Mongabay.co.id

Dampak El Nino: Harga Beras Naik, Petani Lamongan Ubah Pola Tanam

 

 

 

Pagi itu, suasana di GOR Untung Suropati, Kota Pasuruan, Jawa Timur, memang lebih ramai dari biasanya. Tingginya harga beras belakangan membuat ratusan orang rela berdesakan di pelataran GOR demi mendapatkan beras murah.

Siti Sholihah, warga Kelurahan Tembokrejo,  sudah berangkat sejak pukul 06.00 pagi. “Dimana-mana antre. Ya bagaimana, memang selisihnya lumayah daripada beli di pasar,” ujarnya kepada Mongabay. Usahanya pun tak sia-sia. Setelah dua jam lebih mengantre, beras 10 kilogram pun dia dapatkan seharga Rp102.000.

Bagi Sholihah, harga itu jauh di bawah pasaran. Merujuk harga rata-rata semua jenis beras yang terpampang di laman Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), harga beras di kisaran Rp15.750-17.300 setiap kilogramnya per Selasa (5/3/24). Berarti, Sholihah memerlukan Rp150.000-170.000 untuk membeli 10 kilogram beras.

Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Pasuruan, Rizky Paramita menyebut, operasi pasar itu untuk menekan harga beras yang terus melambung, terutama menjelang Ramadan ini. Total ada 10 ton beras teralokasi  di setiap kegiatan.

Pemerintah mengklaim fenomena El-Nino 2023  disebut-sebut menjadi penyebab tingginya harga beras saat ini. El-Nino yang menjadikan musim kemarau lebih panjang membuat musim tanam padi di Indonesia molor dari jadwal hingga menyebabkan stok beras di pasaran berkurang.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengonfirmasi klaim ini. Dalam laporannya, BPS menyebut,  ada penurunan luas panen pada  2023 dibanding 2022. Dari 10,45 juta hektar menjadi 10,20 juta hektar, atau setara  0,26%. Sejalan dengan itu, produktivitas panen padi juga ikut turun 2,05%. Dari 54,75 juta ton dalam  2022, turun 1,12 juta ton menjadi 53,63 juta pada 2023.

Baca : Harga Beras Naik, dari Papua Ingatkan Jangan sampai jadi Alasan Lancarkan Food Estate

 

Berbagai diversifikasi beras yang menjadi sumber pangan utama masyarakat Indonesia. Foto : A Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Sisi lain, turunnya produksi padi tidak hanya memicu naiknya harga beras belakangan ini. Di  Lamongan, sejumlah usaha penggilingan padi terpaksa tutup sementara lantaran stok panen  masih terbatas.

Fluktuasi harga yang terjadi membuat para pengusaha penggilingan enggan mengambil risiko merugi imbas harga yang berubah-ubah. “Harga berubah tiap hari. Tidak berani kulakan banyak, kuatir rugi,” jelas Umu Kulsum,  pemilik penggilingan padi di Lamongan.

Lamongan merupakan salah satu penghasil padi tertinggi di Indonesia. Khusus di Jawa Timur, dari 38 kabupaten/kota, Lamongan menduduki peringkat pertama dengan produksi padi paling banyak. Pada 2022, total produksi padi di Lamongan mencapai 903,88 ton, sekalipun pada 2023 lalu angkanya turun menjadi 798,70 ton imbas El-Nino.

 

Cara tanam berubah

Para petani di beberapa desa di Lamongan terpaksa mengubah cara tanam menghadapi kondisi iklim  agar tanam padi, terutama pada musim tanam pertama tetap berlanjut. Semula,  kegiatan tanam dengan memasukkan biji padi ke dalam lubang yang telah disiapkan sebelumnya, berubah dengan memuat persemaian terlebih dahulu. Setelah itu, benih padi dari hasil semaian itu baru dipindah untuk tanam di hamparan.

“Dulu,  bisa pakai lubang karena awal musim hujan biasa tidak tinggi. Sekarang,  tidak lagi karena intensitas hujan sudah tinggi sehingga sawah terendam,” kata Khotimah, petani Lamongan.

Tahun-tahun belakangan ini, katanya,  menjadi masa paling sulit bagi petani  lantaran cuaca sukar diprediksi. Akibatnya, para petani sulit mengatur jadwal.

Baca juga : Selamat Datang Beras Berprotein Hewani

 

Seorang petani melintas di antara lahan kering yang terdampak kemarau panjang di Lamongan. Foto : A Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, menurut kebiasaan, pada November-Desember adalah musim tanam pertama setelah musim kemarau  Karena itu, ketika turun hujan, serta merta para petani menanam padi. Tak dinyana, hujan tak lagi turun dan membuat padi yang terlanjur ditanam mati. “Ini saja sudah rugi. Jadinya, harus tanam lagi di Januari, saat benar-benar sudah musim hujan,” katanya.

Musiam kemarau yang lebih panjang menghasilkan tantangan tersendiri bagi para petani. Beberapa di antara mereka mengganti komoditas lain yang lebih tahan terhadap kondisi cuaca kering. Seperti kacang hijau, jagung atau tanaman wijen, meski harus berhadapan dengan hama tikus yang lebih rentan. Tidak jarang, tanaman beberapa petani habis dimakan tikus karena tak sanggup dengan beban operasional yang begitu tinggi.

Peneliti Balai Besar Pengujian Standar Instrumen Padi (BBSP-P) Nafisah bilang, Elnino telah memberi dampak nyata terhadap kebutuhan pangan di Indonesia. Padi yang menjadi sumber makanan utama telah alami keterbatasan sebagai akibat dari molornya musim tanam.

Nafisah menyebut, Indonesia sejatinya memiliki sejumlah varietas unggul yang lebih tahan terhadap perubahan iklim. Sebut saja  padi Inpago yang tahan terhadap cuaca kering dan tidak memerlukan banyak air. Ada juga varietas Inpari 30 yang mampu bertahan dari rendaman air (banjir) hingga 14 hari. Dengan begitu, petani tidak perlu menanam ulang ketika tanaman mereka terendam banjir.

“Tetapi memang varietas ini tidak begitu popular karena belum banyak diproduksi atau dipakai para petani,” jelasnya. Padahal, beberapa varietas tersebut memiliki produktivitas tinggi antara 8-9 ton setiap hektarnya.

Nafisah menjelaskan, Indonesia memiliki lebih dari 300 varietas padi yang telah terdaftar di BBSP-P. Namun, dari jumlah tersebut, baru sekitar 90 varietas yang ditanam oleh petani Indonesia. Para produsen enggan memproduksi benih varietas lain karena permintaan pasar yang sedikit.

Baca juga : Buah Sukun, Cocok untuk Ketahanan Pangan Pengganti Beras

 

Petani di Lamongan mensiasati kemarau pancang dengan mengganti komoditas padi dengan kacang hijau. Tapi, serangan hama tikus membuyarkan asa mereka. Foto : A Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Ahli pertanian asal Institut Pertanian Bogor (IPB University) Dwi Andreas Santosa mengakui, El-Nino dan perubahan iklim turut membawa dampak pada sektor pertanian, terutama padi. Akan tetapi, ia kurang sependapat jika naiknya harga beras belakangan ini semata karena El-Nino, sebagaimana klaim pemerintah.

“Kalau El-Nino disebut sebagai alasan, saya kira tidak sepenuhnya benar. Karena kalau kita lihat datanya, penurunan produksi padi karena El Nino itu kecil, tidak terlalu tinggi,” jelasnya saat dihubungi, Senin (4/3/2024).

Jika dirunut ke belakang, katanya, kenaikan harga beras itu sejatinya sudah berlangsung sejak 2022 lalu yang dipicu oleh kenaikan biaya produksi pertanian. Baik untuk biaya tenaga kerja, perawatan, hingga pompa air untuk mengairi sawah.

Survei biaya produksi di 50 wilayah di Indonesia yang dilakukan jaringan tani Andreas pada tahun 2019 lalu mendapati rata-rata biaya produksi padi kering sebesar Rp4.523 per kilogram. Namun, survey tiga tahun berikutnya naik menjadi Rp5.697.

Namun, kenaikan biaya produksi ini tidak diikuti oleh perubahan harga beras di pasar. Kenaikan baru terjadi pada Oktober-Desember di harga Rp14.700, dari yang semula Rp11.700. “Di titik ini, harga beras masih wajar, linier dengan biaya produksi yang naik 23-25 persen,” jelas Andreas. Karena itu, naiknya harga beras hingga Rp15.950 pada Januari-Februari lalu, dinilai Andreas sebagai anomali.

Ada beberapa faktor yang menjadikan harga beras terus naik hingga mencapai puncaknya dalam sejarah itu. Selain karena panen raya yang mundur akibat El Nino, juga karena kesalahan strategi komunikasi yang dilakukan pemerintah. “Pemerintah selalu menyampaikan Januari-Februari ini Indonesia defisit beras hingga 2,8 juta ton. Ini menimbulkan panic buying yang akhirnya membuat harganya terus naik.”  (***)

 

 

Kebijakan Pangan: Rencana Impor Beras, Food Estate, dan Nasib Hutan Indonesia

 

 

Exit mobile version