- Aturan surya atap terbaru sudah keluar. Revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 26/2021 jadi Permen ESDM No 2/2024 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap dinilai akan makin menurunkan minat calon pelanggan dan mempersulit pencapaian target bauran energi terbarukan 23% pada 2025.
- Revisi aturan ini meniadakan skema ekspor yang memungkinkan pelanggan menjual listrik kepada PLN untuk mengurangi tagihan listrik. Ada sistem kuota juga akan menyulitkan pengembangan PLTS atap bagi pelanggan rumah tangga.
- Pelanggan rumah tangga atau bisnis kecil, cenderung menunda adopsi PLTS atap karena pemakaian besar pada malam hari. Tanpa net-metering investasi PLTS atap menjadi lebih mahal, terutama kalau pengguna harus mengeluarkan dana tambahan untuk penyimpanan energi berupa baterai.
- IESR menyayangkan, permen ini terlalu berpihak pada kepentingan PLN yang bisa berdampak pada partisipasi konsumen listrik terhambat dalam mendukung tujuan pemerintah mengakselerasi transisi energi di Indonesia.
Aturan surya atap terbaru sudah keluar. Revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 26/2021 jadi Permen ESDM No 2/2024 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap dinilai akan makin menurunkan minat calon pelanggan dan mempersulit pencapaian target bauran energi terbarukan 23% pada 2025.
Alasan utama karena revisi aturan ini meniadakan skema ekspor yang memungkinkan pelanggan menjual listrik kepada PLN untuk mengurangi tagihan listrik. Ada sistem kuota juga akan menyulitkan pengembangan PLTS atap bagi pelanggan rumah tangga.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan, penghapusan skema net-metering yang memungkinkan pelanggan mengekspor listrik ke jaringan PLN, akan menurunkan keekonomian PLTS atap. Terutama, di segmen rumah tangga karena biasa beban puncak terjadi malam hari.
Pelanggan rumah tangga atau bisnis kecil, katanya, cenderung menunda adopsi PLTS atap karena pemakaian besar pada malam hari. Tanpa net-metering investasi PLTS atap menjadi lebih mahal, terutama kalau pengguna harus mengeluarkan dana tambahan untuk penyimpanan energi berupa baterai.
“Net-metering sebenarnya insentif bagi pelanggan rumah tangga untuk menggunakan PLTS atap. Dengan tarif listrik PLN yang dikendalikan, net-metering membantu meningkatkan kelayakan ekonomi sistem PLTS atap yang dipasang pada kapasitas minimum,” kata Fabby.
Kapasitas minimum ini sebesar 2-3 kWp untuk konsumen kategori R1. Tanpa net-metering dan biaya baterai masih relatif mahal, kata Fabby, kapasitas minimum ini tidak dapat terpenuhi hingga biaya investasi per satuan kilowatt pun jadi lebih tinggi.
“Inilah yang akan menurunkan keekonomian sistem PLTS atap,” katanya.
Untuk PLTS atap, kapasitas lebih besar dari 3 megawatt, Permen ini mewajibkan pengguna menyediakan pengaturan basis data prakiraan cuaca yang terintegrasi dengan sistem supervisory control and data acquisition (Scada) atau smart grid distribusi.
Peraturan ini, katanya, juga menghilangkan kewajiban membayar biaya paralel pembangkitan listrik, yaitu, biaya kapasitas dan layanan darurat yang sebelumnya diterapkan ke industri, setara lima jam per bulan.
Menurut Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR, penghapusan biaya paralel ini menambah daya tarik bagi pelanggan industri, namun kewajiban penyediaan prakiraan cuaca akan menambah komponen biaya pemasangan.
Citra juga menyoroti pengaturan termin pengajuan permohonan oleh calon pelanggan jadi dua kali per tahun, yakni, tiap Januari dan Juli.
Pengaturan dan penetapan kuota per sistem jaringan, katanya, memunculkan pertanyaan soal transparansi penetapan dan persetujuan kuota. Terutama, untuk pelanggan industri yang ingin memasang PLTS atap dalam skala besar.
“Sementara mekanisme untuk menambah kuota ketika sistem sudah habis, tidak diatur jelas dalam peraturan ini,” katanya.
Sisi lain, permen ini memberikan jaminan bagi para pelanggan yang sudah memasang PLTS atap sebelumnya tetap bisa mengekspor listrik selama 10 tahun sesuai peraturan sebelumnya.
“Aturan peralihan ini perlu diinformasikan jelas pada pengguna PLTS atap saat ini,” ujar Citra.
IESR menyayangkan, permen ini terlalu berpihak pada kepentingan PLN yang bisa berdampak pada partisipasi konsumen listrik terhambat dalam mendukung tujuan pemerintah mengakselerasi transisi energi di Indonesia.
Aturan ini, katanya, juga hambat upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) yang berbiaya rendah dan tak membebani negara karena investasi energi terbarukan oleh konsumen listrik tanpa perlu subsidi negara.
Fabby berharap, aturan baru ini dapat terimplementasi dengan memperhatikan manfaat negara kalau PLTS atap dibiarkan tumbuh pesat. “Yaitu, peningkatan investasi energi terbarukan, tumbuh industri PLTS, penciptaan lapangan kerja, dan penurunan emisi GRK.”
IESR mendesak, evaluasi setelah satu tahun pelaksanaan permen guna mengetahui efektivitas dalam mendorong pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia.
Pemerintah, katanya, juga perlu terbuka untuk revisi pada 2025 seiring penurunan ancaman overcapacity listrik PLN di Jawa-Bali.
Kebalikan semangat global
Grita Anindarini, Deputi Direktur Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) menilai, penetapan kuota bisa menutup akses masyarakat mengembangkan PLTS atap secara luas dan sukarela. Kalau tak dapat kuota, katanya, juga membatasi hak masyarakat atas penggunaan energi terbarukan.
ICEL menilai, revisi ini makin menambah daftar kebijakan yang tak mendukung pengembangan energi terbarukan, setidaknya dalam satu tahun terakhir.
“Revisi Permen ESDM PLTS atap ini tidak membawa angin segar bagi percepatan pengembangan energi terbarukan di Indonesia, “ katanya.
Permen ini, tidak sejalan dengan urgensi dan semangat global untuk transisi ke energi terbarukan.
Intergovernmental panel on climate change (IPCC) garisbawahi penting memangkas emisi GRK sampai 50% pada 2030 mengingat sektor energi merupakan penghasil emisi terbesar Indonesia menurut KLHK pada 2022.
Merujuk Global Stockstate dan negara global di COP 28 juga sudah mendorong peningkatan bauran energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada 2030. Pada level nasional, peraturan ini bertentangan dengan komitmen iklim Indonesia dalam enhanced nationally determined contributions (NDC) yang menargetkan 15 gigawatt energi surya atau 41% dari target pengembangan energi terbarukan, salah satu dengan pemanfaatan PLTS atap.
Selain itu, katanya, Permen ESDM ini khawatir jadi batu sandungan bagi inisiatif daerah-daerah yang sudah menetapkan regulasi untuk mengembangkan PLTS atap, seperti Bali, Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Ninda katakan, pengembangan PLTS atap perlu jadi satu bentuk desentralisasi dan kemandirian energi. “Ini kunci percepatan transisi energi dan pemenuhan akses energi bersih.”
Meskipun rasio elektrifikasi sampai 99,78% KESDM mencatat hingga akhir Desember ada 185.662 rumah tangga belum teraliri listrik dan sulit mengandalkan jaringan utama.
“Harusnya ini dapat diatasi salah satunya dengan memasifkan pengembangan PLTS atap,” kata Ninda.
Melalui revisi permen ini, katanya, pemerintah justru melewatkan peluang besar mempercepat transisi energi serta mendorong keadilan akses atas energi bersih bagi masyarakat.
“Revisi aturan ini justri membuka pertanyaan, kemana arah transisi energi Indonesia?”
Data Balitbang KESDM 2021 memproyeksikan, potensi energi surya mencapai 3.286 gigawatt. “Dengan besarnya potensi ini pengembangan PLTS atap mestinya dapat jadi tulang punggung Indonesia mencapai target net zero emission,” kata Ninda.
Sebelumnya, Kusdiana, Sekretaris Jenderal KESDM Dadan mengatakan, insentif ekspor listrik kini diberikan dengan bebas biaya charge.
“Kan ada biaya sandar dan sebagainya. Nah, di dalam itu tidak ada, itu sebagai insentif,” katanya akhir Februari.
Dadan mengatakan, penerapan sistem kuota karena PLN harus menjamin kualitas listrik tetap andal tersalurkan kepada masyarakat dan industri. Kuota ini usulan Dirjen Ketenagalistrikan dengan tembusan Dirjen EBTKE.
Dadan tidak menampik revisi ini akan kurang menarik bagi pelanggan rumah tangga karena puncak beban pada malam hari, sedangkan produksi listrik terjadi pada pagi hingga sore.
“Kita dorong ini untuk industri karena punya baseload. Itu skalanya besar-besar. Kita tidak menurunkan target 3,6 gigawatt pada 2025 tapi masih menunggu, masih membahas, masih memastikan kuota yang keluar tahun ini berapa karena akan ada urusannya dengan keandalan sistem PLN,” katanya.
******