- Banjir bandang dan longsor melanda Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, pada 1 Desember lalu menghantam pemukiman. Air sungai meluap sambal membawa material kayu, batu dan pasir. Setidaknya, belasan orang hilang, satu meninggal dunia.
- Sebelum banjir bandang dan longsor awal Desember itu, pada 13 dan 14 November juga terjadi bencana serupa di Samosir dan Humbahas. Hujan deras menyebabkan Sungai Aek Silang, di Kecamatan Baktiraja, Humbahas, meluap. Banjir bandang menghantam pemukiman dengan air yang membawa kayu, batu, maupun pasir.
- Walhi Sumatera Utara pun menilai, banjir di Samosir dan Humbahas karena hutan menyusut di hulu desa-desa. Hutan Tele dianggap sebagai penjaga keberlanjutan dan stabilitas iklim yang memengaruhi debit air Danau Toba.
- Berdasarkan hasil pantauan pesawat drone Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), ditemukan ada perambahan hutan di atas bukit di hulu perbukitan Desa Simangulampe, tepatnya Di Desa Habeahaan, Kecamatan Lintong Ni Huta.
Banjir bandang dan longsor melanda Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, pada 1 Desember lalu menghantam pemukiman. Air sungai meluap sambal membawa material kayu, batu dan pasir. Setidaknya, belasan orang hilang, satu meninggal dunia.
Malam itu, hujan deras melanda Desa Simangulampe, Humbahas hingga sungai meluap hingga rumah-rumah rusak kena hantaman air yang datang bersama kayu, batu maupun pasir.
Budiono, Kepala Kantor Basarnas Medan mengatakan, sejak mendapatkan laporan, Basarnas Medan langsung mengerahkan personel dari Pos SAR Parapat Danau Toba menuju lokasi guna pencarian. Mereka bawa peralatan dan beberapa peralatan pendukung lain.
Dari pendataan lapangan petugas gabungan setidaknya 12 orang hilang.
“Banyaknya batuan akibat banjir bandang dan longsor hingga benar-benar menyulitkan tim dalam pencarian, “ kata Budiono.
Hingga kini masih dilakukan pencarian korban oleh gabungan kepolisian, TNI, BPBD, dan Basarnas. Tiga alat berat dikerahkan untuk menggeser timbunan batu yang menimbun gereja Katolik, sekolah, puluhan rumah warga, dan penginapan (hotel).
Banjir disertai longsor itu juga menutup jalan hingga akses dari Bakkara (Humbahas) menuju Muara (Taput) terputus.
Seorang warga ditemukan dengan meninggal dunia dampak banjir bandang di Desa Simangalumpe, Baktiraja pada 1 Desember lalu.
Ricardo, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logisik BPBD Humbahas dalam rilis mengatakan, dengan satu orang meninggal dunia, maka warga yang masih dinyatakan hilang jadi 11 orang.
Anggota BPBD Humbahas bersama tim gabungan yang terdiri dari TNI, Polri, Basarnas, Satpol PP, Dinas Sosial, Tagana dan Destana terus berupaya melakukan pencarian dan pertolongan terhadap 11 warga itu.
Ricardo bilang, sekitar 350 orang tim bersama warga lakukan pencarian. Upaya pencarian, katanya, alami sedikit kendala karena cakupan permukiman terdampak banjir bandang tertutup material bebatuan besar, lumpur dan puing berupa batang pohon berukuran sedang hingga besar.
Beberapa rumah warga bahkan hampir tertimbun material yang dibawa banjir bandang hingga menyisakan atap.
Tim gabungan mengerahkan tiga eksavator, satu backhoe loader, dua mobil pemadam kebakaran, lima mobil ambulance, mobil double cabin dan dua trado. BPBD Humbahas juga mengerahkan perahu karet dan dump truk.
Ricardo bilang, data sementara kerugian materil yang dihimpun dalam kaji cepat meliputi 32 rumah rusak berat, satu tempat ibadah, satu sekolah dan satu puskesmas pembantu. Warga yang mengungsi diperkirakan 200 orang.
Hasil pantauan dan analisa BMKG Sumut, banjir bandang terjadi karena akumulasi hujan selama tiga hari sebelum kejadian.
“Hujan sedang dan lebat dengan intensitas 55 mm hingga tadi, berlangsung di hulu dan hilir. Bongkahan batu akibat sorongan dinding di aliran sungai terkubur di lereng, batu terbawa arus,” kata Ramost, BMKG Wilayah I Sumut saat diwawancara di Simangulampe.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengimbau, pemangku kebijakan di daerah untuk mitigasi meliputi pemantauan kondisi tebing hingga hulu sungai, dan pembersihan sampah maupun material lain yang dapat menyumbat aliran air. Juga, monitoring kondisi tanggul, jalan dan jembatan hingga pemantauan debit air saat hujan berkala.
“Bagi masyarakat yang bermukim di sepanjang aliran sungai dan tebing agar evakuasi mandiri sementara kalau hujan menerus dengan intensitas tinggi lebih satu jam,” kata Abdul Muhari, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, dalam rilis.
Masyarakat, katanya, diharapkan selalu memperhatikan kondisi debit sungai dan menghindari lereng curam yang minim vegetasi.
Berulang
Sebelum banjir bandang dan longsor awal Desember itu, pada 13 dan 14 November juga terjadi bencana serupa di Samosir dan Humbahas.
Hujan deras menyebabkan Sungai Aek Silang, di Kecamatan Baktiraja, Humbahas, meluap. Banjir bandang menghantam pemukiman dengan air yang membawa kayu, batu, maupun pasir.
Puluhan rumah terendam dan lebih 30 hektar sawah di Desa Marbun, Simamora, dan Siunongunongjulu, hancur kena terjangan gelombang air.
“Kira-kira tengah malam, sekitar pukul 3.00 pagi kami masih tidur. Air sudah sampai ke halaman rumah, tiba-tiba terdengar suara seperti petir, ternyata itu batu dan pasir. Perlahan-lahan, air sudah setinggi pinggang,” kata J. Lumbanbatu, warga Marbun Tonga Dolok, Bakkara.
Dia pun membangunkan istri dan anak-anak untuk mengungsi.
Investigasi KSPPM, aliran Sungai Aek Silang ke arah hulu berada di Desa Siria-ria, tempat proyek pengembangan pangan skala besar (food estate) berada.
Pembukaan jalan berada persis di Daerah Aliran Sungai Aek Silang yang sebelumnya banyak pepohonan. KSPPM menyebut, penggundulan hutan menyebabkan erosi yang langsung mengarah ke sungai hingga menyebabkan pendangkalan hulu Aek Silang.
“Selain proyek food estate, di hulu Sungai Aek Silang ada bisnis perkebunan monokultur eukaliptus. Tepatnya konsesi PT Toba Pulp Lestari sektor Tele,” sebut KSPPM.
Pada 13 November lalu pun banjir disertai longsor merusak desa di Kecamatan Harian, Samosir. Rumah-rumah terbawa arus sungai yang meluap, meninggalkan pemandangan kehancuran dan duka.
Berbagai organisasi masyarakat menyuarakan kritik terhadap aktivitas perusahaan perkebunan eukaliptus TPL. Dalam diskusi publik, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak menuding perusahaan ini sebagai penyebab longsor dan banjir di berbagai wilayah Danau Toba.
Walhi Sumatera Utara pun menilai, banjir di Samosir dan Humbahas karena hutan menyusut di hulu. Hutan Tele dianggap sebagai penjaga keberlanjutan dan stabilitas iklim yang memengaruhi debit air Danau Toba.
Rianda Purba, Direktur Eksekutif Walhi Sumut mengatakan, tutupan hutan dan analisis peta alur sungai, hulu dari desa-desa terdampak banjir ini merupakan bentang alam Tele.
Bentang Tele, katanya, memiliki fungsi ekologis sangat penting untuk Danau Toba. Bentang ini, katanya, adalah kawasan hutan terakhir guna memastikan keberlanjutan stabilisasi iklim dan kontrol debit air Danau Toba.
Bentang Tele, kata Rianda, sedang terancam, baik legal via konsesi tebang TPL seluas 68.000 hektar, maupun ilegal dari perusahaan- perusahaan kayu di sekitar kawasan itu.
Bentang hutan Tele, katanya, juga punya fungsi penting untuk memastikan keselamatan puluhan desa di pinggiran Danau Toba.
Desa-desa di lembah Samosir, katanya, menggantungkan hidup dari kelestarian hutan ini, karena sumber air untuk berbagai keperluan dari mengairi lahan persawahan maupun kebutuhan air bersih.
Kerusakan Tele, katanya, rawan menimbulkan longsor di sepanjang tebing tmpat warga tinggal.
“Walhi Sumatera Utara meminta pemerintah segera menyelesaikan persoalan banjir secara holistik yaitu mengembalikan fungsi hutan di Bentang Tele,” katanya kepada Mongabay.
Kalau ada perusahaan beroperasi, kata Rianda, pemerintah harus mencabut izin dan mengembalikan fungsi sebagai upaya mitigasi bencana di masa depan.
TPL menolak sebagai dalang banjir yang melanda beberapa desa di kawasan Danau Toba, Samosir, dan Humbahas. Dalam web resminya, TPL menepis tudingan sebagai penyebab bencana longsor dan banjir. Peristiwa yang terjadi, katanya, bukanlah dampak dari operasional perusahaan perkebunan eukaliptus.
Jandres Silalahi, Direktur TPL mengatakan, banjir bandang di Samosir karena beberapa faktor, seperti, curah hujan tinggi selama 12 jam, dan kondisi tutupan lahan daerah tangkapan air Danau Toba sebagian besar bukan hutan. Dengan begitu, katanya, kemampuan tanah meresap air sangat rendah.
Dia menilai, kondisi lereng kurang lebih 73% dan sangat curam, serta banyak lumpur maupun bebatuan di dasar sungai, yang menyebabkan Sungai Sitio-tio, tersumbat.
“Pasca peristiwa banjir bandang, perusahaan telah menurunkan tim untuk pengecekan dan analisis lapangan. Kondisi Sitio-tio membentuk bendungan sementara. Akhirnya, sungai tertutup dan meluap ke alur sebelah tenggara. Tidak ada pengaruh atau keterkaitan operasional TPL,” kata Jandres.
TPL akan beri bantuan sembako.
“Saya dihubungi TPL. Saya bilang, oh terima kasih atas bantuannya, tetapi kalau TPL mau membantu warga Sihotang, bantulah untuk memperbaiki sawah yang tertimbun batu, pasir dan pohon,” kata Sartono Sihotang, warga Kenegerian Sihotang, Kecamatan Harian.
“Kalau sembako sudah ada dari Dinas Sosial. Bantulah warga untuk kelanjutan pertanian.”
Dia bersikeras, banjir dan longsor dampak ada kerusakan hutan oleh TPL.
Ada beberapa sungai, air terjun, atau aliran air bermuara ke Danau Toba. Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba ini tersebar di tujuh kabupaten, termasuk Samosir, Humbahas, dan Tapanuli Utara.
Hasil pemantauan Satgas Penyelamatan Ekosistem Danau Toba, ditemukan praktik penebangan pohon masif dan penebangan liar di daerah aliran Sungai Aek Silang. Beberapa titik tutupan hutan di sepanjang Aek Silang mengalami degradasi.
“Ekosistem DTA harus terjaga dengan baik karena rawan bencana hidrologi seperti banjir, longsor, dan banjir bandang,” sebut Satgas Humbahas.
Perambahan hutan
Berdasarkan hasil pantauan pesawat drone Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), ditemukan ada perambahan hutan di atas bukit di hulu perbukitan Desa Simangulampe, tepatnya Di Desa Habeahaan, Kecamatan Lintong Ni Huta.
Esra Sinaga, Kepala KPH XIII Doloksanggul menepis fakta itu. “Hujan terus-menerus membuat sungai meluap, dan batu-batu terbawa arus. Lahan merupakan APL (alokasi penggunaan lain) bukan hutan lindung. Menurut pantauan kami tidak ada penebangan di atas lokasi itu,” katanya.
Selain itu, hasil pantauan dari satelit Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Humbahas membenarkan ada penebangan di atas bukit di Desa Habeaan pada ketinggian 1.200-1.300 mdpl.
“Rata-rata kawasan di Danau Toba adalah hutan lindung. Tapi ada areal yang bolong bekas penebangan di hulu,” kata Samuel, Ketua AMAN Humbahas.
Dosmar Banjarnahor, Bupati Humbang Hasundutan, mengatakan, di lokasi banjir tak ada aliran air yang sedang ataupun besar, dan tak ada penebangan pohon. Dia bilang, kemungkinan batu-batuan dari dalam perut bumi.
“Dalam waktu dekat tim ahli geologi akan melakukan penelitian lebih lanjut.”
******