- Hutan Kawasan Ekosistem Leuser [KEL] merupakan hutan tropis seluas 2,6 juta hektare yang membentang di Provinsi Aceh [2,2 juta hektar] dan di Sumatera Utara [400 hektare].
- Selain sebagai habitatnya badak sumatera, gajah sumatera, orangutan sumatera, dan harimau sumatera, KEL merupakan rumah besarnya kucing liar.
- Jenis kucing liar tersebut adalah kucing emas asia [Pardofelis temminckii, syn. Catopuma temminckii], macan dahan [Neofelis diardi], kucing batu atau Marbled Cat [Pardofelis marmorata], dan kucing hutan [Prionailurus bengalensis].
- Data WALHI Aceh menunjukkan, dari 2015 hingga 2022, laju deforestasi hutan Aceh rata-rata 14.527 hektar per tahun. Kondisi ini tentu saja berdampak pada terganggunya habitat kucing liar dan satwa lainnya.
Hutan Kawasan Ekosistem Leuser [KEL] merupakan hutan tropis seluas 2,6 juta hektare yang membentang di Provinsi Aceh [2,2 juta hektar] dan di Sumatera Utara [400 hektare]. Di Aceh, KEL berada di 13 kabupaten/kota.
Selain sebagai habitatnya badak sumatera, gajah sumatera, orangutan sumatera, dan harimau sumatera, KEL merupakan rumah besarnya kucing liar.
Forum Konservasi Leuser [FKL] bersama Save the Indonesian Nature and Threatened Species [Sintas] Indonesia dan beberapa Kesatuan Pengelolaan Hutan [KPH] Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Aceh, sejak Juli 2021 hingga Juli 2023, telah melakukan survei kucing liar yang sejauh ini informasinya sangat terbatas di KEL.
Dalam workshop “Konservasi Kucing Liar di Kawasan Ekosistem Leuser” di Banda Aceh, Kamis [29/2/2024] diketahui, selain harimau sumatera, hutan yang menopang lebih lima juta penduduk di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara, itu juga merupakan habitatnya kucing liar.
“Ada kucing emas asia [Pardofelis temminckii, syn. Catopuma temminckii], macan dahan [Neofelis diardi], kucing batu atau Marbled Cat [Pardofelis marmorata], dan kucing hutan [Prionailurus bengalensis],” terang Ridha Abdullah, Koordinator survei kucing liar di Leuser bagian barat.
Baca: Kucing Liar, Jenis yang Sulit Ditemukan di Hutan Leuser
Ridha mengatakan, survei dilaksanakan di kawasan hutan seluas 418 ribu hektar, yang berada di luar kawasan hutan konservasi, baik itu Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL] maupun Suaka Margasatwa Rawa Singkil.
“Hanya dilakukan di hutan lindung dan hutan produksi yang pengelolaannya dibawah Kesatuan Pengelolaan Hutan [KPH] Aceh.”
Survei untuk memastikan apakah keberadaan kucing liar baik-baik saja di kawasan hutan yang telah mengalami deforestasi dan didominasi aktivitas manusia.
“Populasi kucing liar di KEL sejauh ini belum diketahui pasti, sehingga bisa dilakukan identifikasi sekaligus mitigasi terhadap ancaman yang ada.”
Ridha menambahkan, survei dilakukan dengan memasang kamera jebak di beberapa lokasi dengan jangka waktu tertentu. Tim juga berhasil merekam 24 jenis satwa dilindungi, 10 satwa berstatus Appendix satu [CITES], serta empat jenis satwa berstatus Kritis/Critically Endangered dan lima jenis berstatus Genting/Endangered di IUCN.
“Kami berharap akan ada pemantauan berkala untuk memperkuat data keanekaragaman hayati, terutama harimau sumatera dan jenis-jenis kucing liar di luar kawasan konservasi. Ini penting sebagai bahan penyusunan kebijakan pengelolaan KEL,” ujarnya.
Baca: Rawa Tripa, Hutan Gambut Habitatnya Kucing Liar
Habitat kucing liar
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan [KPH] Wilayah VI Subulussalam, Irwandi dalam acara tersebut mengatakan, tidak mudah menjaga habitat satwa liar termasuk kucing hutan.
“Banyak tantangan yang dihadapi seperti memastikan habitat satwa liar tidak rusak, tidak ada aktivitas ilegal di hutan, serta tidak ada konflik satwa dengan masyarakat sekitar.”
Kawasan hutan wilayah KPH VI DLHK Aceh, merupakan habitat sejumlah satwa kunci dan satwa dilindungi. Untuk menjaga habitatnya, banyak pihak harus dilibatkan.
“Selain itu, penegakan hukum terhadap pemburu satwa dan pengrusakan hutan harus tegas,” jelasnya.
Hal yang sama disampaikan Kepala Seksi 1 Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh, Kamaruzzaman. Menurutnya, upaya konservasi satwa dilindungi dan keanekaragaman hayati banyak menghadapi tantangan.
“Perambahan kawasan hutan, illegal logging, kebakaran, dan perburuan satwa adalah hal utama yang kami hadapi.”
Konflik tenurial dengan masyarakat, seperti pembukaan lahan di Suaka Margasatwa Rawa Singkil untuk areal perkebunan, masih terjadi hingga saat ini.
“Beberapa upaya yang kami lakukan adalah patroli rutin bersama lembaga mitra dan masyarakat. Juga, pemberdayaan masyarakat khususnya pelatihan peningkatan perekonomian serta kegiatan pemulihan ekosistem,” jelasnya.
Deforestasi
Terpisah, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [WALHI] Aceh menilai deforestasi di provinsi paling barat Indonesia ini masih terjadi. Akibatnya, habitat satwa berkurang dan kehidupannya makin terjepit.
“Perhitungan yang kami lakukan, dari 2015 hingga 2022, laju deforestasi hutan Aceh rata-rata 14.527 hektar per tahun,” terang Direktur Walhi Aceh, Ahmad Shalihin, Rabu [6/3/2024].
Shalihin menambahkan, sejauh ini kemampuan pemerintah di Aceh untuk memperbaiki ekosistem yang rusak, rata-rata 785 hektar per tahun. Dengan angka itu, butuh waktu lebih seratus tahun untuk menghijaukan kembali hutan yang ada.
Jika terus terjadi, ancaman kepunahan satwa liar sungguh nyata, dikarenakan habitatnya hilang dan berkonflik dengan manusia.
“Hutan harus dijaga dan direstorasi dengan serius,” paparnya.