Mongabay.co.id

Banjir Demak, Alih Fungsi Lahan dan Hilangnya Selat Muria

 

 

 

 

Banjir parah melanda Demak dan sekitar membuka kembali lembaran fakta sejarah yang lama terkubur, munculnya Selat Muria. Narasi kembalinya selat yang hilang itu pun banyak bertebaran di media sosial, seiring banjir parah di wilayah itu.

Sebelum Kabupaten Kudus, Jepara dan Pati, seperti wujud sekarang,  dulu bukan bagian dari Pulau Jawa. Ketiga daerah itu dipisahkan Selat Muria yang membentang di sisi utara Kabupaten Demak, sebelum akhirnya tertutup sedimentasi.

Buku 50 Tahun Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional menyebutkan, penyelidikan keramik oleh William Frederik Stutterheim, aerkolog zaman Belanda di sekitar Prambanan (1939) dan di daerah Grobogan-Blora (1940) diperoleh kepastian,  daerah sekitar Gunung Muria abad VIII-IX adalah pulau tersendiri yang terpisah dari Jawa. Pulau ini berada di seberang utara Demak.

Di Kabupaten Kudus, beberapa daerah yang menempati bekas Selat Muria itu antara lain meliputi Kecamatan Undaan, Mejobo, Kaliwungu, dan Jekulo. Sedangkan di Kabupaten Jepara, meliputi Kecamatan Mayong, Nalumsari, Welahan, Donorejo, dan Keling.

Pada masanya, di tepi Selat Muria terdapat pelabuhan-pelabuhan perdagangan dengan berbagai produk seperti kain tradisional dari Jepara, garam dan terasi, serta beras dari pedalaman Jawa dan Pulau Muria. Alasan itu pula yang menjadikan Selat Muria sebagai jalur perdagangan penting di zaman itu.

Sejumlah laporan menyebut, Selat Muria ditutup usai alami pendangkalan sejak 1657. Pendangkalan terjadi karena sedimentasi massif dari sungai-sungai besar yang bermuara di selat ini, seperti,  Kali Serang, Sungai Tuntang, dan Sungai Lusi. Hingga akhirnya, pelabuhan pun beralih ke Jepara.

Namun, jejak selat ini masih bisa terlihat dari keberadaan Sungai Kalilondo yang membentang dari Juawa di timur hingga ke barat di Ketanjung. Atau juga Kali Silugonggo di Kabupaten Pati. Bahkan, di lokasi ini juga kerap ditemukan bangkai perahu, kapal, hingga meriam sisa-sisa peninggalan masa lalu.

 

Kolam sandar kapal yang akan dibuat di kawasan Pelabuhan Bajomulyo, Juwana, Pati, Jawa Tengah. Pelabuhan ini berada di badan Sungai Siligonggo yang dulu bermuara di Selat Muria.Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Kali Silugonggo barangkali menjadi satu-satunya situs hidup yang masih bisa dijumpai hingga kini. Memiliki ukuran sangat lebar, sampai saat ini, sungai ini menjadi tempat sandar ratusan kapal pencari ikan berbagai ukuran, dari 30-200 GT.

Silugonggo juga satu-satunya pelabuhan perikanan yang di badan sungai dan tidak berhadapan langsung dengan laut. Sayangnya, seperti yang terjadi di banyak sungai di Indonesia, sedimentasi yang terjadi juga menjadi ancaman sungai ini. “Itu yang sering kami keluhkan. Beberapa kali kami ajukan normalisasi karena itu jadi jalur kapal untuk sandar,” kata Munandirin, nelayan asal Juwana, Pati.

Eko Putro Hendro Dkk, dalam Demak Kingdom: Study of Environmental Condition and Geographical menyebut, era kejayaan Kerajaan Demak tidak bisa lepas dari Selat Muria era itu. Lokasi Demak di dekat Selat Muria dinilai cukup strategis untuk perdagangan maupun pertanian. Bahkan kala itu, Demak disebut-sebut sebagai eksportir beras dan bahan pangan lain hingga ke Malaka.

De Graaf dan TH.G.TH. Pigeaud, dalam karyanya berjudul Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa (1985) menulis, pada abad XVI Demak menjadi tempat penimbunan padi dari daerah-daerah pertanian di pedalaman Jawa. Proses distribusi dengan memanfaatkan jaringan sungai-sungai besar yang bermuara di sekitar Selat Muria.

“Selat ini relatif lebar dan dapat dinavigasi dengan baik, hingga kapal dagang dari Semarang dapat mengambil jalan pintas untuk berlayar ke Rembang, meski sejak abad 17, selat ini hanya bisa dilalui kapal-kapal kecil,” tulis keduanya.  Sejak saat itu, pelabuhan mulai bergeser ke Juwana dan Jepara.

Jepara terletak di sebelah barat pegunungan yang dahulu adalah pulau (Muria). Kota ini Jepara mempunyai pelabuhan aman yang (semula) dilindungi tiga pulau kecil. Letak pelabuhan Jepara sangat menguntungkan bagi kapal-kapal dagang besar, yang berlayar lewat pantai utara Jawa menuju Maluku dan kembali ke barat.

Dian Novita dalam Tinjauan Awal: Sedimentasi di Selat Muria sebagai salah satu penyebab mundurnya kerajaan Demak menyebut, pelabuhan Jepara relatif lebih aman dari terjangan gelombang besar hingga kapal-kapal dagang yang berlayar dari Maluku kerap jadikan pelabuhan ini tempat berlabuh.

 

 

Karena itu, matinya pelabuhan yang menjadi urat nadi perekonomian itu tak pelak jadikan kerajaan Demak lama kelamaan alami kemunduran. Ditambah lagi ada gejolak politik karena perang saudara yang makin melemahkan peran kerajaan.

Dian mengatakan, secara morfologi, Demak saat ini merupakan dataran rendah (cekungan) yang dikelilingi tiga pegunungan, yakni, Pegunungan Muria di Timur Laut, Pegunungan Rembang di Tenggara dan Pegunungan Kendeng di Barat Daya. Bagian Barat Laut,  dibatasi Laut Jawa.

“Beberapa sungai yang mengalir di Demak umumnya berusia dewasa yang ditunjukkan arus yang relatif tenang dan erosi horizontal lebih dominan daripada erosi vertikalnya.”

Situasi itu, katanya,  jadikan kekuatan arus makin melemah hingga banyak sedimentasi di pinggir maupun tengah sungai membentuk point bar dan channel bar.

Secara geologi, di sebelah tenggara Demak terdapat jalur patahan besar yang memanjang hingga memotong Pantai Glagap. Jalur patahan ini kemudian jadi aliran Sungai Tuntang yang mengalir hingga Demak. Dari sungai inilah material sediman banyak dipasok. Bahkan, banjir di Demak belakangan ini juga tak luput dari luapan sungai ini.

 

 

Proses sedimentasi

Awalnya, cekungan Demak berupa cekungan berisi air laut yang diapit tiga pegunungan: Muria, Kendeng dan Rembang. Cekungan ini mulai terisi limpahan material hasil erupsi vulkanik Gunung Muria dan dari proses denudasional Pegunungan Kendeng yang membawa pasokan material sedimentasi di cekungan Demak.

Mengutip Siddi Saputra, Dian bilang, ada jalur patahan dialiri Sungai Tutang yang bermuara di Glapan dan Sungai Gelis yang bermuara di Kudus (sekarang) membuat laju sedimentasi di daerah ini lebih cepat. Hingga, muara sungai terbentuk tumpukan material sedimen yang berkembang menjadi delta.

Terbntuknya patahan radian yang teraliri sungai besar menyebabkan daerah Welahan juga terbentuk endapan delta. Material sedimen banyak terakumulasi karena aliran sungai tertahan endapan erupsi vulkanik hingga sedimen tidak dapat diteruskan ke laut. Sedimen mengendap di sungai kemudian menjadi delta Welahan.

Delta Tuntang terbentuk lebih cepat dibanding Delta Kudus,  selain karena mendapat pasokan material dari Sungai Tuntang, juga dari Sungai Lusi yang memiliki aliran cukup besar.

Menurut Dian, proses pembentukan Demak tak lepas dari proses pembentukan delta yang banyak didominasi arus pasang surut. Arus pasang surut menyebabkan pola arah aliran sungai dari Pegunungan Kendeng sebagian mengalir sejajar ke arah Timur Laut. Sedangkan pada tepi Muria, mengalir ke Barat Daya.

Kedua pola penyaluran ini kemudian berbelok sejajar manuju laut lepas dan relatif tegak lurus terhadap garis pantai. “Kekuatan arus yang membawa material telah melemah hingga proses pengendapan berjalan cepat,” tulis Dian.

Cekungan Demak yang terlindungi Gunung Muria membuat gunung ini sebagai pemecah gelombang. Arus laut ke arah pantai membentuk arus yang bergerak sepanjang pantai (longshore current). Sedimentasi yang berjalan terhalang oleh arus ini menjadikan terbentuknya spite yang selanjutnya berkembang jadi tombolo memanjang dari Tiduran hingga Semarang.

Pada daerah belakang Tombolo biasa terbentuk rawa-rawa yang merupakan perkembangan dari lagoon. Saat ini, kata Dian,  rawa itu bisa dijumpai di sepanjang garis pantai Demak yang banyak ditumbuhi mangrove. Katika pasang, daerah ini akan tergenang air laut.

Cepatnya proses sedimentasi karena pembentukan tombolo dari Tiduran hingga Semarang, yang akhirnya menyebabkan arus di belakangnya lebih tenang dan mengendapkan material sedimentasi. “Demak sekarang dapat dikatakan hasil perkembangan dari Delta Tuntang, Delta Welahan dan Delta Kudus.”

 

Jalanan pun bak jadi sungai di Kabupaten Demak, karena dilanda banjir bandang sejak awal Februari 2024. Foto: Rezanda Akbar

 

Dalam artikel berbahasa Belanda berjudul Japara in 1873 yang ditulis Paula Van Gestel menyatakan, sebelum seperti sekarang ini, Jepara adalah kota kecil di sebelah barat pulau kecil di utara Pulau Jawa. Keduanya terpisahkan selat yang alami pendangkalan karena sedimentasi (lumpur). Gestel menyebut, selat yang membentang dari barat ke timur itu mulai ditutup sekitar 1657.

Pada 1873 (abad 19), Belanda sempat membuat peta besar yang menunjukkan Jepara sebagai kota di semenanjung Muria. Tempat itu sempat menjadi cabang VOC pada 1614, termasuk salah satu yang tertua di Pulau Jawa, dan menjadi kota utama kompeni pada 1651-1708, sebelum akhirnya bergeser ke Semarang dipada 1708.

Gestel menjelaskan, berdasar peta Belanda pada 1873 itu, semua permukiman berada di sekitar Gunung Muria. Gunung berapi dengan tinggi 1602 meter di atas permukaan laut itu diperkirakan muncul pada zaman Plestosen dan terakhir kali meletus sekitar awal munculnya manusia.

Di sisi selatan, antara Gunung Muria dan Pegunungan Kapur Utara merupakan dataran rendah yang berupa selat berlumpur. Lumpur yang memenuhi selat makin mengalami pemadatan pada abad 18. Namun, katanya, saat peta dibuat (1866-1869), Jepara bukanlah kota berkembang.

Banjir yang kerap melanda cekungan bekas selat menyebabkan pemasaran produk pertanian terhambat. Hasil pertanian pun turun karena dilanda banjir. Begitu juga dengan produk kayu jati untuk furnitur, rumah dan kapal alami penurunan.

Gunadi Kasnowiharjo,  Pusat Riset Arkeologi Prasearah dan Sejarah BRIN, mengatakan, ada banyak fakta sejarah belum terungkap di sekitar Pulau Muria ini. Termasuk, bagaimana pola atau sebaran permukiman di sekitar selat Muria zaman dulu.

Dia sempat menemukan beberapa fosil purba di lokasi dalam kondisi utuh ketika penelitian di sekitar Pulau Muria, beberapa tahun silam. “Tapi, waktu itu hanya fokus di daerah atas untuk mengetahui dampak dari letusan purba Gunung Muria. Sangat penting penelitian di daerah bawah, sekitar Selat Muria,” katanya.

Gunadi katakan, kiriman sedimentasi dari selatan (pegunungan Kendeng) dan Gunung Muria di sisi utara menjadikan selat yang menjadi jalur perdagangan penting itu menjadi daratan seperti sekarang ini. “Dari selat, lama-lama menjadi rawa-rawa. Karena sedimentasi terus masuk, akhirnya menjadi daratan  dan nyambung dengan Jawa,” kata Gunadi.

 

 

Dampak deforestasi,  akankah selat kembali?

Eko Soebowo,  Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN mengatakan, menyatunya Pulau Muria dengan Jawa tak lepas dari deforestasi yang berlangsung selama ratusan tahun. Hutan-hutan di Jawa Tengah dan Jawa Timur,  yang memiliki kayu berkualitas tinggi alami eksploitasi besar-besaran.

“Selat Muria yang riak air lautnya tidak terlalu besar, selama ratusan tahun perlahan-lahan menghilang dan kemudian menjadi dataran rendah akibat sedimentasi yang tinggi dari Pulau Jawa bagian utara,” katanya, dikutip dari laman BRIN, 30 Maret lalu.

Pada 1920, panjang Sungai Wulan di Demak alami penambahan panjang sampai 100 meter. Dalam waktu sama, wilayah Demak bertambah sekitar 30 meter dan Semarang 26 meter.

Kendati pun banjir parah melanda Demak dalam belakangan waktu terakhir, dia meyakini itu tidak serta merta bakal mengembalikan Selat Muria yang sudah lama  terkubur.

“Jika banjirnya surut, akan kembali menjadi daratan. Perlu waktu jutaan tahun melalui proses geologi yang luar biasa untuk mengambalikan Selat Muria.”

 

Truk-truk membawa barang pun terjebak banjir bandang di Kabupaten Demak. Foto: Rezanda Akbar

******

Kala Banjir Bandang Terjang Humbang Hasundutan, Penyebabnya?

Exit mobile version