Mongabay.co.id

Jenis Kucing Liar Ini Jago Memanjat dan Mencari Mangsa di Pohon

Kucing batu merupakan jenis kucing liar yang masih ditemukan di Hutan Leuser. Foto: SINTAS

 

 

Indonesia tercatat memiliki sembilan jenis kucing liar yang dilindungi. Salah satunya adalah kucing batu atau nama ilmiahnya Pardofelis marmorata. Secara global, kucing batu memiliki nama Marbled Cat atau kucing marmer. Hal ini merujuk pada pola bulu di tubuhnya yang unik dan menyatu menyerupai marmer.

Penampilan fisik kucing batu sering dibandingkan dengan kerabatnya, macan dahan [Neofelis diardi].

Uniknya, kucing batu memiliki ekor yang lebat dan panjang berkisar 47-60 cm. Bahkan, terkadang ekornya ini lebih panjang dari ukuran tubuhnya sendiri. Andrew J Hearn, dkk, dalam penelitiannya menyebut bahwa ekor panjang tersebut berfungsi sebagai penyeimbang, yang berguna saat memanjat dan kemungkinan merupakan adaptasi untuk gaya hidup arboreal.

Arboreal bermakna bahwa kucing batu adalah hewan yang banyak menghabiskan waktunya di pohon. Itu artinya, kucing batu diperkirakan memangsa burung sebagai makanan utamannya, serta mamalia kecil arboreal seperti tupai, kelelawar buah, hingga primata kecil.

“Namun demikian, meskipun adaptasi arboreal mereka jelas, literatur ilmiah termasuk rekaman kamera jebak menunjukan bahwa kucing batu juga berjalan di tanah. Jadi, tidak terbatas pada pepohonan saja,” tulis Hearn.

Baca: Kucing Batu, Jenis Kucing Liar yang Mirip Macan Dahan

 

Kucing batu merupakan jenis kucing liar yang jago manjat dan memburu mangsa di pohon. Foto: SINTAS

 

Kucing batu dicirikan sebagai kucing yang aktif dengan kemampuan memanjat dan melompat yang baik. Zach Laubach, dkk, dalam publikasinya di animal diversity, menjelaskan bahwa kucing batu memiliki kaki depan bercakar selaput dan fleksibel dengan bantalan tumit dua kali lebih besar dari panjangnya. Selain itu, cakarnya memiliki pelindung ganda yang dapat ditarik sehingga cocok untuk memanjat.

“Selain mangsa di pepohonan, kucing batu juga mempunya mangsa lainnya seperti kadal, katak, dan serangga. Di Kalimantan, ada kemungkinan kucing ini lebih banyak berada di darat dan mencari makan di tanah,” terang Laubach.

Namun, kurangnya data telemetri atau data lapangan membuat peneliti sulit untuk menarik kesimpulan tentang pola aktivitas kucing batu. Sebelumnya, kucing ini diperkirakan aktif di malam hari, namun ada bukti-bukti melalui pengamatan terbatas yang tidak menunjukkan adanya perbedaan pola aktivitas. Kucing batu telah diamati antara pukul 08.00 dan 10.00 malam di sebuah cagar alam di Kalimantan dan ada yang teramati pada siang hari di sebuah jalan setapak di Thailand.

Kucing batu sendiri merupakan hewan soliter yang cenderung menghindar manusia. Namun, ia memiliki peran dalam ekosistem, yakni sebagai predator penting bagi burung dan mamalia kecil.

“Kucing ini sensitif terhadap gangguan manusia dan dengan mudah meninggalkan wilayah yang ada manusia. Mereka bergantung pada habitat hutan yang masih utuh, sehingga rentan terhadap kerusakan habitat akibat penebangan, pertanian, atau pembangunan,” jelasnya.

Baca juga: Studi: Rusaknya Hutan Berdampak Buruk pada Kehidupan Kucing Batu

 

Kucing batu yang terpantau tengah memburu mangsa di atas pohon di hutan Kalimantan. Foto: Wikimedia Commons/Johan Embréus/CC BY 3.0

 

Status konservasi

Dikutip dari Cat Spesialist Group, kucing batu pertama kali terdokumentasi di alam liar pada 1994 di Suaka Margasatwa Huai Kha Khaeng, Thailand, ketika penggunaan kamera jebak di lapangan semakin marak. Untuk status konservasinya, diklasifikasikan Hampir Terancam [Near Threatened] dalam Daftar Merah IUCN.

Namun, status dan distribusi kucing batu masih belum banyak dipelajari dan tren populasinya belum diketahui. Di Nepal, kucing batu dianggap kekurangan data dan di China disebut kritis.

Ada beberapa indikasi bahwa spesies ini mungkin relatif langka jika dibandingkan dengan kucing-kucing hutan lainnya. Penelitian di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS], Sumatera, menemukan bahwa tingkat pemotretan kucing batu ternyata lebih rendah dibandingkan dengan macan dahan, kucing emas asia [Catopuma temminckii], dan harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae].

Untuk sebarannya, kucing batu bisa ditemukan mulai dari kaki pegunungan Himalaya di Nepal ke arah timur hingga China barat daya, ke selatan di seluruh daratan Asia Tenggara, serta di Pulau Sumatera dan Kalimantan.

Kucing batu diatur juga dalam Apendiks 1 CITES, yang berarti dilarang dalam segala bentuk perdagangan secara internasional, sementara di Indonesia dilindungi secara penuh berdasarkan Peraturan Menteri LHK No. P 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi.

Sebuah studi menunjukkan bahwa kucing batu, sangat terpengaruh oleh konversi hutan menjadi perkebunan sawit. Untuk itu, para peneliti merekomendasikan agar meningkatkan status konservasi spesies ini dari status Hampir Terancam menjadi Rentan [Vulnerable/Vu].

Studi yang diterbitkan dalam jurnal Ecosphere ini juga menunjukkan bahwa kucing batu dapat menyesuaikan perilakunya sebagai respons terhadap aktivitas manusia. Temuan ini membuat para ilmuwan menyimpulkan bahwa kehidupan kucing batu kemungkinan lebih berisiko dari yang diperkirakan sebelumnya.

 

Kucing Batu, Jenis Kucing Liar yang Mirip Macan Dahan

 

Exit mobile version