Mongabay.co.id

Konflik dengan PT TPL Berlarut, Masyarakat Adat Tuntut Pembebasan Sorbatua Siallagan

 

 

 

 

 

 

Konflik antara masyarakat adat di Tano Batak dengan perusahaan kertas dan pulp, PT Toba Pulp Lestari (TPL) tak kunjung usai. Komunitas adat di daerah-daerah yang masuk konsesi perusahaan berupaya mempertahakan wilayah adat mereka. Kala perusahaan mengadu, aparat sigap bergerak, seperti penangkapan terhadap  Sorbatua Siallagan, Ketua Komunitas Adat Keturunan Ompu Umbak Siallagan Dolok Parmonangan di Simalungun, Sumatera Utara, 22 Maret lalu.

Ceritanya, pagi itu  Sorbatua Siallagan, bersiap ke kebun.  Langkahnya terhenti saat lima lelaki ke rumahnya. Mereka menyatakan agar ketua adat ini ikut ke Polda Sumatera Utara guna menjalani pemeriksaan soal pengaduan perusahaan bubur kertas bernama PT Toba Pulp Lestari (TPL). Dia dituding menguasai atau menggarap konsesi perusahaan.

Siallagan coba menjelaskan kepada aparat kepolisian itu bahwa lahan diklaim sepihak oleh perusahaan sebenarnya milik masyarakat adat keturunan Ompu Umbak Siallagan Dolok Parmonangan. Aparat tidak mengindahkan. Siallagan dibawa ke mobil dan langsung tancap gas ke Kota Medan untuk proses hukum lebih lanjut.

Penangkapan Siallagan memancing protes masyarakat adat di sana. Mereka tidak terima  ketua adatnya ditangkap dengan tuduhan menguasai  lahan sebenarnya tempat mereka hidup sudah turun menurun di sana.

Rapat adat dilakukan. Mereka berkumpul di balai adat. Hasilnya, mereka akan mengupayakan pembebasan Siallagan dan mendesak pemerintah cabut izin TPL dan kembalikan tanah kepada mereka.

Pada 23 Maret puluhan Warga Adat Ompu mendatangi Mapolda Sumut. Tuntutan belum terpenuhi, aksi kedua kembali digelar 25 Maret. Mereka memaksa masuk namun dihadang puluhan aparat kepolisian. Hingga petang tak membubarkan diri, aparat kepolisian langsung memukul mundur mereka.

“Aksi unjuk rasa ini tidak mengantongi izin. Kita sudah beri kesempatan berdialog di dalam namun mereka tidak mau karena mendesak agar Pak Kapolda turun datangi mereka,” kata AKBP Reza P Lubis, Kepala Pelayanan Masyarakat Polda Sumut.

Pada 27 Maret mereka kembali menggelar aksi dengan tuntutan sama. Suasana sempat ricuh ketika masa mencoba memaksa masuk. Satu pengunjuk rasa diamankan polisi karena dianggap sudah melakukan pelanggaran.

Bersama puluhan mahasiswa yang mendukung aksi ini, massa menutup jalan utama lintas Sumatera hingga terjadi kemacetan. Mereka bentangkan sejumlah poster tuntutan pembebasan ketua adat.

Pada Rabu sore, Nikolaus Julio Sitorus yang sempat diamankan polisi dilepaskan.

 

Hutan adat di Tano Batak, yang berubah jadi kebun eukaliptus. Saat mereka berupaya membertahankan ruang hidup, berhadapan dengan aparat. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Akan ajukan praperadilan

Audo Sinaga, kuasa hukum Siallagan dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), mengatakan, mereka berencana pengajuan pra peradilan atas penangkapan dan penetapan tersangka Siallagan.

Dikutip dari Betahita, dia katakan, upaya hukum ini tengah tim kuasa hukum yang tergabung dalam Koalisi Gerakan Tutup TPL diskusikan.

Secara kronologis, katanya, banyak prosedur dilanggar polisi saat penangkapan Siallagan.

Kombes Hadi Wahyudi, Kabid Humas Polda Sumut dalam rilis mengatakan, penangkapan Siallagan berdasarkan pengaduan TPL dengan laporan polisi pada 16 Juni 2023. Orang yang melaporkan, Reza Adrian selaku Litigation  Officer TPL.

Dalam pengaduan, pelapor menyatakan,  Siallagan diduga merusak dan menebang eucalyptus perusahaan.Juga diduga membakar lahan serta pendudukan kawasan hutan secara tidak sah. Luas lahan masuk dalam konsesi perusahaan yang dikerjakan Siallagan cs  seluas 162 hektar.

“Sorbatua Siallagan diduga mengklaim lahan PT Toba Pulp Lestari dengan cara membangun sebanyak lima pondok dan menanam palawija berupa ubi, jahe, cabai, jagung serta tanaman lain,” kata Hadi.

Alasan penjemputan paksa, katanya, karena pelaku tidak memenuhi dua kali surat pemanggilan pemeriksaan.

Salomo Sitohang, Corporate Communication Head Toba Pulp Lestari, Tbk menyatakan, TPL menghormati keberadaan masyarakat adat di seluruh area perusahaan beroperasi. TPL juga berkomitmen mengedepankan dialog terbuka untuk solusi damai dengan masyarakat.

Sampai saat ini, katanya,  TPL hanya menerima 10 klaim tanah adat dan sudah selesai dengan kemitraan kehutanan pola perhutanan sosial. Dari daftar 10 klaim tanah adat  itu, katanya, Op. Umbak Siallagan tidak ada. Apabila ada klaim, katanya, masyarakat bisa mengajukan sesuai prosedur berlaku dan TPL menghormati prosedur.

“Kasus ini tindakan kriminal murni dilakukan individual. Kami menghormati proses hukum, peraturan dan UU berlaku,” kata Salomo ketika dikonfirmasi Mongabay.

Jhon Toni Tarihoran, Ketua Pengurus  Harian Aliansi  Masyarakat Adat Nusnatara (AMAN) Wilayah Tano Batak menyatakan, dari penangkapan Siallagan terlihat aparat mementingkan investasi. Beberapa tahun terakhir, perusahaan itu memasuki wilayah adat Dolok Parmonangan. Masyarakat bersama-sama berupaya mempertahankan wilayah adat mereka.

Wilayah Adat Dolok Parmonangan sekitar 851 hektar,  yang tumpang tindih dengan konsesi TPL 428 hektar. Masyarakat adat di sana sudah menguasai dan mengelola tanah adat selama 11 generasi. Rinciannya, satu generasi 25 tahun maka mereka sudah ada 250 tahun lalu. Lahan itu, katanya,  warisan leluhur mereka.

AMAN Tano Batak pun, katanya, mendesak pembebasan tanpa syarat Siallagan karena dia bukanlah penjahat tetapi pemimpin masyarakat adat.

 

Aksi Masyarakat Adat Keturunan Ompu Umbak Siallagan Dolok Parmonangan, menuntut pembebasan ketua komunitas adatnya. Foto: AMAN Tano Batak

 

AMAN Tano Batak juga mendesak polisi hentikan segala bentuk  intimidasi, penangkapan terhadap para pegiat masyarakat adat. “Petani,  mahasiswa maupun pegiat HAM dalam mempertahankan hak-hak tenurial mereka.”

Pemerintah, katanya, harus melindungi masyarakat adat karena mereka sudah ada jauh sebelum Indonesia ada.

“Pemerintah supaya mengakui wilayah adat Dolok Parmonangan. Sebelumnya, KLHK mengeluarkan  konsesi TPL atau menghentikan kegiatan perusahaan dari wilayah adat untuk menghindari konflik.”

Sejak 2011 sampai saat ini, katanya,  sedikitnya ada 75 pengaduan komunitas adat terhadap TPL. Kejadian seperti ini, katanya,  bisa saja terjadi pada komunitas adat yang lain  yang mempertahankan wilayah adatnya.

“Menurut saya, langkah seperti  ini satu upaya perusahaan guna menghentikan suara masyarakat  adat terus menuntut wilayah  adatnya,” kata Jhon.

Dia katakan, seharusnya aparat mengerti dan memahami latar belakang kasus konflik lahan ini.  Sejak awal, dari saat penunjukan kawasan hutan oleh pemerintah, katanya, sudah tidak jelas karena tak melibatkan masyarakat adat. Kemudian pemerintah berikan izin kepada perusahaan pun tanpa melibatkan masyarakat adat. Sedangkan, masyarakat adat sudah hidup dan mengelola wilayah itu  turun menurun.

“Berujung konflik tak pernah berhenti.”

 

Aksi Masyarakat Adat Keturunan Ompu Umbak Siallagan Dolok Parmonangan minta ketua komunitas adat mereka dibebaskan. Foto: tangkapan layar

******

Mempertahankan Lahan dari PT TPL, Belasan Warga Adat Natumingka Luka-luka

Exit mobile version