Mongabay.co.id

Aturan Tangkap dan Simpan Karbon Minim Prinsip Kehati-hatian

 

 

 

 

Awal tahun ini pemerintah menerbitkan aturan soal soal penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture storage/CCS). Kebijakan yang tertuang lewat Peraturan Presiden No 14/2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon ini disebut ada untuk mereduksi emisi karbon pada kegiatan penghasil emisi kaitan transisi energi. Berbagai kalangan menyoroti soal minim prinsip kehati-hatian dan berisiko terhadap lingkungan tinggi termasuk pembelajaran dari negara lain.

Dalam perpres ini mengakui ada kemungkinan dampak pada kerusakan lingkungan, bahaya terhadap manusia hingga kontaminasi air tanah.  Aturan baru ini dinyatakan wilayah kerja CCS adalah wilayah hukum pertambangan Indonesia. Ada istilah zona target injeksi (ZTI) dan izin penyimpanan karbon yang jadi tempat simpan karbon.

Bagaimana cara kerjanya? Secara sederhana, emisi karbon ditangkap di lokasi penghasil seperti wilayah operasional minyak dan gas bumi dan PLTU, lantas diangkut dan disuntikkan ke ZTI secara permanen. Hasil tangkapan bisa berupa hasil pra penyalaan, pembakaran oxyfuel, juga penangkapan udara langsung dari atmosfer.

Karbon diangkut dengan pipa, truk, kapal termasuk pipa bawah laut. Izin transportasi 20 tahun dan dapat diperpanjang 10 tahun untuk setiap kali perpanjangan.

Lokasi penyuntikan berupa storage akuifer asin, yakni, formasi batuan di bawah permukaan bumi yang berpori (porous) dan dapat ditembus partikel (permeable) atau dalam lapisan batubara. Lokasi injeksi ini mengandung air tanah dengan kandungan garam atau mineral terlarut, dan tidak untuk keperluan lain.

Sebelum penentuan lokasi, eksplorasi ZTI dilakukan melalui kontrak kerja sama yang “menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Kontrak kerja sama dapat berupa bagi hasil, gross split, dan lain-lain.

Izin eksplorasi berlaku selama enam tahun. Pada Pasal 17 dinyatakan dapat diperpanjang paling lama empat tahun.

Izin operasional berlaku 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun dengan syarat persetujuan lingkungan dan dokumen rencana operasi.

Pasal 35 Perpres ini menyebut kontraktor dan pemegang izin wajib alokasikan 70% kapasitas penyimpanan untuk karbon domestik. Sisanya,  untuk karbon dari luar negeri selama mereka investasi atau terafiliasi dengan investasi di Indonesia.

Lokasi CCS akan ditutup saat ZTI penuh, tak ada lagi karbon yang akan diinjeksi, kontrak habis, keadaan kahar atau saat teknologi ini tidak ekonomis lagi berdasarkan kajian keekonomian kontraktor atau pemegang izin operasi.

Dalam regulasi ini juga dinyatakan jika terjadi kebocoran, maka tidak termasuk inventaris emisi Indonesia. Monitoring keselamatan operasi oleh pemegang izin hingga 10 tahun setelah penutupan CCS. Untuk itu, itu wajib mencadangkan dana penjaminan kegiatan monitoring dalam jangka waktu itu.

Kontraktor atau pemegang izin wajib melaporkan hasil monitoring setiap enam bulan pada saat operasi dan setahun sekali pasca penutupan. Kalau terjadi kontaminasi air tanah, kebocoran, atau pergerakan karbon yang tidak sesuai rencana pemegang izin wajib melapor pada pemerintah daerah 1×24 jam secara lisan dan 2×24 jam tertulis.

 

Salah satu pusat pengolahan minyak bumi di Balikpapan. Foto: Aji Wihardandi

 

Minim prinsip kehati-hatian

Grita Anindarini, Diputi Direktur Indonesia Center for Environmental Lawa (ICEL)  mengatakan, penerapan CCS dalam perpres ini, belum memperhatikan prinsip kehati-hatian padahal memiliki risiko lingkungan dan sosial tinggi serta berlangsung dalam jangka panjang.

Prinsip kehati-hatian ini, katanya,  mengharuskan pembuktian bahwa CCS memiliki dampak sangat minim terhadap kesehatan, keselamatan manusia, dan lingkungan hidup untuk dapat beroperasi.

“Sayangnya, prinsip kehati-hatian ini masih minim dipertimbangkan dalam penyelenggaraan CCS, seperti pada saat penetapan wilayah izin penyimpanan karbon yang belum mempertimbangkan risiko lingkungan, kesehatan, dan keamanan,” katanya dalam rilis kepada media.

Selain itu, penyelenggaraan CCS ini rawan minim partisipasi publik. Partisipasi masyarakat baru mulai dan terbatas pada proses persetujuan lingkungan,  yang sebenarnya sudah terlambat bagi masyarakat untuk berpartisipasi dan mengajukan keberatan.

Mengingat risiko tinggi dari penggunaan CCS, kata Ninda, masyarakat seharusnya berhak memperoleh informasi dan terlibat aktif sejak awal proses penyelenggaraan CCS. Bahkan, sejak awal penyiapan dan penetapan wilayah izin penyimpanan karbon.

,Penerapan CCS ini juga masih belum memiliki langkah strategis pemulihan lingkungan kalau risiko lingkungan terjadi. Walaupun regulasi ini mewajibkan kontraktor dan pemegang izin operasi penyimpanan untuk monitoring dalam waktu 10 tahun pasca penutupan CCS.

“Patut digarisbawahi, risiko dan bahaya lingkungan tetap dapat terjadi di luar jangka waktu  itu. Sayangnya, mekanisme pertanggungjawaban apabila risiko ini terjadi di luar jangka waktu itu tidak dijelaskan,” katanya, seraya bilang, termasuk tanggung jawab dan strategi memulihkan karbon yang lepas kalau kebocoran terjadi.

Justru,  katanya, regulasi ini memuat kerancuan pertanggung jawaban atas pelepasan karbon seperti kalau terjadi kebocoran selama pengangkutan karbon lintas negara. Kebocoran ini tidak tercatat dalam inventarisasi gas rumah kaca Indonesia.

Syaharani, peneliti ICEL mengatakan, perpres ini memang mengatur penempatan dana jaminan pelaksanaan operasi penyimpanan karbon, jaminan pasca operasi, serta dana jaminan monitoring. Namun, katanya,  jika dicermati, dana jaminan untuk perbaikan kejadian selama operasi, biaya penutupan CCS dan monitoring 10 tahun pasca penutupan CCS.

“Ini belum cukup, karena risiko CCS ini berlangsung dalam jangka waktu sangat panjang. Kami juga mempertanyakan, jika risiko ini terjadi di luar waktu itu, mekanisme pertanggungjawaban dan pemulihan seperti apa yang akan dibangun?” ujar Syaharani.

Hal lain yang menjadi perhatian ICEL yakni,  pengembangan CCS juga menimbulkan kekhawatiran signifikan terhadap perlindungan generasi mendatang. Dengan berbagai insentif atas regulasi ini kepada pengembangan CCS dan minim kerangka pengaman, justru akan mengalihkan pertanggungjawaban atas kerusakan dari operasi maupun dampak iklim karena keberlanjutan penggunaan energi fosil.

Pengalihan tanggung jawab ini, katanya,   dengan pembebanan penurunan emisi yang terlampau besar dan pemulihan masif di masa mendatang.

“Ini tidak sesuai prinsip keadilan antar generasi sebagaimana diakui dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menjamin keberlanjutan kondisi dan sumber daya lingkungan oleh generasi akan datang.” ujar Syaharani.

 

PLTU batubara Suralaya di Banten. P{emerintah baru bikin aturan soal CCS.  Apakah ini bisa jadi solusi yang aman bagi lingkungan, bukan malah sebaliknya?   Foto: Greenpeace

 

Potensi CCS nasional

Akhir Februari lalu, Ariana  Soemanto,  Kepala Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi LEMIGAS, Ariana  Soemanto mengatakan, pemerintah telah menerbitkan angka potensi penyimpanan karbon nasional 2024.

Potensi sebesar 572 miliar ton CO2 pada saline aquifer dan 4,85 miliar ton CO2 pada cadangan minyak dan gas yang sudah habis (depleted oil and gas reservoir).

“Potensi penyimpanan besar cukup signifikan dalam mendukung target penurunan emisi jangka panjang,” katanya.

Dia bilang, perhitungan pada saline aquifer skalanya cekungan migas melalui perhitungan dengan kriteria antara lain potensi berasa pada cekungan migas yang berproduksi kedalaman 800-2.500 meter. Lalu, ketebalan lebih 20 meter, porositas lebih 20%, permeabilitas lebih dari 100 mD, dan salinitas air formasi lebih dari 10.000 ppm.

“Ini merupakan potensi high level assessment untuk kepentingan strategis.”

Untuk meningkatkan keyakinan potensi, Ariana bilang, perlu berbagai aktivitas migas lebih lanjut antara lain seismik, pemodelan geologi geofisika reservoir, pemboran, rencana pengembangan lapangan termasuk studi keekonomian.

Untuk cadangan migas, kata Ariana,  skalanya lapangan migas. Menurut dia,  kesiapan Indonesia dalam dekarbonisasi melalui CCS dan CCUS (carbon capture utilization and storage), cukup progresif.

Selain perpres, sudah ada pedoman tata kerja dan peta potensi penyimpanan karbon. Implementasi proyek terdekat yakni CCUS Tangguh dengan target selesai 2026.

Selain pada industri migas, rencana penggunaan CCS/CCUS juga pada PLTU yang masih  beroperasi pada 2060, sesuai strategi dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN).

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, aplikasi CCS/CCUS pada PLTU belum berdasarkan pada kelayakan teknis dan ekonomis.

Aplikasi ini masih mahal dan tak efektif menangkap karbon, walaupun sudah dikembangkan puluhan tahun. Dia contohkan, proyek CCS di Boundary Dam Kanada dan PLTU Petranova di Amerika Serikat menunjukkan masalah teknis dalam memenuhi target penangkapan karbon dan tak ekonomis.

“Indonesia akan terbeban dengan biaya penerapan CCS ada PLTU yang mahal, biaya operasional rentan volatilitas serta tidak berkelanjutan,” katanya dalam rilis kepada media.

Seharusnya, kata Deon, strategi mitigasi emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia pada sektor energi bisa fokus pada pembangunan teknologi energi terbarukan dan energy storage yang sudah terbukti menyediakan energi dengan biaya kompetitif.

“PLTS dan PLTB secara waktu konstruksi dapat dengan cepat, hingga pekerjaan rumah adalah bagaimana menyiapkan pipeline proyek yang siap diinvestasikan serta proses pengadaan di PLN,” kata Deon.

 

 

*******

Teknologi CCS untuk Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia, Mau Dibawa Kemana?

Exit mobile version