Mongabay.co.id

Ancaman Tenggelamnya Wilayah di Pesisir Utara Jawa Tengah Makin Nyata?

Salah satu pompa air yang digunakan untuk membuang air yang menggenangi jalan, pabrik maupun rumah warga di daerah Semarang - Demak. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

 

Banjir rob yang terjadi di wilayah pesisir utara Jawa Tengah, terutama di Pekalongan, Demak, dan Semarang harus ditangani serius.

Muhammad Faisal Latif, warga Kelurahan Degayu, Kota Pekalongan, Jawa Tengah, menuturkan daerahnya akan terendam banjir saat hujan lebat turun, kendati tanggul laut sepanjang 7,2 km hampir selesai dibangun. Desember hingga Februari merupakan bulan langganan banjir.

“Ketika hujan intensitas tinggi datang, permukiman akan tergenang. Ini dikarenakan air hujan tidak bisa bermuara ke laut, sehingga harus dipompa,” ujarnya, Selasa [19/2/2024].

Di Kelurahan Degayu, baru ada dua pompa dengan kekuatan menyedot air 8.500 liter per detik.

“Ketika uji coba itu, daratan agak kelihatan. Hanya butuh waktu agak lama. Di Degayu, penurunan muka tanah mencapai 15-16 cm terjadi dari 2021 hingga 2023. Ini yang menyebabkan bajir terus terjadi.”

Nasib Demak tidak jauh berbeda. Lahan pertanian mulai tenggelam.

“Di Kecamatan Sayung, Demak, makam wali sekarang berada di tengah laut. Dulu kami ziarah masih bisa jalan kaki, sekarang dari parkiran naik perahu.”

Mohammad Iskandar, warga Desa Sidomulyo, Kecamatan Dempet, Kabupaten Demak, mengatakan desanya terakhir kali banjir besar pada 1970-an. Namun, pada Februari 2024 sudah dua kali dihantam banjir dan sekali pada Maret.

Penyebabnya adalah Sungai Wulan di Desa Katanjung, Karanganyar meluap dan rusaknya hutan. “Banjir itu musibah yang banyak efeknya,” ujarnya, Minggu [24/3/2024].

Banjir pada pertengahan Maret ini baru enam hari surut.

“Ketinggiannya hingga dua meter,” jelasnya.

 

Pompa air yang digunakan untuk membuang air yang menggenangi jalan maupun permukiman warga di daerah Semarang – Demak. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Krisis iklim dan beban industri

Manager Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup [Walhi] Jawa Tengah, Iqbal Alma Alghofani, mengungkapkan bahwa permasalah setiap daerah di Jawa Tengah berbeda.

Di Semarang, luas kawasan industrinya 661 hektar, sedangkan permukiman hanya 80 hektar. Sementara, peruntukan bandara dan pelabuhan sekitar 1.059 hektar.

“Industri memberikan sumbangsih besar terhadap kerusakan lingkungan di wilayah pesisir  Jawa Tengah. Alokasinya jelas, ekonomi,” ujarnya, Senin [25/3/2024].

Untuk Demak, daratannya terdiri tanah lempung yang baru memadat dalam ratusan tahun terakhir. Saat ini, Demak kehilangan 5 km garis pantai, karena banjir rob, yang juga dipengaruhi keberadaan sungai.

“Pembangun tanggul untuk mengatasi banjir rob juga bukan solusi tepat. Tanggul adalah konstruksi berat, beton, sementara air laut semakin tinggi karena krisis iklim dan di sisi lain permukaan tanah menurun. Perlu kajian mendalam di setiap daerah dalam membuat regulasi tata ruang, serta pemulihan vegetasi mangrove di sepanjang pantai.”

Kerusakan lingkungan di wilayah pantai utara Jawa adalah akumulasi berbagai kebijakan yang tidak pro terhadap lingkungan. Sejak kolonial Belanda, proyek jalan Daendeles dari Anyer-Panuran, mengubah lanskap peruntukan lahan di wilayah pantai utara Pulau Jawa.

“Pasca-reformasi ini dilanjuti lagi, diperparah dengan banyak industri,” tegasnya.

 

Seiring permukaan tanah di pesisir utara Jawa Tengah semakin menurun, banyak kerugian dialami masyarakat. Mereka tak punya lagi ruang hidup yang layak. Foto: Moh Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup [Walhi], menegaskan bahwa semakin buruknya kondisi pesisir utara Pulau Jawa karena krisis iklim dan regulasi yang tidak berpihak pada ruang hidup masyarakat.

“Dulu aman-aman saja, sebelum kenaikan air laut,” ujarnya, Minggu [3/3/2024].

Berdasarkan data Walhi, di Jawa Tengah terdapat 109 desa tenggelam dari 1.148 desa yang tenggelam di Indonesia pada 2020.

“Setiap tahun, satu hektar tanah hilang di sepanjang kawasan pesisir Demak, akibat meningkatnya permukaan air laut.”

Walhi memprediksi, pada 2050 terdapat 199 kabupaten/kota pesisir di Indonesia yang terkena banjir rob, sekitar 118.00 hektar wilayah terendam air laut, dan sebanyak 23 juta warga terdampak. Kerugian kondisi tersebut diperkirakan mencapai Rp1.576 triliun.

“Keadaan ini harus diantisipasi secepat mungkin,” terangnya.

 

Progres pembangunan tanggul laut di Degayu dan sekitar semakin terlihat, meski ini bukan dianggap sebagai solusi utama. Foto: Moh Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Kerugian lingkungan

Parid menjelaskan, pada 2002 ada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2002 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut yang melarang ekspor pasir laut karena sudah banyak kerusakan yang terjadi di lapangan. Kepres itu dicabut dan diganti Peraturan Pemerintah [PP] Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

“Kalau sedimentasinya berasal atau tidak berasal dari aktivitas industri, tapi pindah dari arus laut, itu sebetulnya sangat terkait dengan ekosistem mangrove, padang lamun, rumput laut dan terumbu karang,” ujarnya.

Hasil sedimentasi di laut yang bisa dimanfaatkan berdasarkan PP itu adalah pasir dan lumpur.

“Tetapi tidak mungkin, karena lumpur tidak memiliki nilai ekonomis. Sedangkan pasir laut digunakan untuk mendukung reklamasi, infrastruktur, kepentingan bisnis, atau ekspor.”

Menurut Parid, PP itu hanya merujuk UUD 45 dan Undang-undang Kelautan. Harusnya, merujuk juga pada undang-undang tentang keanekaragaman hayati, pesisir, dan pelayaran.

Berbicara sedimentasi laut, peraturan yang juga harus dijadikan dasar adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

“Pemerintah harus mengevaluasi berbagai regulasi yang tidak berpihak kepada rakyat dan kelestarian lingkungan.”

M Zainul Abidin, Analis Kebijakan Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, mengungkapkan potensi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim terus meningkat dari 2020-2024. Pada 2020 [Rp102,36 T], 2021 [Rp105,72 T], 2022 [Rp109,03 T], 2023 [Rp112,28 T], dan 2024 [Rp115,53 T].

“Aksi adaptasi spontan akan mengurangi kerugian ekonomi sebesar 15% menjadi Rp95,7 triliun. Aksi pembangunan ketahanan iklim terencana dapat menghindari dan mengurangi kerugian ekonomi sebesar 50% menjadi Rp58,3 triliun,” jelasnya dalam seminar di Kota Pekalongan, pada 20 Juli 2023.

Belanja aksi perubahan iklim dari 2016-2022 rata-rata 3,5% per tahun dalam APBN atau sebesar Rp 81,3 triliun per tahun.

“Akumulasi realisasi belanja aksi perubahan iklim pemerintah pusat sejak 2016 hingga 2022 mencapai Rp569 triliun dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 17,8 persen,” paparnya.

 

Kala Banjir Bandang Terjang Humbang Hasundutan, Penyebabnya?

 

Exit mobile version