Mongabay.co.id

Mendorong Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis HAM

 

 

 

 

 

 

Pembangunan proyek maupun investasi tak jarang beriringan dengan munculnya persoalan di lapangan seperti terjadi konflik agraria dan sumber daya alam maupun masalah lingkungan. Dalam penanganan atau penyelesaian konflik agraria seharusnya menjunjung prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM), menghormati hak warga atas tanah, serta berdasarkan pada keadilan sosial.

Begitu antara lain benang merah dari Lokakarya “Regional Enam Negara Asia tentang Upaya Pengawasan Konflik Tanah,” di Jakarta, 27 Februari lalu.

Sejumlah lembaga yang hadir menyampaikan pandangan dan upaya-upaya penanganan konflik agraria berbasis HAM. Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), memandang pentingnya kerangka reforma agraria dan penyelesaian konflik yang mengakui hak atas tanah sebagai hak asasi manusia.

Pemerintah juga mesti menempatkan penyelesaian konflik dan reforma agraria sebagai pemenuhan kewajiban negara, seturut amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 3 dan UU Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

“Karena saat ini tanah sudah menjadi komoditas, hingga ancaman dan diskriminasi terhadap hak warga menjadi lebih besar,”  katanya.

KPA mencatat, pada tahun 2023, konflik agraria menyebabkan 241 letusan konflik, merampas 638.188 hektar tanah pertanian, wilayah adat, wilayah tangkap dan pemukiman dari 135.608 keluarga.

Dewi menilai, komitmen penyelesaian konflik dan reforma agraria lemah dapat dilihat dari realisasi Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). Dari 851 LPRA usulan KPA, hanya 21 desa teredistribusi pada petani, buruh tani, nelayan dan perempuan di pedesaan.

“(Pendekatan) presiden kan lebih ke sertifikasi tanah non konflik. Untuk redistribusi tanah di area konflik agraria masih enggan. Itu membuat 9 tahun cuma 21 desa. Rata-rata itu perkebunan swasta yang sudah kadaluarsa,” katanya.

Menurut Dewi, upaya mewujudkan reforma agraria berbasis HAM harus ditempuh dengan resolusi konflik sistematis, salah satunya melalui UU Reforma Agraria.

 

Data konflik agraria era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bersanding dengan masa Presiden Joko Widodo. Sumber: dari KPA

 

Meski Indonesia memiliki Peraturan Presiden (Perpres) tentang Reforma Agraria, namun tidak cukup kuat dari sisi hirarki perundang-undangan. Terutama, dalam menangkal sejumlah program yang dilegitimasi UU Cipta Kerja.

“Setidaknya,  ketika berhadapan dengan UU Cipta Kerja, lebih punya kekuatan [kalau ada UU Reforma Agraria]. Ketika ada satu obyek mau digusur, ada UU lain yang memagari,” ujar Dewi.

Selain itu,  katanya, reforma agraria harus dipimpin langsung oleh presiden melalui lembaga yang mereka sebut Badan Otorita Reforma Agraria. Karena, konflik agraria yang bersifat lintas sektoral jadi perlu keterlibatan setidaknya 15 kementerian atau lembaga.

Fadly Ikra Saputra, Asisten Pratama pada Keasistenan Utama IV Ombudsman mengatakan, satu tujuan reforma agraria berdasarkan Perpres 86/2018 adalah menangani sengketa dan konflik agraria. Dalam implementasinya, tujuan itu masih jauh dari harapan.

Sebab, perpres itu tidak mengatur substansi konflik agraria, seperti konflik yang berkaitan dengan kawasan hutan, aset negara, serta proyek strategis nasional. Sementara, Permen ATR/BPN 21/2020 merupakan turunan dari Perpers 86/2018, tak spesifik terbit dalam kerangka reforma agraria.

“Dari situ terlihat, konflik agraria yang berkaitan dengan aset negara maupun kawasan hutan penyelesaiannya sangat lama,” ujar Fadly.

Agar konflik agraria dapat tertangani dengan baik, katanya, pemerintah harus memperkuat substansi penyelesaian konflik agraria dan merumuskan resolusi konflik sebagai mekanisme baku dan rujukan reforma agraria. Juga jadikan penyelesaian konflik agraria sebagai indikator keberhasilan reforma agraria.

Selama ini,  katanya, salah satu indikator keberhasilan reforma agraria adalah redistribusi tanah tetapi masih bersifat general. “Sementara capaian redistribusi tanah dari hasil penyelesaian konflik belum jadi indikator keberhasilan reforma agraria.”

 

Spanduk penolakan terhadap rencana pembangunan bandara di Desa Sumberklampok. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Upaya penyelesaian konflik

Sejumlah lembaga berupaya mendorong penanganan konflik agraria berbasis HAM. Upaya-upaya itu ditempuh melalui berbagai cara, mulai dari rekomendasi kebijakan, hingga mediasi para pihak yang berkonflik.

Komnas HAM, misal, pada 2021, menerbitkan standar norma dan pengaturan (SNP) tentang HAM atas tanah dan sumber daya alam. SNP ini berdasarkan pada kemendesakan atas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM, juga tingginya pelanggaran HAM atas tanah dan sumber daya alam.

“Komnas HAM ingin mendefinisikan dan menjelaskan isu-isu HAM yang sangat spesifik, salah satunya terkait tanah dan sumber daya alam,” kata Mimin Dwi Haryono, Analis Kebijakan Ahli Madya Komnas HAM.

Adapun, maksud dan tujuan SNP HAM atas Tanah dan SDA adalah:

  1. Bagi negara, memastikan tidak ada regulasi, kebijakan dan tindakan yang bertentangan dengan HAM sejak perencanaan, pengaturan dan pelaksanaan. Juga, memastikan proses hukum dan pemberian sanksi bagi pelaku atas tindakan yang melanggar HAM.
  2. Bagi penegak hukum, agar dalam melakukan tindakan, penegakkan hukum ataupun pertimbangan dalam putusan, memastikan adanya perlindungan hukum dan HAM serta berkeadilan.
  3. Bagi korporasi atau swasta, untuk membangun akuntabilitas dan menghormati HAM, menghindari perlakuan yang melanggar HAM, memastikan patuh atas penyelesaian yang adil dan layak, dan menyediakan akses pemulihan atas tindakan yang melanggar HAM.
  4. Bagi individu, masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan, untuk membangun pengertian dan pemahaman mengenai segala hal yang terkait tindakan yang melanggar norma HAM, hingga ada proses untuk memastikan perlindungan dan penikmatan hak asasinya. Serta, dapat jadi dasar dalam upaya pembelaan terhadap individu, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam menegakkan HAM.

Menurut Mimin, SNP ini merupakan instrumen penting dan panduan untuk advokasi HAM di Indonesia karena aduan mengenai konflik agraria masih terbilang tinggi.

“Hingga 2023, kami mencatat terdapat setidaknya 582 aduan terkait konflik agraria dari total 2.422 aduan,” katanya.

Tahun ini, ucap Mimin, Komnas HAM juga sedang menyusun peta jalan penyelesaian konflik agraria. Dokumen peta jalan itu diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan dan program-program pembangunan, sekaligus menekan konflik agraria di Indonesia.

Dia menambahkan, Komnas HAM terus menjalankan peran-peran lain seperti mediasi, monitoring, penyelidikan dan pemberian perlindungan. Sebagai contoh, kalau ada pengadu yang merasa tidak aman, Komnas HAM dapat mengeluarkan surat perlindungan.

“Agar pihak yang bertanggung jawab dalam konteks HAM, dapat melindungi mereka,” katanya.

Dalam konteks pelayanan publik, Ombudsman punya cerita penanganan konflik agraria antara Masyarakat Adat Suku Anak Dalam 113 dengan PT BSU, pada 2022.

Fadly mengatakan, konflik berulang ketika konsesi perusahaan tmpang tindih dengan wilayah masyarakat, termasuk sungai dan areal pemakaman.

Ketika HGU BSU akan berakhir, Suku Anak Dalam 113 mengadu pada Ombudsman untuk mendapatkan kembali tanah adatnya. Ombudsman tindaklanjuti dengan memeriksa berbagai pihak seperti Kementerian ATR/BPN, Pemerintah Jambi dan HGU perkebunan sawit itu.

“Kemudian ditemukan titik tengah, perusahaan bersedia menyediakan tanah untuk masyarakat adat,” ujar Fadly.

Upaya ini juga mendapat dukungan KATR/BPN dan Pemerintah Jambi, yang melakukan inventarisasi dan identifikasi subjek penerima tanah dan obyek tanah. Tujuannya, memastikan penerima obyek tanah tepat sasaran.

Kemudian pada Agustus 2022,  katanya, Gubernur Jambi menerbitkan surat keputusan yang menetapkan 744 keluarga subyek penerima tanah adat atau tanah komunal.

“Melalui mediasi dan penanganan tim, juga terbit sertifikat hak milik kepemilikan bersama, akhirnya Suku Anak Dalam 113 mendapatkan hak atas tanah mereka.”

Bagi Fadly, penanganan konflik itu sejalan dengan tujuan Ombudsman yakni memastikan akses pelayanan pada masyarakat. Juga, menangani konflik pertanahan yang bersifat individual dan sistemik untuk mewujudkan kepastian hukum dan keadilan sosial.

 

Aksi penolakan  relokasi warga di Rempang karena mau ada proyek Rempang Eco-City. Foto Yogi Eka Sahptura/ Mongabay Indonesia

 

Transformasi dan distribusi data

Upaya menangani konflik agraria berbasis HAM juga dengan melakukan transformasi dan distribusi data hasil riset. Bagi KPA, data konsolidasi dan konflik agraria merupakan sistem pendukung agenda reforma agraria di Indonesia.

Selama ini, kata Dewi,  KPA memanfaatkan data untuk memperkuat organisasi masyarakat, menjadi alat advokasi, serta mendorong perubahan kebijakan. Data konflik juga bisa menarik dukungan, meningkatkan kesadaran masyarakat dan menjadi referensi pembanding dengan data maupun narasi pemerintah.

Dia contohkan, KPA transformasi data dalam bentuk peta, yang pengerjaan melibatkan perempuan dan pemuda. Peta tidak hanya menunjukkan luas lahan, juga menampilkan gender dan jenis tanaman.

“Kami ingin tunjukkan pada pemerintah bahwa konflik agraria bukan hanya tentang obyek tanah. Ada mata pencaharian, sumber ekonomi warga dan lain-lain.”

Data-data itu,  kemudian mereka distribusikan melalui jangkauan media massa. Tujuannya, kata Dewi, membentuk pemahaman bersama dan mendorong perubahan kebijakan, khusus mengenai penanganan konflik dan reforma agraria.

Dia menilai, dengan mengajak jurnalis turun ke lokasi-lokasi konflik agraria, media massa akan memahami konflik agraria struktural dan situasi yang dihadapi masyarakat. Serta, membuat isu-isu agraria tidak terpendam oleh topik-topik seperti ekonomi dan politik.

“Kami ingin menunjukkan kompleksitas masalah agraria itu sangat penting untuk diperhatikan, dan mendorong pemerintah untuk ambil terobosan,” ujar Dewi.

Upaya lain yang dilakukan KPA adalah membuat sistem respons cepat dan dana darurat Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA). Program ini sudah sejak 2016 dan melibatkan sekitar 80 organisasi masyarakat sipil.

“Sistem ini menyediakan berbagai dukungan seperti dana darurat, layanan bantuan hukum struktural, saksi ahli ketika kasus masuk ke pengadilan, juga kampanye dan kesadaran publik,” kata Dewi.

 

******

 

Konflik Agraria Tinggi, 5 Rekomendasi KPA pada Presiden Baru

 

Exit mobile version