Mongabay.co.id

Desa Haya Bisa Hilang Kalau Tambang Pasir Garnet Terus Beroperasi

 

 

 

 

Samadin Samalehu  mondar mandir menenteng karung plastik berisi tulang belulang manusia. Ada tulang kaki, rusuk, hingga tengkorak kepala. Tulang-tulang ini Samadin kumpulkan dari tepian pantai Desa Haya, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, medio Januari lalu.  Hujan lebat disertai angin kencang baru menerpa desa itu.

Wajah Samadin berkeringat bercampur pakaian kena basah air laut. Dia harus berebutan cepat memungut tulang belulang karena terseret gelombang laut di bibir pantai. Ini tulang-tulang dari pemakaman longsor yang berserakan kena hantam gelombang pasang.

Karung plastik Samadin penuh. Dia sudah memungut tulang belulang sekitar satu jam,  terisi dua karung lebih. Tulang-tulang ini sebagian dia kumpulkan di bawah pohon mangga di tengah-tengah tempat pemakaman umum (TPU) Tutuni.

Sudah puluhan makam rusak setelah terjangan gelombang ekstrem. Sebagian makam juga hilang karena tanah tergerus dan abrasi.

Samadin, sesekali bertugas sebagai penjaga makam Tutuni Desa Haya.

Makam-makam di pesisir pantai ini, katanya,  banyak rusak dan hilang. Kondisi ini terjadi karena gelombang ekstrem.  Abrasi di sepanjang pantai Desa Haya menyebabkan dataran sekitar 20 meteran dari laut ini hilang,  termasuk tempat pemakaman umum.

“Ini mungkin sekitar 20-an kuburan rusak, sebagian juga hilang. Banyak makam juga katong sudah kase pindah karena sudah ombak dan abrasi,” katanya.

Abrasi parah ini terjadi sejak perusahaan Waragonda mengambil pasir. “Sebelumnya akang seng seperti begini,” kata Samadin.

 

Kondisi Jalan raya lintas Seram Selatan yang amblas akibat abrasi dan terjangan gelombang laut. Foto: Edison Waas

 

Sejak beroperasi 2021, katanya, banyak warga berebutan mengeruk pasir merah untuk jual ke perusahaan garnet ini. Alasannya, untuk penuhi kebutuhan ekonomi, padahal berdampak buruk bagi masyarakat di Desa Haya.

“Dua tahun lalu itu akang biasa saja. Ketika perusahaan angkat pasir terjadi abrasi besar-besaran di Negeri Haya, terjadi seperti ini. Sebagian besar makam di sini habis dan rusak terkikis gelombang laut.”

Samadin sudah banyak kumpulkan tulang belulang selama sepekan terakhir ini. Dua karung plastik penuh. “Yang kita ambil itu sudah dua karung dan kita kubur,” katanya.

Untuk mencegah banyak kuburan rusak kena hantam gelombang ekstrem, warga bergotong-royong membuat talud pembatas dari bahan seadanya.

Sebenarnya,  kata Samadin, warga sudah protes kepada pemerintah desa maupun perusahaan tetapi selalu diabaikan. Mereka juga beberapa kali menyampaikan persoalan ini ke Pemerintah Maluku Tengah dan Maluku namun taka da tindak lanjut.

“Disini itu warga rata-rata protes, mereka tidak suka dengan perusahaan garnet ini, karena abrasi terlalu cepat di Negeri ini,” katanya.

Samadin dan warga Desa Haya mengkhawatirkan pengerukan pasir garnet ini terus dilakukan maka Desa mereka terancam hilang dan tenggelam.

Saat ini saja,  pengerukan pasir garnet mengakibatkan abrasi sekitar 20-meter hingga TPU, rumah dan kebun warga tergerus.

Warga desa ini hidup dari berkebun, bertani dan nelayan. Hasil tanaman pangan  mereka antara lain, jagung, ubi kayu, ubi jalar.  Sedangkan perkebunan adalah kelapa, cengkih, pala, kakao.

 

Pemukiman penduduk dan TPU bakal terus tergerus kena hantaman gelombang, dan makin parah kala pasir di pantai terus dikeruk. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Tambang pasir dan abrasi parah

Farid Samalehu, tokoh Negeri Haya, mengatakan, Negeri Haya pernah kena banjir pasang laut (rob) hingga merendam rumah-rumah warga. Dia khawatir,  aktivitas pertambangan pasir merah makin memperburuk keadaan.

“Masyarakat sangat resah karena aktivitas tambang pasir garnet ini mengakibatkan terjadi abrasi besar-besaran hingga permukiman terancam,” katanya.

Farid pernah bertugas sebagai Penjabat Kepala Negeri (Desa) sejak Mei 2022. Sebagai penjabat pemerintah desa saat itu Farid banyak tidak sejalan dengan perusahaan. Sejak masuk dan operasi Januari 2021, perusahaan tambang garnet ini banyak melakukan tindakan bertentangan dengan aturan dan Undang-undang.

“Setelah saya dilantik Mei 2022, saya menata ulang. Memang setelah perusahaan ini bergerak, saya lihat belum ada kerja sama dengan pemerintah negeri dengan baik dan setelah saya dilantik saya tata ulang dan panggil perusahaan untuk menata kembali karena terjadi abrasi besar-besaran di pantai,” kata mantan PJ Kepala Desa Haya ini.

 

Farid Samalehu, tokoh Negeri Haya, ketika memantau pesisir pantai yang terus tergerus karena abrasi. Foto: Edison Maas

 

Keberadaan perusahaan pasir garnet di Negeri Haya berawal dengan modus usaha perkebunan kasbi (singkong) di lahan warga yang mereka beli. Usaha itu tak berjalan lama, mereka pun mulai mengeruk pasir. Tempat yang sebelumnya singkong dipagari untuk menutupi aktivitas mereka.

Dalam perjalanan karena sasaran pasir garnet, perusahaan lalu mengeruk di pesisir pantai.  “Setelah ketahuan,  masyarakat baru tahu bahwa ini hasil tambang pasir garnet.”

Dia bilang, setelah ketahuan, barulah perusahaan meminta warga mengeruk pasir merah itu dari pantai. Saat itu,  warga masih belum menyadari dan punyai pengetahuan cukup tentang pasir garnet.

“Mereka menjelaskan kegunaan untuk kertas amplas,” katanya.

Saat dia masih PKN desa, tambang pasir garnet ini beberapa kali pernah ditutup langsung Pemerintah Maluku Tengah. Kala itu, Wakil Bupati Marlatu Leleury langsung memimpin rombongan ke perusahaan dan menutup operasi mereka karena ilegal alias tidak ada izin beroperasi.

“Mereka sempat tutup selama tiga bulan, namun perusahaan kembali dibuka. Masyarakat sempat resah. Kemudian Komisi I dan II DPRD Maluku Tengah mendatangi perusahaan dan memerintahkan ditutup karena ilegal.”

Kemudian, manajemen perusahaan mengaku membuat nota kerja sama dengan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Haya. Padahal, di Desa Haya belum ada Bumdes. Mereka, kata Farid juga berjanji angkut pasir sebatas 10 cm dari permukaan tanah, kenyataan lebih 1-2 meter.

Roy Syauta,  Kepala Dinas Lingkungan Hidup (KLH) Maluku turun langsung ke Desa Haya. Roy menemukan terjadi abrasi dan banjir rob.

Namun dia menampik dampak dari kehadiran perusahaan. Menurut Roy, tanah-tanah atau kuburan rusak sudah terjadi sebelum perusahaan masuk ke sana. “Perusahan ini belum mengambil pasir di pesisir, mereka hanya membeli dari masyarakat yang mengambil di lahan-lahan mereka,” katanya.

Bahkan, kata Roy, pengerukan pasir masyarakat jauh sebelum ada perusahaan tambang pasir garnet. Pasir-pasir itu, katanya, untuk kegiatan perusahaan lain, misal, pembangunan jalan, dan jembatan.

“Hingga semua masyarakat mengambil pasir di pantai situ, dan tidak ada yang melarang. Jadi kalau katong liat kondisi yang ada, itu terjadi sebelum perusahaan pasir garnet ini berkativitas.”

Perusahaan, katanya,  belum menggali sekop, mereka baru membeli dari masyarakat. “Masyarakat yang membawa, jadi ada manfaat di situ yang dirasakan masyarakat, yang punya lahan dan pemilik roda empat.”

Dari keterangan penjabat kepala desa saat itu, kata Roy, memang pernah ada demo dari masyarakat, tujuan bukan menutup perusahaan tetapi meminta perhatian.

Roy bahkan bilang, pengerukan pasir berdampak positif kepada masyarakat Desa Haya, selain menambah pendapatan desa juga warga.

“Kebijakan-kebijakan selama ini perusahaan telah memberikan dampak positif, dari penjualan pasir milik masyarakat, ada sekian persen mereka (perusahaan) bayar ke pemerintah negeri). Kalau tidak salah Rp100 juta,” katanya.

 

Foto Udara pemukiman dan fasilitas ibadah di pesisir pantai yang terancam gelombang laut. Kondisi tambang parah karena pasir di pantai terus dikeruk. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Yusuf Sangadji, pegiat lingkungan Karang Nusantara Maluku, menyesalkan,  aktivitas tambang pasir garnet di pesisir Desa Haya. Pengambilan pasir,  berdampak pada abrasi dan kerusakan terumbu karang, lamun dan mangrove.  Kalau terus dilakukan, katanya,  pesisir sampai ekosistem laut terganggu.

“Sejak 2015, abrasi pantai masif.”

Nelayan juga merasakan dampak. Rahman Ode, nelayan Desa Haya mengatakan, biasa hanya melaut di sekitar perairan Desa Haya, saat ini ikan mulai sulit.

Daerah tangkapan jauh,  hingga dIa terpaksa mengeluarkan ongkos bahan bakar minyak yang tak sedikit. Biasa, daerah penangkapan ikan (fishing ground) terjauh di perairan Pulau Banda.

“Ikan sudah susah ditemukan, baru cuaca ini kan selalu berubah, jadi katong stenga mati kalau melaut, apalagi kalau ombak tinggi,” katanya.

Cuaca laut yang terus berubah membuat Rahman dan nelayan lain jarang melaut.

Dulu, katanya, ikan di sekitar perairan Desa Haya sangat banyak, namun saat ini sulit ditemukan.

Rahman sebut, selain ikan momar dan komu (tongkol), nelayan juga biasa tangkap tuna, cakalang, dan ikan demersal serta pelagis kecil maupun besar.

Namun, dia tak tahu pasti  penyebab ikan jadi sulit di perairan Desa Haya.

 

Pesisir pantai Desa Haya yang terus mengalami abrasi. Pemukiman warga pun terancam. Foto: Edison Maas

 

Rahman punya satu rompong (rumpon)–alat penangap ikan tradisional dari bambu. Nelayan rumpon ini menerangkan, awalnya hasil per-musim sampai 20 ton. Namun, katanya, hanya kisaran 3-5 ton per musim.

Stany. R. Siahainenia, Dosen Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Universitas Pattimura Ambon mengatakan,  tambang pasir garnet sudah tentu berpergaruh pada ekosistem laut.

Ikan-ikan di perairan dekat pesisir otomatis terganggu karena kondisi fisik lingkungan sudah berubah. Lingkungan perairan, katanya, kalau rusak pasti juga berpengaruh ke planktonn, makanan dari ikan kecil.

Kalau rantai makanan terputus, sistem punah dan ikan tidak akan bertahan lama di tempat itu.

Untuk tuna yang makin jauh, katanya,  itu karena perubahan iklim hingga jalur tuna itu bermigrasi menjauh dari garis pantai. “Maka kenapa nelayan itu biasa angkat tuna-tuna kecil di rumpon, otomatis ada kaitan dengan tempat berlindung dan tempat cari makan.”

Untuk tuna di atas 70 sentimeter atau tuna besar biasa sudah makin menjauh.

“Nelayan di Maluku jarang karena biaya operasional seperti minyak BBM dan sebagainya jadi mereka itu agak kesulitan mengejar tuna.”

 

Kata perusahaan?

Mongabay melakukan penelusuran izin usaha pertambangan Waragonda. Berdasarkan data Minerba One Map Indonesia (MOMI) dan Minerba One Data Indonesia (MODI) MODI (esdm.go.id), izin operasi produksi perusahaan ini mulai berlaku setelah mendapat SK persetujuan Gubernur Maluku pada 4 Oktober 2023, berakhir 4 September 2029.

Perusahan akan melakukan produksi pasir garnet dengan luas lahan 25, 73 hektar di Desa Haya, Kecamatan Tehoru, Maluku Tengah.

Kemudian, sejumlah deretan nama mengisi daftar pemegang saham perusahaan antara lain Sarfan Ode, komisaris (70% saham), dan Muhamad Amin Saofa, Direktur Utama (30%). Ada juga Muammar Kadafi Tehuayo, selaku direktur. Muammar merupakan warga lokal Negeri Haya.

Safran Ode, Komisaris Waragonda menampik berbagai masalah sebagai dampak dari kehadiran perusahaan. Menurut dia,  Waragonda telah memenuhi standar aturan berlaku, baik izin usaha pertambangan, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), izin tenaga kerja dan keimigrasian.

Operasi mereka, katanya, sesuai mekanisme aturan pemerintah. Perusahaan bergerak dalam Industri pertambangan pasir abrasive (pasir garnet), memiliki IUP operasi produksi sesuai Keputusan Gubernur Maluku  10 april 2023.

Dengan legalitas, kata Safran, berarti Waragonda memenuhi persyaratan.

Dalam beroperasi, katanya, Waragonda juga pelaporan pekerjaan kepada Dinas ESDM Maluku sebagai bentuk pertanggungjawaban atas rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB). Juga ada pengawasan pekerjaan inspektur tambang Dinas Maluku.

Soal abrasi di Pantai Desa Haya, Safran berdalih, dalam rencana tata ruang Maluku Tengah, wilayah itu masuk sebagai kawasan bencana Pulau Seram. Jadi, kalau sewaktu-waktu terjadi bencana, akan berpengaruh pada laut dan pesisir pantai.

“Itu ada namanya rona awal. Rona awal kalau belum bisa buka tentang dampak bencana dari 2000. Dalam RTRW Maluku dari 2003-2035, Seram Selatan itu daerah bencana. Jika abrasi itu bukan karena perusahaan datang,” katanya.

 

Bagian depan pabrik pasir garnet PT Waragonda Mineral Pratama. Foto: Edison Maas

 

Karena masuk zona bencana, kata Safran, semestinya pembangunan permukiman dan fasilitas umum di Desa Haya sesuai RTRW.

Sebaliknya, kehadiran Waragonda malah menyerap banyak tenaga kerja lokal sebagai bentuk kontribusi perusahaan terhadap daerah. Dia berharap, ada peningkatan ekonomi masyarakat dan berdampak pada pendapatan asli daerah di Maluku Tengah.

Berbeda dengan Bob Rachmat, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Maluku Tengah. Dia mengatakan,  eksploitasi bahan galian C Waragonda sangat merugikan warga. Tingkat kesadaran masyarakat lemah soal ancaman bencana hingga mereka tinggal di pesisir bahkan, turut membantu perusahaan ambil pasir garnet.

Dari analisis BPBD Maluku Tengah, kawasan selatan dari Pulau Seram,  struktur geologi terdapat beberapa patahan dan sesar.

“Sesar atau patahan dalam aspek geologi atau struktur geologi sesuai peta gelogi lembar masohi, patahan sudah ada, baik sesar mayor maupun sesar minor, gempabumi bukan menghasilkan sesar atau patahan,” katanya,  16 Februari lalu.

Dengan begitu, katanya, pengerukan pasir garnet ini bisa berdampak secara struktur geologi.

 

 

 

*Liputan ini merupakan bagian dari “Story Grant Bencana Akibat Kerusakan Ekologis” yang diadakan The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) dan Ekuatorial.

 

 

Kala Abrasi Gili Matra Makin Parah

Exit mobile version