lahan yang masuk konsesi perusahaan sawit di Batanghari/ Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia

 

Bagi Orang Rimba tanah adat begitu kompleks, karena di dalam terdapat makam, tanah pranaon, sialang, sentubung, tempat yang sakral. Mereka melakukan interaksi dengan dewa-dewa.

“Harta adat mereka itu tidak sensitif dimengerti orang luar, hingga orang luar itu semena-mena. Itu yang sulit dipahami,” kata Robert.

“Coba makam orang di luar ini diokupasi, itu nyawa taruhannya. Karena ini sensitif.”

Menurut dia, masalah yang akan dihadapi Orang Rimba akan makin meningkat karena kehilangan sumber daya. Mereka hidup di luar hutan lebih rentan jadi korban pelanggaran HAM.

“Kita sudah sering lihat sekarang, bagaimana Orang Rimba bunuh-bunuhan, tembak-tembakan. Itu ke depan akan makin sering karena belum ada solusi.”

Robert yang juga antropolog ini menilai, yang terjadi pada Orang Rimba saat ini merupakan etnosida.

“Meski tidak dibunuh orangnya, tetapi budaya dihancurkan. Karena jati diri kesukuan Orang Rimba itu adalah hutan atau rimba.”

Adat Orang Rimba yang disakralkan, satu per satu terbabat orang luar. Dampaknya mereka kehilangan pondasi kehidupan.  “Itu sangat krusial dan menyedihkan.”

Kini, hidup Orang Rimba makin terhimpit. Ngelembo bingung, ke mana dia dan  kelompoknya harus bertahan hidup. Hutan tersisa telah terbabat untuk perkebunan sawit, sementara kebun telah hancur oleh tambang batubara.

 

“Jadi,  kami sekarang ini sudah mati langkah. Sepertinyo pemerintah nyuruh kami mati.”

 

Sungai Pawal yang menjadi batas alam antara wilayah PT SDM dan wilayah orang rimba sesuai perjanjian yang ditandatangani pada 1991. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia

****** 

 

*Liputan ini terselenggara berkat dukungan dari Earth Journalism Network

 

 

 

Hutan Hilang, Orang Rimba Hadapi Masalah Kesehatan

Exit mobile version