Mongabay.co.id

Koalisi Protes, Kebijakan Pemerintah Lemahkan Transisi ke Energi Terbarukan

 

 

 

 

 

Koalisi Masyarakat Sipil dari Gerakan Energi Terbarukan (Ganbate) menolak kebijakan pemerintah terkait transisi energi yang dinilai disinsentif terhadap peralihan ke energi terbarukan dan bertolak belakang dengan komitmen global untuk transisi energi.

Kebijakan  itu antara lain, Peraturan Menteri (Permen) ESDM tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap, Peraturan Presiden (Perpres) soal Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, serta Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Yves Rumajar, Wakil ketua umum Perkumpulan Pemasang PLTS Atap Seluruh Indonesia (Perplatasi), menilai, dalam permen itu mengandung banyak gagasan yang tak mendukung pengembangan PLTS Atap.

Tiga poin disoroti Perplatasi dalam kebijakan itu, yakni, pertama,  soal penghapusan sistem ekspor listrik ke jaringan PLN hingga tidak ada balas jalan atas kelebihan listrik yang dihasilkan.  Langkah itu dia anggap mengurangi insentif bagi masyarakat untuk berinvestasi dengan memasang PLTS Atap.

Padahal, katanya, salah satu substansi sangat berpihak pada pengembangan pemanfaatan energi surya adalah soal perhitungan nilai ekspor 100% sebagai insentif bagi pengguna PLTS Atap.

Kedua, soal pemberlakuan kuota pengembangan oleh PLN. Menurut dia, peraturan itu dapat menghambat partisipasi swasta dalam pengembangan PLTS atap, terutama dengan muncul unit bisnis baru PLN, yaitu PLN iCon+, yang turut dalam menggarap pasar PLTS atap.

Ketiga, permohonan jadi pelanggan PLTS hanya dua kali dalam satu tahun, yaitu, periode Januari dan Juli. “Ini tentu berpotensi menurunkan minat pemasang,” ucap Yves.

Permen ESDM 2/2024 tentang PLTS atap yang terhubung pada jaringan tenaga listrik pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum (IU-PLTU) menggantikan Permen ESDM Nomor 26/2021.

Yves mengatakan,  permen baru itu tidak mencerminkan keadilan dan kesetaraan baik bagi masyarakat maupun pelaku usaha swasta yang ingin berkontribusi dalam memajukan energi terbarukan di Indonesia., Perplatasi pun mendesak pemerintah kembali berlakukan aturan sebelumnya.

“Permen 2021 lebih mendukung pengembangan PLTS Atap dan memungkinkan partisipasi lebih luas dari semua pihak dalam transisi energi Indonesia ke arah lebih berkelanjutan,” katanya dalam diskusi Ganbate di Jakarta Pusat, belum lama ini.

Senada disampaikan Yohanes B Sumaryo, Ketua Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA). Dia heran dengan pergantian kebijakan ini karena jelas Permen ESDM 2021 terbit untuk percepatan pemanfaatan energi surya di masyarakat menggantikan aturan 2018.

 

Energi surya atap yang dikembangkan masyarakat. Minat masyarakat tinggi terhadap surya atap, Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, nilai ekspor kWh 100% pada Permen ESDM 2021 sebagai insentif bagi pengguna PLTS atap.  Harapannya, masyarakat lebih berminat dan antusias memasang PLTS atap.

“Sementara peraturan 2024 justru menghapus kWh ekspor sebagai pengurang tagihan listrik pelanggan alias faktor koefisien jadi nol,” katanya.

Ada beberapa poin yang membuat PPLS tegas menolak permen baru ini. Antara lain, soal penghapusan sistem ekspor listrik ke jaringan atau lebih dikenal dengan netmetering dengan pemasangan kWh meter exim. Hal itu, katanya, akan membunuh minat masyarakat berinvestasi ke PLTS Atap karena tidak ada faktor pengurang nilai kWh ekspor.

Kemudian soal kuota pengembangan dan pembatasan waktu proses persetujuan PLTS atap dapat menghambat partisipasi masyarakat dalam pengembangan. Aturan baru itu, katanya,  tak ada kepastian hukum atas minat masyarakat dalam pemasangan PLTS atap.

Yohanes menilai, Permen 2024 tidak membawa keadilan dan kesetaraan baik bagi masyarakat pengguna maupun bagi pelaku usaha pemasangan yang ingin berkontribusi dalam memajukan energi terbarukan di Indonesia.

Mereka pun sama dengan Perplatasi, mendesak pemerintah membatalkan Permen 2024 dan memberlakukan kembali aturan tahun 2021.

Reka Maharwati, Koordinator Enter Nusantara,  mengatakan,  masyarakat cukup antusias dengan pemasangan PLTS atap di rural dan urban tetapi jadi tak yakin setelah ada aturan baru ini.

Contohnya, pemasangan PLTS atap menjadi upaya masyarakat Desa Sembalun, Nusa Tenggara Barat dan komunitas Masjid Al-Muharram Taman Tirto Yogyakarta, untuk mencapai mimpi mandiri energi.

“Saya yakin banyak masyarakat lain ingin memasang PLTS atap di rumahnya bahkan diberdayakan untuk kolektif di masyarakat. Seharusnya pemerintah bisa menggandeng antusias ini untuk berkolaborasi dan menciptakan skema baru lebih bisa menguntungkan masyarakat,” ucap Reka.

Jeri Asmoro, Digital Campaigner 350.org Indonesia, menyatakan,  Permen 2024 memuat dua perubahan yang bisa menurunkan minat masyarakat memasang PLTS atap. Terlebih, di sektor rumah tangga dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

“Pengembangan PLTS atap akan mengikuti sistem kuota yang ditetapkan PLN dengan periode pendaftaran dua kali dalam setahun,” katanya.

Persoalannya, ekspor listrik ke jaringan PLN merupakan daya tarik PLTS atap. Tanpa ketentuan ini, masyarakat perlu mengeluarkan biaya lebih besar untuk memasang baterai. Tak hanya itu, jangka waktu pengembalian modal PLTS atap juga lebih panjang menjadi 9-10 tahun.

“Padahal, dengan ketentuan ekspor kelebihan listrik 100% seperti pada beleid yang kini berlaku, biaya pemasangan PLTS atap bisa kembali dalam empat hingga lima tahun,” katanya.

Permen ini, katanya, akan mempersulit masyarakat menggunakan PLTS atap. Aturan baru PLTS atap ini menunjukkan kebijakan pemerintah yang makin jauh dari komitmen transisi energi.

Hadi Priyanto,  Juru Kampanye Energi Terbarukan Greenpeace Indonesia, mengatakan, transisi energi berkeadilan hanya bisa terealisasi bila masyarakat terlibat. Namun, itu tak pemerintah lakukan hingga membuat atusan secara otoriter.

“Prinsip keadilan dan demokratisasi energi yang selama ini digaungkan dalam program JETP hanya akan jadi omon-omon tanpa langkah nyata melepaskan diri dari ketergantungan energi fosil.”

Jisman P Hutajulu,  Pelaksana tugas Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), mengklaim, penerbitan Permen 2024 merupakan respon atas dinamika yang berkembang dan upaya percepatan peningkatan implementasi PLTS atap. Sebab, katanya, implementasi regulasi PLTS atap belum optimal.

“Dengan target 1 gigawatt PLTS atap yang terhubung jaringan PLN dan 0,5 GW dari non-PLN setiap tahun. Dengan asumsi kapasitas satu modul surya 450 wattpeak (Wp), iperlu produksi sekitar 3,3 juta panel surya,” katanya Jisman dalam  rilis kepada media awal Maret.

 

Aksi protes terhadap energi kotor batubara, salah satu PLTU Batang. PLTU tampaknya akan terus jadi ‘andalan’  dengan revisi aturan KEN.. Foto: Indra Nugraha

 

Pertanyakan RPP KEN dan carbon storage capture

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi pada Institute for Essential Services Reform (IESR), menyoroti soal RPP KEN.  Dalam rancangan baru itu antara lain,  soal penurunan target bauran energi terbarukan pada 2025 turun dari 23% jadi 17-19%. Target energi terbarukan pada 2050 naik dari 30% jadi 58-61% dan 70-72% pada 2060.

Deon bilang, rancangan ini  membuat Indonesia mencapai puncak emisi pada 2035. Capaian ini 7-10 tahun lebih lambat dari kebutuhan membatasi kenaikan temperatur rata-rata global di bawah 1,5 derajat Celcius sesuai laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).

“Jadi, RPP KEN mengancam capaian Persetujuan Paris dan komitmen netral karbon pada 2060 atau lebih cepat yang sudah ditarget pemerintah,” katanya.

Draf RPP KEN  juga sudah berdampak pada perspektif berbagai aktor, antara lain investor dan pengembang energi terbarukan, terkait keseriusan pemerintah mendorong pengembangan energi terbarukan.

“Ini juga menandai penurunan target bauran energi primer pada 2025 dan 2030, terutama porsi energi terbarukan seperti surya dan angin, dapat menghambat gotong royong transisi energi.”

Menurut dia, lewat energi terbarukan bisa memungkinkan demokratisasi energi seperti energi surya tetapi porsi kecil. Saat ini, porsi lebih besar justru dari proyek skala besar seperti pembangkit fosil dengan teknologi penyimpanan karbon (carbon capture storage/CCS) ataupun nuklir.

“Jadi draf RPP KEN kurang memihak transisi energi bersama masyarakat,” kata Deon.

RPP KEN juga bertentangan dengan komitmen Kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia yang menargetkan bauran energi terbarukan lebih 44% pada 2030. Dia khawatir, perubahan KEN akan berimbas pada revisi komitmen JETP.

“Selain itu, sebagai payung besar perencanaan energi nasional, draf RPP KEN juga berpotensi melemahkan upaya-upaya transisi ke energi terbarukan yang dijalankan di daerah.”

Deon bilang, Konferensi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) soal perubahan iklim di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA) Desember 2023 menyepakati tiga komitmen transisi energi antara lain dari bahan bakar fosil, menargetkan pemanfaatan energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada 2030 dan efisiensi energi.

“Dalam konferensi PBB soal perubahan iklim hampir semua negara menyepakati keluar dari bahan bakar batubara, tidak lagi menggunakan fosil,” katanya.

Secara global, katanya,  target tiga kali lipat transisi energi bisa tercapai bahkan melebihi target.

Pada 2022, penggunaan energi terbarukan mencapai kapasitas 3.382 gigawatt, pada 2030 diprediksi bisa tembus 11.174 gigawatt.

“Sebenarnya ini bukan hanya target, ini untuk mempengaruhi tren perkembangan ke depan. Termasuk finansial, industri dan perkembangan investasi,” katanya.

Kondisi global bertolak belakang dengan komitmen Pemerintah Indonesia terlihat dari kebijakannya. Indonesia, katanya,  juga masih dominan pakai PLTU batubara.

“Perkembangan ke depan seharusnya meningkatkan ambisi lagi, ini justru makin merosot.”

Dalam kajian IESR, kata Deon,  ada empat dimensi percepatan transisi energi, yakni, sosial, teknologi ekonomi, investasi/finansial, dan political will (regulasi). Hasil kajian,  kurun waktu 2020-2023, political will, regulasi dan investasi atau finansial untuk transisi Energi sangat buruk.

Political will merah. Dimensi political will sangat penting karena mempengaruhi dimensi lain,” ucap Deon.

Jeri pun kritik draf RPP KEN yang berisikan penurunan target bauran energi terbarukan dari 23% jadi 17-19% pada 2025. Dia nilai, itu jelas menghambat percepatan transisi energi.

Dalam dokumen Dewan Energi Nasional (DEN) soal draf RPP KEN, bauran energi terbarukan sampai 2030 target sebesar 19-21% dan hanya akan meningkat pada 2040 menjadi 38-41%.

Agung Budiono, Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah menilai,  kebijakan pemerintah itu justru dapat mengunci Indonesia pada ketergantungan energi fosil, yang berujung pada kegagalan mencapai netral karbon.

Dalam revisi KEN, misal, hingga 2060, pemerintah masih berencana mengoperasikan pembangkit listrik berbasis energi fosil dan ‘menghijaukan’ dengan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS).

Selain itu, katanya, pemerintah juga berencana mengoperasikan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) pada 2032 dan pemanfaatan bahan bakar gas untuk transportasi dan rumah tangga hingga 2060.

Djoko Siswanto, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) menuturkan,  RPP KEN merupakan arah kebijakan energi jangka panjang untuk kepentingan bangsa dan negara dalam pengelolaan energi. Aturan ini, klaimnya,  akan mengakomodir semua pihak, masyarakat dan pelaku industri.

RPP KEN disusun agar pembangunan energi dapat terlaksana dengan baik, terpadu dengan sektor lain yang mempertimbangkan perubahan lingkungan strategis. Peraturan ini, katanya, menyesuaikan perubahan lingkungan strategis yang selaras dengan komitmen perubahan iklim dan mengakomodasi transisi energi menuju nol emisi pada 2060.

“Tujuan utama KEN untuk menciptakan keamanan pasokan energi nasional secara berkelanjutan dan pemanfaatan energi secara efisien.”

 

Protes pembangunan PLTN di Kalbar. Dalam RPP KEN, PLTN malah ‘naik drajat’ bukan jadi opsi terakhir tetapi sama dengan energi baru yang lain. Foto: Walhi Kalbar

 

Dalam RPP KEN, pemerintah menargetkan energi baru terbarukan (EBT) mencapai 70% pada 2060. “Dengan target 70% 2060, kalau pun meleset, kira-kira di atas 50%. Hingga net zero emission bisa tercapai 2060,” kata Djoko.

Dia sebutkan, dalam aturan KEN saat ini, nuklir merupakan pilihan terakhir. “Di dalam pembaruan aturan KEN ini setara dengan energi baru yang lain. Jadi, tidak ada lagi kata-kata menjadi pilihan yang terakhir,” ujar Djoko.

RPP KEN pun target rampung menjadi peraturan pemerintah pada Juni 2024. “Saat ini, sudah dalam harmonisasi oleh Kementerian Hukum dan HAM.”

Sejalan dengan utak atik aturan KEN, solusi palsu transisi energi Pemerintah Indonesia, kata Agung,  juga  terlihat dari penerbitan Peraturan Presiden Nomor 14/2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon.

Regulasi carbon capture storage (CCS) ini, katanya,  membuka kesempatan bagi perusahaan untuk menyuntikkan dan menyimpan emisi karbon ke reservoir bawah tanah.

Dalam laporan IEEFA menunjukkan, dari 13 proyek CCS dengan total 55% kapasitas dunia, tujuh proyek berkinerja buruk.

“Dua proyek gagal, dan satu proyek dihentikan operasinya. Penerapan teknologi CCS khawatir jadi upaya greenwashing yang melanggengkan pembangkit listrik berbasis energi fosil,” kata Agung.

Tutuka Ariadji, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas), KESDM, mengatakan,  penerbitan perpres CCS untuk mencapai target emisi nol bersih. Perpres ini, katanya,  jadi langkah maju signifikan dalam upaya Indonesia memerangi perubahan iklim.

Dia berdalih, penangkapan dan penyimpanan karbon, merupakan teknologi inovatif yang memungkinkan emisi karbon dioksida (CO2) terpisah dari sumbernya, diangkut, dan disimpan permanen di bawah tanah. Teknologi ini, katanya,  memiliki potensi besar mengurangi emisi CO2 dari berbagai sektor industri, seperti pembangkit listrik, industri berat, dan manufaktur.

“Perpres ini akan memberikan kepastian hukum bagi investor dan pelaku usaha yang ingin terlibat dalam kegiatan CCS,” kata Tutuka dalam keterangan kepada media Februari lalu.

Dia mengklaim, CCS juga dapat menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi di sektor terkait seperti teknologi, manufaktur, dan jasa.

Perpres ini juga mengatur dua jenis. Pertama, untuk kegiatan CCS yaitu Izin eksplorasi untuk survei dan investigasi potensi penyimpanan CO2 di bawah permukaan bumi. Kedua, izin operasi penyimpanan untuk kegiatan penyuntikan, penyimpanan, dan pemanfaatan CO2 di lokasi penyimpanan permanen.

Agung justru mempertanyakan komitmen Indonesia dalam percepatan transisi energi apabila menerapkan tiga regulasi itu.

“Kalau regulasinya justru terus menerus diarahkan untuk tetap memanfaatkan energi fosil, investor yang tertarik untuk berbisnis energi terbarukan akan mundur karena tidak mendapat kepastian hukum. Padahal,  masalah kita justru ada pada kepastian hukum,” katanya.

 

Pengembangan energi terbarukan, seperti energi angin, akan makin penuh liku dengan kebijakan-kebijakan baru pemerintah. Energi terbarukan dari turbin angin yang dibangun Tri Mumpuni di Pulau Sumba. Foto: dokumen Tri Mumpuni/ Mongabay Indonesia

******

Exit mobile version