Mongabay.co.id

Tanpa Mitigasi, Longsor di Bandung Barat Bisa Jadi Bom Waktu Paling Berbahaya

 

Seperti sebuah rumus, bencana alam acap kali meningkat intensitasnya ketika peralihan musim. Ironisnya, bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi setiap musim hujan seolah diterima sebagai kemestian alam.

Padahal ihwal potensi bencananya sudah diprakirakan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melalui peringatan dini cuaca ekstrem. Semisal, BMKG merilis laporan pada 29 Februari 2024 lalu. Isi dari analisisnya menyebutkan bahwa pada periode Maret 2024 diproyeksi terjadi cuaca ekstrem di 27 dari 38 provinsi di Indonesia, termasuk Jawa Barat.

Sebagai contoh, selama periode Januari lalu tercatat ada 168 kejadian bencana alam diantaranya 73 angin kencang, 68 pergerakan tanah atau longsor dan 22 banjir di Jawa Barat. Selama periode tersebut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat menyebutkan jumlah warga terdampak mencapai 39.559 orang, bahkan 4 diantaranya meninggal dunia.

Baru-baru ini bencana longsor serta banjir bandang menerjang beberapa desa di wilayah Kecamatan Cipongkor dan Rongga, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Minggu (24/3/2024) malam. Dilaporkan sementara 25 rumah terdampak longsor dari bukit yang ada di atas pemukiman warga di Desa Cibenda. Sementara di Desa Sirnagalih, banjir bandang menerjang pemukiman, kandang ternak, hingga lahan pertanian.

Camat Cipongkor, Rega Wiguna, menerangkan, longsoran berawal dari bukit milik Perhutani yang bergerak setelah diguyur hujan selama kurang dari 2 jam. Tanah dari puncak bukit dengan tinggi sekitar 200 meter itu mengakibat 55 kepala keluarga (KK) atau sekitar 225 jiwa mengungsi.

“Kontur desanya memang perbukitan. Longsor dan banjir bandang terjadi sekitar pukul 8 malam, sampai hari ini ada 10 warga yang kemungkinan besar tertimbun di rumahnya,” kata Rega.

Baca : Longsor di Kawasan Warisan Budaya Dunia, 2 WNA Meninggal

 

Tanah longsor dari puncak bukit mengubur lebih dari 30 rumah di Kampung Gintung, Desa Cibenda, Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, 25 Maret 2024. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Berjarak 9 kilometer, awal Maret lalu, longsor juga memaksa 49 KK warga mengungsi dari Kampung Cigombong, Desa Cibedug, Kecamatan Rongga. Lantaran tanah bergerak seluas 1,5 hektar dan merusak rumah warga.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merekomendasikan relokasi 28 rumah. Alasannya, pasca longsor kondisi tanah cenderung labil dan tak lagi aman untuk berumah.

Euis (50 tahun) adalah salah satu korban yang rumahnya nyaris roboh akibat tanahnya amblas. Bersama suami dan anaknya, Euis terpaksa numpang hidup untuk sementara waktu di kerabatnya.

“Saya baru pertama kali mengalami kejadian ini jadi tidak tahu mesti bagaimana,” keluh Euis saat ditemui Senin (4/3/2024) lalu.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, retakan tanah muncul pertama kali pada pertengahan Februari di SDN Babakan Talang 01 atau sekitar 100 meter dari rumah Eusi. Lebarnya sekitar 20-25 sentimeter.

Sebenarnya, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi, sudah mengeluarkan peta bencana termasuk gerakan tanah. Dan rumah Euis masuk zona berpotensi gerakan tanah menengah-tinggi.

Badan Geologi mengklaim bahwa mereka rajin memberikan rekomendasi ke semua daerah. Rekomendasi itu salah satunya melalui peta bencana termasuk prakiraan gerakan tanah di seluruh Indonesia kepada gubernur yang dikeluarkan secara berkala. Didalamnya meliputi informasi daerah mana saja yang berpotensi mengalami gerakan tanah ke depan.

Baca juga : Banjir-Longsor di Sumbar, LBH Padang Tuntut Evaluasi Izin Tambang

 

Petugas penyelamat mencari warga yang hilang saat tanah longsor dari puncak bukit mengubur 10 rumah dan lebih dari 30 rumah terdampak di Kampung Gintung, Desa Cibenda, Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, (25/3/2024). Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana BNPB, Hafiz Fatah, mengakui bahwa peta kerawanan bencana sudah tersedia. Meski begitu, skalanya masih nasional dan belum didetailkan ke level daerah.

“Yang jadi rujukan satu-satunya masih peta bencana skala 1 : 250.000,” katanya. Nyatanya hal itu masih jauh dari kata mumpuni untuk mereduksi dampak seperti korban jiwa maupun kerugian ekonomi.

Sebagai analis, Hafiz mafhum dibutuhkan peta lebih detail untuk dapat menerjemahkan upaya mitigasi yang sesuai daerahnya. Dan idealnya setingkat kabupaten/kota punya peta yang memuat informasi geologi.

“Sejauh ini ketersedian peta tersebut belum bisa dipenuhi,” imbuhnya. “Setahu saya baru ada rekomendasi Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) untuk setiap daerah provinsi membuat peta bencana dengan skala 1 : 50.000.”

Sebagai acuan, BNPB mengandalkan dokumen Kajian Risiko Bencana (KRB) dan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB). Kata Hafiz, keduanya biasa dijadikan assesment mulai dari pra hingga pasca bencana.

Di Jawa Barat, 27 kabupaten/kota hanya 24 yang memiliki peta KRB aktif. Sedangkan PRB hanya 15 pemerintah daerah yang membuat. Dan Kabupaten Bandung Barat KRB serta PRB sudah tidak aktif sejak 2 tahun lalu.

Dosen Geologi Teknik Institut Teknologi Bandung Imam Achmad Sadisun, mengatakan, ketersedian peta bencana acapkali dipandang sebagai pengeluaran atau cost oleh pemerintah. Karena dianggap tidak penting, akhirnya jarang dibahas dalam penyusunan anggaran daerahnya masing-masing.

Padahal jika pemerintah daerah paham bahwa dalam rumus pembangunan, kerugian akibat bencana begitu besar. Semisal tahun 2022, BNPB mencatat, total kerugian akibat bencana mencapai Rp1,06 triliun pada 2022. Dan tahun sebelumnya yang mencapai Rp11,06 triliun.

Maka tak heran pada masa Kolonial, Hindia Belanda begitu peduli terhadap peta geologi. Mereka jadikan peta itu sebagai acuan pembangunan.

Imam meyakini kegunaan peta geologi dalam pembangunan setidaknya punya 2 fungsi; mengetahui resiko dan menyelamatkan kekayaan atau sumber daya.

“Saya pikir pemerintah Belanda dulu begitu memahami kondisi geologi. Mereka menganggap itu sebagai investasi jangka panjang ketika merancang kota-kotanya. Karena ada datanya sehingga segala sesuatunya bisa diperhitungkan,” jelas Imam kepada Mongabay Indonesia.

Baca juga : Banjir Longsor Lumajang dan Malang Telan Korban Jiwa

 

Foto udara pergerakan tanah di Kampung Cigombong, Desa Cibedug, Kecamatan Rongga, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, awal Maret lalu. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Dengan melihat fenomena warga seolah berhadapan dengan bencana, dia berharap pemerintah daerah berani membuat inisiatif. Setidaknya, ketersedian informasi atau data dapat dijadikan rujukan dalam konteks kontingensi bencana.

“Jangan sampai kejadian yang sama terjadi lagi. Dan pemerintah daerah mau gak mau harus ngasih tahu yang bener. Sehingga masyarakatnya punya pemahaman yang baik akan sebagai instrumen mitigasi kedepannya.”

 

Mereka yang rentan

Seolah berpacu dengan waktu, makin sini bencana makin bersifat diskriminatif. Mereka yang paling miskin dan lemah secara kapasitasnya harus menerima nasibnya tinggal di zona yang beresiko. Fenomena ini jelas terlihat salah satunya di kampung-kampung di KBB.

Para korban umumnya tidak memiliki alternatif hunian lain. Mereka juga tidak punya kemampuan memperkuat struktur lerengan agar lebih aman.

Padahal, menurut Imam, dibandingkan bencana alam lain, gerakan tanah sebenarnya lebih mudah dideteksi karena prosesnya kasatmata. Sederhananya bisa diketahui dari kemiringan lereng lebih dari 30 derajat, jenis tekstur tanah dan ketebalannya, serta pemicu longsor oleh faktor alam seperti curah hujan atau gempa bumi.

Dengan mengenali tanda-tanda itu, seharusnya potensi resiko bisa diminimalisir. Setidaknya, kawasan dengan kondisi labil seperti itu mulai dihindari dari area pemukiman atau mungkin dikosongkan.

Imam menyebut longsor bisa terjadi tanpa mesti terjadi ketika turun hujan. Longsor terjadi sebagaimana proses akumulasi tanah jenuh air sehingga berpotensi saat hujan turun. Untuk itu longsor memang tak pandang waktu. Bisa terjadi siang atau malam hari.

Seperti halnya ancaman bahaya bencana alam lainnya, longsor tidak akan menjadi bencana jika tidak berdampak pada manusia. Artinya longsor tidak akan menjadi bencana jika di luar wilayah manusia.

“Itu sebab secara ilmiah pergerakan tanah atau longsor itu proses alam dimana bumi menyeimbangkan diri (kondisi geologinya). Maka kami dari peneliti beranggapan bahwa setiap lereng punya potensi pergerakan untuk mencari keseimbangan. Tapi keseimbangan disini belum tentu dengan daerah lain tinggal. Soal sejauh mana potensinya itu bisa diketahui melalui kajian” papar Iman.

Baca juga : Biang Kerok Banjir dan Longsor di Batam, Bagaimana Benahinya?

 

Tebing longsor di sekitar Sungai Cimanuk di kecamatan Ganeas, Sumedang, Jawa Barat, pertengahan Maret lalu. Seperti halnya ancaman bahaya bencana alam lainnya, longsor tidak akan menjadi bencana jika tidak berdampak pada manusia. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Regulasi mesti dipatuhi

Selain diskriminatif, disadari atau tidak muncul dinamika sosial yang akut. Ketersedian lahan dan pertumbuhan penduduk membikin keadaan menjadi rumit.

Ahli Peneliti Utama di Pusat Riset Kebencanaan Geologi, Badan Riset Nasional dan Inovasi (BRIN), Eko Soebowo, berpendapat, sekalipun zona merah sudah ditentukan, kadang juga dilanggar pemerintah. Bahkan tidak mempertimbangkan daya dukung maupun daya tampung lingkungan.

Untuk itu, Eko menegaskan, faktor paling penting dalam manajemen bencana adalah manusia. Kontribusi manusia terhadap tekanan longsor ada pada aspek tata guna lahan.

Lerengan berupa hutan dengan penyangga kawasan berupa vegetasi pohon meminimalisir kejadian longsor. Sebaliknya peluang longsor membesar tatkala kawasan penyangga diubah fungsinya.

Soal intensitas hujan, Eko punya pandangan lain. Dengan menganalisis frekuensi dan curah hujan di Jawa dalam 30 tahun terakhir, dia berkesimpulan data curah hujan maksimum tahunan masih relatif stabil.

“Jadi ketimbang faktor alam, faktor antropogenik (faktor manusia) memang lebih dominan menyebabkan banjir dan longsor.”

Menurut Eko selama ini masyarakat belum beranjak menyiapkan diri menghadapi ancaman bencana. Faktor akses terhadap penghidupan acapkali mengubur ingatan bahwa tanah di Jabar punya riwayat ihwal peristiwa erupsi gunung api.

“Agak ironis memang, bisa jadi juga masyarakat mungkin tahu bahaya. Tapi mereka tidak punya pilihan,” ucap Eko.

Oleh karena itu, perlu ada ketegasan dari pemerintah agar pembangunan tidak melebihi daya dukung alam. Setidaknya, negara menggunakan wewenangnya untuk mengamankan area-area hijau untuk keselamatan warganya. Yang paling penting semakin banyak nyawa yang bisa terselamatkan dan meminimalkan kerugian ekonomi.

Sementara itu, Dana (60), warga Kampung Cigintung termenung di antara puing-puing bangunan. Matanya nanar seraya melambungkan harapan agar regu penyelamat dapat menemukan 2 adik yang kala itu mungkin sedang terlelap saat banjir bandang datang tak lama setelah terjadi longsor.

“Semua luluh lantah dalam satu malam,” keluh Dana. “Saya tak pernah membayangkan sebelumnya menemui nasib segetir begini.”

Kisah tentang Bumi Pasundan diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum semestinya dilengkapi cerita tentang bencana. Sejarah perlu diingat kembali bahwa kita hidup berdampingan dengan petaka. (***)

 

 

Curah Hujan dan Kerusakan Lingkungan adalah Paket Pemicu Bencana Banjir dan Longsor

 

 

Exit mobile version