Mongabay.co.id

Industri Teh Tak Luput dari Dampak Perubahan Iklim, Solusi Sirkular jadi Harapan

 

Teh telah berkembang menjadi industri besar dunia, yang diproduksi di lebih 60 negara tropis dan subtropis. Setiap harinya, varietas teh hitam, hijau, dan lainnya dikonsumsi manusia sekitar 5 miliar cangkir teh, minuman favorit nomor dua dunia setelah air putih.

Pucuk teh berasal dari tanaman Camelia sinensis. Secara global, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB memperkirakan pada tahun 2021, petani di seluruh dunia telah menanam 6,5 juta metrik ton teh, di mana setengahnya diproduksi oleh Tiongkok, diikuti India, Kenya, dan Sri Lanka. Industri ini diperkirakan mempekerjakan 13 juta orang, dengan sekitar 9 juta petani kecil yang berkontribusi menanam sekitar 60% teh dunia.

“Sebagai industri yang dimulai pada abad ke-19, maka di abad ke-21 ini industri teh mendapat banyak tantangan ‘untuk bertahan hidup’,” sebut Sabita Banerji, pendiri dan CEO The International Roundtable for Sustainable Tea (THIRST). “Industri ini perlu tumbuh dan beradaptasi dengan zaman saat ini.”

 

Wanita memetik daun teh di Nepal. Teh merupakan minuman kedua yang paling banyak dikonsumsi di dunia, setelah air putih. Tumbuh di lebih dari 60 negara, sebagian besar produksinya saat ini berasal dari Tiongkok, India, Sri Lanka, dan Kenya. Foto: USAID Nepal melalui Flickr (CC BY-NC 2.0).

 

Secara bagian dari industri pertanian masif, industri teh turut berperan besar dalam mendorong “tiga krisis” yaitu: kerusakan keanekaragaman hayati, pelepasan polusi kimia ke perairan dan laut, serta perubahan iklim.

Seperti banyak tanaman pertanian lainnya, teh berdampak pada deforestasi di wilayah tropis (baik di masa lalu maupun masa sekarang), isu penggunaan pestisida dan pupuk kimia dalam jumlah besar yang merusak tanah dan sungai, serta berkontribusi terhadap perubahan iklim.

Menurut para ahli, -selain permasalahan lingkungan hidup, para petani dan pekerja teh juga menghadapi permasalahan hak asasi manusia dan gender yang sangat mendalam. Seperti rendahnya upah, -yang diperparah dengan rendahnya harga teh global, dan rendahnya kondisi pekerja.

Dan saat industri teh didera masalah lingkungan dan sosial, perubahan iklim menjadi ancaman bagi negara-negara produsen teh dan para petaninya.

“Sektor teh menghadapi tantangan ekonomi berat yang berasal dari dampak iklim, rendahnya harga jual teh, kenaikan biaya produksi, meningkatnya hama dan penggunaan pestisida, pergeseran sumberdaya pekerja, dan banyak lagi,” jelas Christopher Whitebread, dari Rainforest Alliance.

Untuk mengantisipasi hal ini, para ahli menyarankan menggunakan prinsip ekonomi sirkular yang mengefektifkan kembali limbah, meningkatkan sumber energi terbarukan, serta alternatif metode pertanian, yang akan memberikan manfaat bagi para petani dan keanekaragaman hayati.

Sedang solusi untuk mengurangi dampak buruk pemanasan global yang cepat adalah adaptasi  varian teh yang memiliki ketahanan dari gelombang kekeringan, curah hujan yang tidak menentu, dan kenaikan suhu.

 

Pemetik teh di Indonesia. Perempuan merupakan bagian besar dari industri teh di banyak negara. Pekerja teh dapat menghadapi paparan pestisida, kurangnya alat pelindung diri, upah yang rendah, serta buruknya akses terhadap layanan kesehatan yang memadai, dan banyak lagi. Foto: Aulia Erlangga/CIFOR melalui Flickr (CC BY-NC-ND 2.0).

 

Tantangan Industri Teh

Dalam industri teh, tanaman ini sering ditanam secara monokultur skala besar yang bergantung pada pupuk dan pestisida dalam jumlah besar, yang berpotensi merugikan unsur hara tanah.

Penelitian pun menunjukkan bahwa kurangnya alat pelindung diri dan paparan pestisida di beberapa wilayah, telah menimbulkan masalah kesehatan bagi para pekerja, yang sebagian besar adalah perempuan.

“Para pekerja sering mendapat masalah pernafasan dan masalah kulit akibat pestisida,” kata Banerji.

Di sisi rantai pasokan lainnya, para peneliti mengindikasikan adanya sisi buruk penggunaan pestisida. Pengambilan sampel residu daun teh menunjukkan beberapa daun teh terkontaminasi pestisida yang dapat menimbulkan masalah kesehatan bagi peminumnya.

Penggunaan bahan kimia yang berlebihan juga dapat berdampak pada satwa liar. Di sekitar Taman Nasional Kibale di Uganda, -dimana perkebunan teh menjadi zona penyangga yang mencegah konflik manusia dan satwa liar, ternyata primata yang terancam punah dapat terpapar bahan kimia termasuk pestisida.

Setelah teh dipetik, teh juga harus melalui tahap pemrosesan seperti pelayuan dan pengeringan. Proses ini seringkali menggunakan kayu dalam jumlah besar atau bahan bakar fosil seperti batu bara. Hal ini tidak hanya menghasilkan emisi CO2, namun juga mendorong pembakaran kayu yang memicu deforestasi.

“Pertumbuhan permintaan teh global lebih dari 2% setiap tahunnya. Tekanan terhadap lahan budidaya dapat menyebabkan peningkatan deforestasi dan emisi gas rumah kaca, yang semakin memperparah dampak perubahan iklim,” sebut Rachel Cracknell, peneliti di Ethical Tea Partnership.

 

Perkebunan teh yang dikelilingi hutan di TN Gunung Halimun-Salak, Jawa Barat. Foto: Mokhamad Edliadi/CIFOR melalui Flickr (CC BY-NC-ND 2.0).

 

Teh dan Dampak Perubahan Iklim

Perubahan iklim adalah ancaman saat ini dan masa depan  produksi teh di seluruh dunia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa berbagai wilayah penghasil teh dunia sedang menghadapi tantangan perubahan iklim, seperti wilayah produsen teh utama di negara bagian Assam di India.

Sebuah laporan dari Ethical Tea Partnership menunjukkan bahwa pada tahun 2050, kesesuaian lahan optimal wilayah penanaman teh di Kenya, Sri Lanka, dan Tiongkok akan berkurang masing-masing sebesar 26,2 persen, 14 persen, dan 4,7 persen, dan pada tahun 2070 kesesuaian di Sri Lanka akan menurun hampir 30 persen.

Perubahan iklim membawa sejumlah tantangan, seperti curah hujan yang tidak dapat diprediksi, tanah longsor, kekeringan yang lebih parah, peningkatan jumlah hama, suhu yang bervariasi, dan menyusutnya area produksi, sebut para ahli.

“Meskipun dampaknya bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Di banyak tempat perubahan iklim telah mendorong terjadinya penurunan produksi dan kualitas teh,” kata Whitebread.

Di Kenya, misalnya, kekeringan menurunkan hasil teh hingga 30 persen. “Anda dapat menemukan banyak tanaman teh mati di ladang karena kekeringan,” sebut Chalo Richard Muoki, Kepala Peneliti di Organisasi Penelitian Pertanian dan Peternakan Kenya.

Lembaganya bekerja untuk mengidentifikasi dampak perubahan iklim terhadap teh, tugas mereka termasuk mencari varian tanaman yang resisten, serta mempromosikan agroforestri.

 

Perubahan cara pengelolaan teh dapat meningkatkan keanekaragaman hayati di pertanian. Berbagai metode pertanian alternatif seperti agroforestri, tumpangsari, dan penggunaan pupuk organik. Foto: Jakub Michankow melalui Flickr (CC BY 2.0).

 

Agroforestri pada Produksi Teh

Perubahan di sisi produksi teh ditengarai dapat membantu industri ini mengurangi dampak lingkungan dan membangun ketahanan iklim.

“Dengan menerapkan praktik regeneratif seperti agroforestri, pengelolaan hama terpadu, dan restorasi tanah, petani akan dapat meningkatkan keanekaragaman hayati dan melindungi lahan,” kata Madhuri Nanda, Direktur Rainforest Alliance untuk Asia Selatan.

Para ahli mengatakan penanaman pohon asli di dalam dan sekitar perkebunan teh dapat memberikan keteduhan dan menahan angin, serta menciptakan iklim mikro untuk tanaman teh.

Di Uganda, sebuah proyek bernama Nature-based Solutions for Climate-Resilient Tea (NbS4T), sebuah kolaborasi antara lembaga penelitian, badan pemerintah, dan industri teh, sedang menguji coba serangkaian langkah mengatasi perubahan iklim.

Salah satunya menggunakan limbah pisang yang banyak dijumpai di sana dicampur dengan limbah teh guna menghasilkan pupuk organik.

“Kombinasi pupuk organik dan wanatani dapat meningkatkan keanekaragaman hayati, memperbaiki tanah, dan kondisi lingkungan mikro di sekitar tanaman,” kata Tumuhimbise, Direktur Penelitian di Organisasi Penelitian Pertanian Nasional Uganda.

Di India, LSM Solidaridad Network melaporkan mengurangi ketergantungan pupuk kimia di kalangan petani kecil dapat dilakukan lewat biosolusi berbasis limbah. Penggunaan pupuk hayati, biopestisida, dan kompos seperti cacing tanah telah mengurangi penggunaan pupuk kimia anorganik sekitar 68%.

Sedangkan untuk mengurangi penggunaan energi berbasis kayu dan bahan bakar fosil yang mengeluarkan emisi CO2, penggunaan energi surya adalah salah satu opsi yang dapat digunakan.

“Saat ini industri teh membutuhkan kayu dalam jumlah besar untuk pemanasan,” sebut Harjit Singh, peneliti dari Brunel University di Inggris.  “Bahkan jika Anda mendapatkan kayu dari hutan lestari, pembakaran tetap menyebabkan emisi karbon.”

Limbah pertanian juga dapat digunakan untuk mengurangi penggunaan kayu. Di Kenya, penggunaan bahan-bahan alami seperti sekam padi, serbuk gergaji, cangkang macadamia yang dihancurkan, dan sekam kopi sebagai bahan bakar pengganti telah mulai dilakukan.

“Industri teh secara aktif mengeksplorasi sumber-sumber biomassa alternatif karena sumber kayu bakar menjadi tantangan keberlanjutan,” jelas Cracknell.

 

Petani teh di Malawi. Berbagai solusi sirkular dapat diterapkan pada pertanian dengan menggunakan limbah dari sektor teh itu sendiri dan sektor lainnya untuk mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia. Foto: Solidaridad

 

Mempertahankan Keanekaragaman Hayati

Perubahan praktik pertanian juga berpotensi mendukung keanekaragaman hayati di perkebunan teh konvensional, jelas para ahli.

Tinjauan jurnal ilmiah yang diterbitkan pada tahun 2022 menemukan bahwa perkebunan teh memiliki keanekaragaman hayati yang lebih rendah dibandingkan pertanian monokultur dan perkebunan lain seperti persawahan, kopi, atau pisang, namun lebih tinggi dibandingkan sawit, tebu, dan jagung.

“Agroekosistem teh tradisional masih merupakan lingkungan yang ideal untuk kelangsungan keanekaragaman hayati,” kata Annesha Chowdhury, Manajer Program Senior di Women’s Earth Alliance.  “Monokultur teh yang dikelola dengan berbagai habitat dan pohon peneduh dapat mendukung keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem itu.”

Dalam pandangan Cracknell, agroforestri adalah masa depan industri teh bagi petani. Hal itu dapat dilakukan lewat penanaman pohon dan menjaga jasa ekosistem, karbon tanah, dan keanekaragaman hayati.

“Peralihan ke ekonomi sirkular dan penerapan praktek yang lebih regeneratif di bidang pertanian merupakan terobosan bagi para petani,” sebut Nanda.

Tulisan asli: Climate change brews trouble for tea industry, but circular solutions awaits. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita

 

Upaya Petani Kopi di Pesisir Jambi Hadapi Perubahan Iklim

 

Exit mobile version