Mongabay.co.id

Indonesia dan Filipina Hadapi Krisis Lingkungan Hidup yang Sama

 

Dari segi lingkungan hidup, Indonesia dalam kondisi tidak baik-baik saja. Bencana alam terjadi di mana-mana baik itu banjir ataupun longsor. Di saat yang sama industri ekstraktif mengeruk sumber daya alam masif terjadi.

Di hampir semua wilayah Sulawesi terdapat pertambangan nikel serta pertambangan industri besar lainnya. Lalu ekspansi perkebunan sawit di Riau, Sumatera, Kalimantan. Ada juga program pemerintah berupa food state yang kesemuanya kemudian menyebabkan penggundulan hutan atau deforestasi.

“Kondisi ini membuat negara kita berada diambang ketaksanggupan alam menanggung beban dan menyerah atau memberikan sinyal-sinyal yellow warning, di mana alam itu sudah memberikan tanda bahwa dia sudah akan mencapai red warning atau ketidaksanggupan menghadapi berbagai bencana,” ungkap Ade Indriani Zuchry, Ketua Serikat Hijau Indonesia (SHI), dalam simposium lingkungan hidup yang dilaksanakan secara daring, Minggu (17/3/2024).

Menurut Ade, dalam situasi ini maka sudah seharusnya seluruh pihak, terutama pemerintah harus menyadari adanya konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang sangat masif, di mana orang harus melakukan tindakan-tindakan ekonomi secara cepat, dengan salah satunya adalah menerima dampak atau konsekuensi dari investasi-investasi besar atau global.

“Nah, yang paling terdampak dari situasi ini adalah teman-teman di desa dan juga teman-teman di kota. Jadi, kalau dulu kota itu tidak menerima dampak bencana, kalau sekarang desa dan kota itu adalah, menerima dampak bencana yang terbesar,” katanya.

Dengan kondisi ini, tambahnya, yang harus kita lakukan adalah berinisiatif secara terus-menerus melakukan gerakan-gerakan penyelamatan terhadap lingkungan, walaupun kecil, tapi itu harus dilaksanakan.

Baca : Catahu Walhi Sulsel 2023 Soroti Krisis Iklim, Transisi Energi dan Hilirisasi Nikel

 

Tambang nikel di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Morowali sebabkan pencemaran udara dan air berdampak pada Kesehatan masyarakat sekitar. Foto: Walhi Sulteng.

 

Diskusi ini juga menghadirkan David D’Angelo, Chairman of the Green Party Philippines, yang menjelaskan situasi Filipina saat ini yang sedang menggenjot pembangunan infrastruktur seperti reklamasi, pembangunan jalan tol, bandara yang megah, dan berbagai proyek lainnya, yang tidak hanya berdampak pada kondisi lingkungan hidup, tapi juga meminggirkan masyarakat lokal serta kriminalisasi terhadap aktivis.

Menurut David, Filipina ini sangat indah dan ini bisa dijadikan sebagai salah satu daerah tujuan bukan hanya wisata tapi tujuan kerja sama  lainnya, tetapi sayangnya pemerintah saat ini lebih berorientasi kepada investasi besar, pada ekonomi berorientasi kapitalistik.

“Dalam kenyataannya masyarakat Filipina itu tidak siap untuk menerima pembaharuan karena mereka masih cenderung hidup secara agraris tetapi sudah masuk investasi besar,” tambahnya.

Sama halnya dengan di Indonesia, masyarakat sipil di Filipina saat ini berusaha mendorong perubahan dengan masif melakukan kampanye melawan kapitalisme, misalnya hanya membeli barang yang dibutuhkan, menolak produk impor, tidak membeli barang-barang yang akan mengancam kehidupan masyarakat lokal. Mereka juga menanam apa yang bisa mereka tanam untuk kebutuhan pemenuhan pangan.

“Berbagai kampanye ini disuarakan melalui platform media sosial yang tersedia,” tambahnya.

Upaya lainnya adalah berjuang lewat pemilu, meskipun upaya ini juga mengalami situasi sama dengan Indonesia, yaitu biaya pileg yang sangat tinggi atau berbiaya mahal. David sempat maju sebagai kandidat namun tidak terpilih.

Wahyu Chandra, jurnalis Mongabay Indonesia, menyatakan bahwa situasi lingkungan hidup di Filipina tak jauh dengan yang terjadi di Indonesia. Isu mengemuka isu tambang, sawit dan pembangunan infrastruktur tanpa mempertimbangkan eksistensi masyarakat sekitar, perampasan tanah masyarakat adat atas nama pembangunan, deforestasi, kriminalisasi dan kekerasan bagi aktivis lingkungan.

“Di Indonesia, situasinya menjadi lebih parah dengan adanya UU ciptakerja yang menjadi karpet merah bagi pengrusakan lingkungan secara masif,” tambahnya.

Menurut Wahyu, situasi ini terjadi karena secara global kita berada dalam rezim pertumbuhan yang mengabaikan keberlanjutan dan hanya menekankan pada pertumbuhan ekonomi, dan abai pada lingkungan.

“Ini membuat negara-negara berlomba-lomba memaksimalkan eksploitasi alam atas nama pertumbuhan ekonomi.”

Baca juga : Aliansi Sulawesi Tampik Klaim Dampak Positif Hilirisasi Nikel

 

Isu lingkungan hidup bukan sajian utama yang mewarnai politik elektoral kita. Sangat sedikit caleg yang mengampanyekan lingkungan hidup yang lebih baik dalam pileg dan pilpres 2024 lalu. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Wahyu juga menyoroti isu lingkungan hidup dalam perhelatan pilpres dan pileg yang lalu, yang tidak mendapat sorotan yang memadai, kalah pamor dengan isu ekonomi dan isu politik elektoral.

“Dalam memilih kandidat, pemilih lebih melihat pada sosok serta apa yang diberikan dibanding pada apa yang diperjuangkan. Para calon dari aktivis yang tak bermodal tidak bisa bersaing dengan calon-calon lain yang memiliki modal yang melimpah.”

Menurutnya, isu lingkungan hidup juga bukan sajian utama yang mewarnai politik elektoral kita. Sangat sedikit caleg yang mengampanyekan lingkungan hidup yang lebih baik. Pilpres pun seperti itu.

“Apa yang didebatkan di pilpres tidak sampai pada substansi. Mereka berdebat tentang hilirisasi padahal permasalahannya jauh lebih kompleks, seperti tata kelola, transparansi, hak masyarakat yang terpinggirkan, dan banyak aspek lain yang tak tersentuh dalam debat yang ada.”

Rizal Pauzi, founder Republik Hijau, menyatakan bahwa isu lingkungan hidup saat ini terpinggirkan karena sejumlah faktor seperti isu lingkungan masih menjadi isu sekunder dalam kebijakan, kurangnya pendidikan, masyarakat yang tidak aware karena tidak merasakan langsung dampak serta gerakan lingkungan hidup yang masih sektoral.

“Sebagai solusi, kita dapat meminjam konsep epistemic governance  di mana yang diperlukan adalah peningkatan kualitas lembaga pendidikan, adanya lembaga yang memproduksi pengetahuan termasuk laboratorium kebijakan serta adanya tradisi policy learning yang kokoh di antara pengambil kebijakan.”

Untuk mendorong isu lingkungan hidup ini ada dua hal yang diperlukan, yaitu penguatan peran pemerintah dan institusi publik. Penguatan peran pemerintah dilakukan dengan penguatan kebijakan berbasis keadilan lingkungan, keterbukaan informasi publik dan kolaborasi pengelolaan dan pengawasan pemanfaatan lingkungan. Sementara untuk penguatan institusi publik yang diperlukan adalah penguatan gerakan politik lingkungan, penguatan gerakan edukasi lingkungan dan penguatan kemandirian ekonomi dan bisnis ramah lingkungan.

David Efendi, aktivis gerakan hijau Muhammadiyah, menyatakan bahwa gerakan lingkungan hidup di Indonesia saat ini tidak punya alat yang cukup memadai untuk menghadapi negara, dan korporasi yang memiliki alat yang sangat sistematis, sangat terstruktur, baik secara birokratis maupun perangkat hukum.

“Tetapi, fakta bahwa kita tidak punya alat yang cukup memadai untuk melakukan perlawanan, tapi mungkin kita punya jumlah kepala yang banyak. Mungkin perlu gagasan-gagasan diisi kepalanya, bukan hanya jumlah kepalanya, gagasan-gagasan di pegiat-pegiat lingkungan, pegiat-pegiat pangan, juga perlu diperkuat untuk menghadapi kelompok yang menguasai banyak aspek.” (***)

 

 

Oligarki Tambang dan Energi di Balik Capres-Cawapres, Apa yang Rawan Tersandera?

 

 

Exit mobile version