Mongabay.co.id

Tradisi Muar, Panen Madu Hutan dari Desa Ulak Medang

 

Begegar kaki, Betegar jarum penjait

Aaa anak musang meniti akar

Aaa begegar kaki menaik

Bujang lanye ajang lajar aduh belajarlah menaik

Rudianto melantunan timang madu dengan merdu sambil menaiki jatak yang menempel pada pohon lalao. Lantunan timang madu sebagai permohonan keselamatan saat memanen madu. Dengan hati-hati, kaki lelaki 53 tahun ini melangkah satu per satu anak tangga jatak—tangga yang terbuat dari bambu— hingga pada dahan tempat para lebah membuat sarang.

Rudianto adalah petani pemanen madu hutan di Ulak Medang, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Dia biasa berangkat bersama empat orang rekannya. Mereka berbekal peralatan dari tebauk, teronong, dan jatak setiap kali hendak panen madu hutan. 

Koloni atau sarang lebah madu yang bersarang di pohon lalao cempedak air. Pohon lalao adalah sebutan pohon tinggi, besar dan kokoh bagi masyarakat di Desa Ulak Medang, Ketapang, Kalimantan Barat. Foto: Winda Eka Putri/Mongabay Indonesia.

Pohon lalao adalah sebutan pohon yang tinggi, besar dan kokoh. Pohon setinggi 20 meter ini memiliki dahan lebar yang biasa dihinggapi lebah untuk bersarang secara alami. Dalam satu pohon biasa ada lebih dari lima sarang lebah. Jenis pohon lalao antara lain, pohon rengas (Gluta renghas), cempedak air (Artocarpus maingayi), kayu ara, dan pohon keranji (Dialium indum). 

Mereka membuat asap dengan membakar tebauk. Tebauk adalah akar jejawi atau kayu ara yang dikeringkan dan digabungkan hingga seukuran genggaman lalu diikat. Tebauk dipukul-pukulkan ke dahan pohon. Suara dengungan kepakan sayap lebah yang keluar mengikuti jatuhnya bara api seperti kunang-kunang.

Baca juga: Asap Bakar Asa Petani Madu Hutan Ketapang

Setelah Rudianto naik, satu orang yang lain menyusul. Mereka membawa teronong ke atas pohon sebagai bahan menyimpan madu. Dua orang lain menunggu di bawah menyambut teronong saat  diturunkan dengan tali dengan berhati-hati agar madu tidak jatuh. 

Madu di Ulak Medang dari lebah Apis dorsata. Jenis ini dikenal dengan sebutan lebah madu raksasa. Umumnya lebah akan nubar (pengambilan nektar di bunga) pada pagi hari sekitar jam 8.00-11.00. Pada proses ini, akan tercium aroma harum khas madu di sekitar wilayah tersebut.    

Setelah proses muar, penyaringan harus segera dilakukan agar pemanen tidak diserang oleh induk lebah. Proses penyaringan biasa melibatkan beberapa saudara perempuan dan kerabatnya. 

Masyarakat Desa Ulak Medang memiliki keterikatan terhadap madu hutan. Ia sangat dekat dengan nilai budaya, lingkungan dan kearifan lokal yang terus mereka jaga. Tak hanya madu yang bernilai ekonomi, Desa Ulak Medang juga memiliki nilai budaya dan kearifan lokal yang masih terjaga hingga kini, seperti dalam penentuan kepemilikan pohon lalao.

“Kepemilikan pohon lalao bisa melalui warisan dari generasi sebelumnya,” kata Rudianto. 

Kalau pohon tersebut belum ada pemilik maka yang pertama kali yang menemukan bisa memberikan tanda kepemilikan meski bukan berada di wilayah garapannya. 

Dalam penyiapan pohon, biasa pemilik membersihkan dahan-dahan dari calon pohon agar lebah tertarik membuat sarang. Sekitar pohon juga dibersihkan dari semak belukar. Ketika memasuki bunga pakan mekar, masyarakat akan mengecek sarang dengan rentang waktu 1-3 kali kunjungan per minggu. 

Dalam satu malam, biasa Rudianto panen lima sarang madu dengan berat kira-kira 5-20 kg. “Sedikitnya bersama teman-teman bisa memanen madu hingga satu drum (kurang lebih 200 liter) dalam satu pohon saat panen raya tahun 2020,” kata lelaki 53 tahun ini.

 

Akar Jejawi yang sedang dijemur untuk kemudian dirangkai menjadi Tebauk. Akar Jejawi/Jawi-jawi (bahasa lokal), atau kayu Ara. Foto: Winda Eka Putri/Mongabay Indonesia

Pentingnya lebah bagi ekonomi warga

Saat musim bunga atau musim durian datang, banyak lebah bermunculan. Kondisi cuaca dan bencana alam seperti banjir dan kebakaran lahan juga mempengaruhi banyak tidaknya lebah membuat sarang. 

Lebah tidak hanya menjadi komponen biotik dalam ekosistem, juga memegang peran penting dalam menjaga keseimbangan dan keberlanjutan ekosistem, serta menjadi indikator keanekaragaman hayati dan kesehatan lingkungan. 

Haryono, Direktur Yayasan Natural Kapital Indonesia, menyebutkan, masyarakat di Ulak Medang memiliki pengetahuan lokal yang kaya dalam menjamin keberadaan lebah. Para pemanen biasa mengetahui siklus pembungaan. Mereka akan mempersiapkan kedatangan kawanan lebah madu, lalu memperkirakan kapan waktu panen yang tepat. 

Bunga Ubar (Syzygium attenuatum) yang sedang mekar di Desa Ulak Medang. Biasanya bunga ini mekar pada pertengahan bulan November-Desember. Foto: Hairunnisa/Mongabay Indonesia

 

Baca juga: Istimewanya Madu Hutan Asli Danau Sentarum

Rudianto pun meyakini, musim bunga menjadi siklus penting dalam keberhasilan madu mereka. Menurut dia, bunga pakan akan mekar bergantian. Putat akan mengawali masa pembungaan, diikuti ubar, lalu tengkelibang. Beberapa periode pembungaan dan musim madu berlangsung selama berbulan-bulan karena berbagai jenis  pohon bermekaran satu demi satu.

Berubahnya pola musim berbunga menjadi salah satu dampak perubahan iklim yang berpengaruh pada kelangsungan produksi madu hutan. Kenaikan suhu global juga turut memengaruhi siklus hidup lebah. Suhu ekstrem diduga dapat menyebabkan koloni lebah menjadi stres. Curah hujan berubah tak stabil dapat menjadi faktor pendukung berkurangnya ketersediaan sumber pakan bagi lebah. 

Biasanya, dalam setahun ada dua kali musim panen, Desember hingga Januari, dan Juni. “Sejak tahun 2019, hasil panen menurun karena musim yang tidak menentu dan asap dari kebakaran hutan.”   

Dia bilang karhutla tahun 2019 menjadi mimpi buruk baginya. Puluhan hektar lahan habis, madu yang dipanen hanya kurang dari 20 kg, sebelumnya, dia bisa panen sampai ratusan kilogram.

“Naluri lebah ini lebih kuatlah, die tau kapan bunga hutan ini muncul. Kalau kembang, ha tu itu datangnye lebih banyak,” pungkasnya.

Asap Bakar Asa Petani Madu Ketapang

*Liputan ini merupakan hasil dari Pelatihan Menulis Orang Muda Into The Climate Stories: Fight For The Future yang didukung oleh IVLP Impact Award Project 2023 dan berkolaborasi dengan Mongabay Indonesia dan Yayasan Indonesia Cerah. Winda Eka Putri dan Hairunnisa, orang muda asal Kalimantan Barat yang merupakan founder dan relawan aktif di Keep Earth Borneo (KEB). KEB merupakan gerakan orang muda yang aktif mengampanyekan tentang perlindungan satwa liar dan perubahan iklim.



Exit mobile version