Mongabay.co.id

Proyek-proyek Pangan Dinilai Gagal, Ada Rekomendasi?

 

 

 

 

 

 

Berbagai proyek  pangan yang pemerintah luncurkan, termasuk era Presiden Joko Widodo dinilai gagal karena berbagai penyebab. Beberapa proyek itu antara lain, proyek padi, jagung dan kedelai (pajale) dari 2015-2017, proyek swasembada gula nasional 2015-2019, swasembada bawang putih 2017-2019. Ada juga proyek rice estate di Merauke seluas 1,2 juta hektar pada 2015-2019. Termasuk proyek pengembangan pangan skala besar (food estate) sejak 2020 sampai sekarang.

“Sayangnya, semua program itu gagal total. Tak ada satu pun yang berhasil,” kata Dwi Andreas Santoso,  Guru Besar Pertanian IPB University, dalam temu ilmiah Maret lalu.

Selama 10 tahun, 2014-2023,  alih-alih, produksi padi meningkat justru alami penurunan.  Andreas mengatakan, rata-rata penurunan produksi padi itu mencapai 1% tiap tahun hingga menyebabkan setok beras awal 2023 menipis.

Untuk menjaga setok beras tetap aman, pemerintah mengimpor 3,06 juta ton beras, terbesar selama 25 tahun terakhir. Tahun ini pun, pemerintah kembali memutuskan menambah impor beras 3,6 juta ton,  melampaui rekor impor tahun sebelumnya. “Ini keputusan yang gila.”

Sejalan dengan kegagalan proyek-proyek itu, impor komoditas pertanian melonjak hampir dua kali lipat. Pada 2013, nilai impor pertanian mencapai US$10,07 miliar. Pada 2023, melonjak sampai US$18,76 miliar.

Buntut dari kenaikan impor pertanian ini, neraca perdagangan pertanian alami defisit dari US$8,90 miliar pada 2013 jadi US$16,23 miliar, hampir dua kali lipat.

“Itu setara Rp253 triliun yang kita berikan cuma-cuma kepada para petani di luar negeri,” kata Andreas.

Sampai saat ini, katanya, sebagian kebutuhan pangan Indonesia dipasok impor. Gandum, misal, 100% impor, juga bawah putih (100%), kedelai (97%), gula (70%), dan daging sapi (50%).

Fakta lain atas gagalnya proyek-proyek pangan pemerintah juga terlihat dari penurunan jumlah usaha pertanian perorangan (UTP) sampai 7,47%, dari 31,71 juta jadi 29,34 juta unit. Begitu juga rumah tangga UTP sub sektor tanaman pangan turun 12,28%, holtikultura  (10,44%) dan perkebunan  (14,82%).

Sejalan dengan itu, rumah tangga petani pengguna lahan kurang dari 0,5 hektar meningkat signifikan. Dari 14,12 juta rumah tangga jadi 16,89 juta rumah tangga, atau dari 55,3% pada 2013 jadi 62,05% di 2023.

“Tidak ada satu pun food estate yang berhasil dalam 25 tahun terakhir.”

 

Petani menjemur gabar. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Penyebabnya?

Kegagalan proyek-proyek ini, katanya,  bukan hanya karena konsep salah juga pelaksanaan melanggar kaidah-kaidah akademik. Selain itu, kebijakan pangan yang dibuat pemerintah acapkali berat sebelah, mengedepankan konsumen dan melupakan petani dengan memproteksi harga.

Dia contohkan kedelai. Saat harga kedelai lokal pada kisaran Rp9.000 per kg, pemerintah justru mengimpor kedelai dengan Rp7.000. Tak pelak, kebijakan itu membuat para petani merugi.

Harga kedelai lokal lebih mahal karena biaya usaha tani kalau dikalkulasi sudah Rp10.000-Rp13.000. “Ini malah masuk kedelai impor dengan harga jauh di bawahnya. Buntutnya, petani ogah mau menanam karena merugi.”

Situasi sama terjadi pada bawang putih, gula, dan beras. “Upaya swasembada tidak akan membuahkan hasil tanpa diimbangi kebijakan perlindungan harga.”

Andreas bilang, pembangunan pertanian hanya bisa berhasil kalau berjalan secara profesional dan dengan perencanaan matang, melibatkan orang-orang kompeten. Tidak serampangan, apalagi sekadar bagi-bagi kekuasaan atau kontrak politik.

Lodji Nurhadi, Kabid Advokasi, Riset dan Jaringan Binadesa mengamini pernyataan Andreas. Pada dua proyek yang kerap digembar-gemborkan, rice estate dan food estate, misal, kegagalan lantaran pendekatan pemerintah salah.

Sekitar 80% sumber pangan, katanya,  dipasok para petani secara mandiri tanpa keterlibatan korporasi. Karena itu, ketika ancaman krisis pangan itu kemudian direspons pemerintah dengan membuka kawasan pertanian yang dikelola institusi tanpa pelibatan petani, dipastikan gagal.

“Pangan yang diproduksi korporasi belum pernah terbukti sustainable untuk mendukung ketahanan pangan nasional, bahkan global. Krisis pangan yang pernah terjadi dulu adalah karena kegagalan peran korporasi dalam menjaga keberlanjutan pangan.”

Dari sini menyebabkan rezim kedaulatan pangan melemah dan bergeser menjadi ketahanan pangan, termasuk di Indonesia. Konsep ketahanan pangan hanya mengedepankan kecukupan pasokan yang bisa jadi terpasok dari impor. Kalau kedaulatan pangan, lebih pada pemenuhan lewat pasokan dalam negeri.

Dalam kasus pajale, misal, pemerintah menghendaki komoditas ini bisa dipenuhi dari para petani lokal namun sulit terwujud lantaran dalam waktu sama, keran impor dibuka. Akhirnya, ketahanan pajale sangat bergantung pada negara lain. “Ini yang justru menjadikannya rentan.”

 

Padi di sawah. Foto: A.Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Masukan

Lodji menilai, ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah kalau ingin membangun kedaulatan pangan. Pertama, penataan struktural melalui reforma agraria yang sesungguhnya. Selama ini, reforma agraria tak dimaknai utuh, terbatas pada pembagian sertifikat.

Padahal, di luar itu, ada banyak konflik agraria menyebabkan para petani kehilangan akses terhadap lahan. “Bagaimana produktivitas pertanian akan meningkat kalau petani yang menggarap justru kehilangan akses?” katanya.

Pemerintah seolah lupa, katanya,  bahwa dari jutaan petani, sebagian besar adalah petani kecil dengan luas lahan antara 0,2-0,5 hektar.

Kedua, memperbaiki tata kalola pertanian, seperti benih dan pupuk. Ada subsidi cukup besar dari pemerintah untuk pupuk petani tetapi tidak banyak dinikmati petani, melainkan korporasi pembuat pupuk.

“Kenyataan di lapangan selain barang sulit didapat, ada pun mahal. Dari dulu ini selalu menjadi keluhan para petani di banyak tempat. Meski pemerintah mengklaim barang ada, nyatanya persoalan itu selalu muncul dan tidak pernah beres, selalu berulang,” katanya.

Ketiga, berkaitan dengan politik harga. Lodji mengatakan,rata-rata petani padi di Indonesia mengalami dua masa tanam, saat awal dan menjelang akhir musim penghujan. Masalahnya, kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) yang dibuat satu harga, tidak multi kualitas.

Padahal, padi hasil panen pertama dan kedua itu memiliki kualitas berbeda, terutama berkaitan dengan kandungan rendemennya.

“Secara produksi, hasil panen kedua itu biasa turun karena memasuki musim kemarau. Secara kualitas lebih baik karena rendemen lebih sedikit. Masalahnya, HPP kita tidak melihat itu. Ini tidak fair karena harusnya dihargai multi karena bisa menjadi insentif bagi petani.”

Keempat, memperketat alih fungsi lahan. Menurut dia, alih fungsi lahan jadi salah satu ancaman kedaulatan pangan yang banyak menghilangkan tanah-tanah produktif petani.

Indonesia,  sebenarnya punya regulasi untuk memproteksi para petani. Ada UU Nomor 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, UU Nomor 22/2019 soal Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan sampai UU Perlindungan Petani.

Sayangnya, regulasi-regulasi itu seperti tak bertaji setelah ada pengesahan UU Cipta Kerja.

“Di UU itu, konversi lahan pertanian itu diatur ketat. Misal, harus mengganti dengan luasan dan kualitas serupa. Tidak bisa sembarangan, apalagi jika ada saluran irigasinya. Setelah Ciptaker ada, semua serba mudah. Mau ganti lahan pertanian untuk PSN (proyek strategis nasional) misal, bisa dengan mudah.”

 

Para petani sedang panen. Foto: A.Asnawi/ Mongabay Indonesia

******

 

Walhi: Hutan dan Masyarakat Adat Papua Terancam Proyek Food Estate

Exit mobile version