Beberapa saat lalu, publik di Indonesia dibuat bingung dengan dua kebijakan pemerintah yang kontradiktif. Di satu sisi, pemerintah menyampaikan rencana pembukaan food estate di sejumlah wilayah Indonesia, namun tak lama keluar rencana impor beras 1 juta ton yang digulirkan di tengah masa panen raya.
Hal ini tentu saja menjadi semakin menjadi pertanyaan, karena sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengajak rakyat Indonesia untuk mencintai produk domestik bahkan sampai mengajak untuk benci produk asing. Kini, pemerintah malah mewacanakan untuk impor beras. Sungguh ironis.
Impor beras yang diwacanakan pemerintah melalui Kementerian Perdagangan ini, dinilai sangat bertentangan dengan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) dan tentunya program food estate itu sendiri. Di tengah begitu kontroversialnya rencana food estate, sekarang pemerintah malah membuat urusan pangan semakin rumit.
Publik masih ingat, heboh rencana impor beras di kala produktivitas petani begitu baik, -yang berarti stok beras sangat memadai, bukan terjadi kali ini saja. Di bulan September 2018 ketika Kementerian Perdagangan masih dipegang oleh Enggartiasto, persoalan impor beras malah membuat geger publik berkat silang pendapat antara Enggar dan Direktur Utama Bulog, Budi Waseso.
Pada saat itu, Enggar melalui Kementerian Perdagangan akan melakukan impor beras dalam jumlah besar, namun Budi Waseso bersikeras tidak akan melakukan kontrak impor beras karena menurutnya stok beras di gudang Bulog masih sangat melimpah.
Walhasil, polemik perbedaan pendapat ini membuat gaduh situasi politik yang akhirnya lagi-lagi membuat persoalan pangan semakin bak benang kusut di negeri ini.
Sekarang, menyikapi persoalan impor beras 1 juta ton ini, Budi Waseso juga mengatakan bahwa stok beras masih sangat berlimpah apalagi di tengah masa panen raya hingga pada April 2021 nantinya.
Saat dipanggil rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR RI, Senin (15/3/2021), Budi menyampaikan bahwa stok beras di gudang Bulog mencapai 883.575 ton dengan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sebesar 859.877 ton dan beras komersial sebesar 23.706 ton. Stok ini tentu terbilang cukup apalagi ditambah dengan masa panen raya para petani sehingga. Dengan argumen ini jelaslah bahwa tidak realistis lagi untuk impor beras dalam jumlah besar.
Lalu bagaimana arah perkembangan food estate sendiri di Indonesia?
Baca juga: Was-Was Aturan Lahan Food Estate di Kawasan Hutan
Food Estate dan Hutan Indonesia
Tidak dapat dimungkiri bahwa persoalan pangan di negeri ini adalah persoalan yang begitu seksi dan begitu mudah bergulir menjadi isu politik liar. Begitu seksinya masalah kedaulatan pangan ini, pemerintah lantas menggulirkan rencana food estate. Tentu saja ini rencana yang begitu populis.
Sederhananya, food estate atau istilah lainnya merupakan program jangka panjang yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat sekitar dengan mengubah lahan yang katanya tidak produktif menjadi lahan produktif dengan ditanami berbagai macam komoditas pangan. Salah satunya pemenuhan kebutuhan bahan pokok masyarakat, yaitu beras.
Namun, rencana ini masih dianggap banyak pihak bukan sebagai solusi dari persoalan pangan di Tanah Air.
Kita masih ingat, di akhir periode Orde Baru, -tahun 1990-an, Presiden Soeharto pernah menggagas tentang proyek satu juta hektar. Sebuah mega lansekap yang diperuntukkan untuk pemenuhan kebutuhan beras nasional di kawasan hutan gambut Kalimatan Tengah.
Pasca reformasi, muncul wacana sejenis untuk membuat Merauke Integrated Food and Energy di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Idenya sama, sebuah lansekap raksasa untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Ide ini diimbuhi dengan rencana untuk membuka wilayah tersebut untuk permukiman transmigrasi.
Dengan demikian, program sejenis food estate saat ini bukanlah program yang kali pertama diluncurkan. Sejarah mencatat, program-program seperti ini selalu saja terganjal dan akhirnya selalu tidak menghasilkan kepuasan bagi masyarakat. Banyak pakar menyebut banyak program yang digulirkan selalu saja gagal mencapai tujuan.
Dalam diskusi menakar dampak food estate terhadap hutan alam dan gambut yang diselenggarakan Yayasan Madani Berkelanjutan, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University, Dwi Andreas Santosa mengungkap sejarah implementasi food estate di tanah air terbilang buruk. Andreas menyebut bahwa kegagalan dari food estate yang pernah dijalankan pemerintah Indonesia adalah karena mengingkari kaidah akademis.
Baca juga: Food Estate di Hutan Alam dan Gambut Rawan Perburuk Krisis Iklim
Bukan hanya buruk secara teknis, food estate buruk dari segi dampak yang dihasilkan. Salah satunya tentu dampak terhadap pencapaian komitmen iklim Indonesia dalam Nationally Determined Contributions (NDC). Seperti diketahui, dalam target NDC, Indonesia memiliki target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca adalah sebesar 29% tanpa syarat (dengan usaha sendiri) dan 41% bersyarat (dengan dukungan internasional yang memadai) pada tahun 2030.
Lalu apakah rencana food estate akan berpotensi mengacaukan target yang disusun tersebut?
Yayasan Madani Berkelanjutan, menemukan 92% area of Interest dari food estate di 4 provinsi prioritas yakni Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Papua berada di kawasan hutan. Artinya hutan di daerah tersebut akan hilang karena dialihfungsikan sebagai lahan program food estate. Hilangnya hutan alam, tentu sangat berdampak pada pencapaian NDC itu sendiri.
Sangat diketahui bahwa beban dari NDC di sektor kehutanan sampai dengan 17%. Banyak pakar juga sepakat bahwa target tersebut hanya dapat dicapai jika terjadi penurunan angka deforestasi yang signifikan dan tentunya pemulihan lahan gambut. Oleh karena itu, Jelas food estate sangat bertentangan dengan komitmen iklim Indonesia.
Jika benar pemerintah ingin menjalankan agenda yang berpihak kepada lingkungan, hutan, dan alam dengan juga tetap membangun kedaulatan pangan sebagaimana yang diimpikan, maka food estate harusnya dipilih dan diimplementasikan di lahan-lahan tidur yang potensinya lebih dari 10 juta hektar di Indonesia.
Dengan besarnya potensi lahan tidur tersebut tentu jika dikelola dengan baik, food estate akan lebih bermanfaat.
Ingat, membangun ekonomi dengan mengorbankan kepentingan hutan sudah tidak relevan. Sekarang, Indonesia harus mampu membangun ekonomi yang lebih berkelanjutan dengan mengedepankan kepentingan lingkungan, hutan, dan alam, bukan malah terus mengeksploitasi.
Sangat disayangkan jika tujuan baik food estate malah merusak hutan yang seharusnya kita jaga bersama.
* Delly Ferdian, penulis adalah peneliti di Yayasan Madani Berkelanjutan. Artikel ini adalah opini penulis
***
Foto utama: Seorang petani sedang memanen padi di sawah. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia