Mongabay.co.id

Izin Sawit Berganti Tanaman Energi, Hutan Gorontalo Terus Terancam

 

 

 

 

 

Ancaman deforestasi baru dan terencana terus  mengintai hutan alam atas nama proyek transisi energi di berbagai daerah  di Indonesia termasuk Gorontalo. Berdasarkan temuan Forest Watch Indonesia (FWI) awal 2024 memperlihatkan, dari bisnis biomassa kayu, ada sekitar 1.105 hektar hutan alam di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo mengalami deforestasi periode 2021-2023.

Menurut penelusuran FWI, deforestasi itu terjadi di dalam konsesi PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL). Anehnya, BTL ini adalah satu perusahaan perkebunan sawit dengan izin dicabut dalam Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 01/2022.

Selain BTL, ada juga satu izin perusahaan sawit lain di Pohuwato dicabut, yakni, PT Inti Global Laksana (IGL) yang berdampingan dengan BTL. Kedua perusahaan ini terus beroperasi dengan mengubah jenis usaha jadi kebun tanaman energi.

Menurut analisis spasial perizinan FWI (2024) menemukan, dari kedua perusahaan itu, hanya BTL yang mengantongi izin hak guna usaha (HGU), sedang IGL belum diketahui ada HGU atau tidak.

Fenomena itu juga selaras dengan laporan Walhi pada 2023 yang menemukan, BTL dan IGL membangun pabrik industri pengolahan pelet kayu (wood pellet) dan penanaman kaliandra dan gamal. Kedua jenis tanaman ini dikenal tanaman energi dan diberi label green biomass bahan baku pelet kayu.

Sebelumnya, menurut laporan Walhi, BTL dapat izin lokasi Bupati Pohuwato dengan surat keputusan Nomor 171/01/VI/2010 tertanggal 1 Juni 2010 tentang pemberian izin lokasi seluas 16.000 hektar untuk perkebunan sawit. Wilayah izin di Kecamatan Popayato Barat, Popayato, Popayato Timur dan Lemito di Kabupaten Pohuwato.

BTL mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan dengan entitas BTL I dan II. BTL I mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan pada 2012 seluas 6.934,48 hektar, dan BTL II 8.863 hektar pada 2014. Ada sekitar 15.797,48 hektar izin pelepasan kawasan hutan di konsesi BTL.

IGL beroperasi melalui izin lokasi Bupati Pohuwato berdasarkan surat keputusan Nomor 170/01/VI/2010 tentang pemberian izin lokasi perkebunan sawit seluas 12.000 hektar. Wilayah izin IGL berlokasi di Kecamatan Lemito, Wanggarasi di Pohuwato. IGL pun mendapatkan izin pelapasan kawasan hutan dari KLHK dengan luas sama dengan izin lokasi.

Izin pinjam pakai kawasan hutan milik BTL dan IGL itulah yang kemudian dicabut Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan diumumkan Presiden Joko Widodo Januari 2022.

 

Peta deforestasi di konsesi PT BTL dan PT IGL Kabupaten Pohuwato. Sumber: FWI

 

Perusahaan lancar ajukan skema perhutanan sosial?

Belakangan, kedua anak perusahan dari Provident Agro Group itu mengajukan izin perhutanan sosial pada lokasi sama kepada KLHK.

Pada 13 Mei 2020, KLHK akhirnya menyetujui usulan dengan skema hutan hak seluas 15.493 hektar kepada BTL dan 11.860 hektar kepada IGL. Kebijakan KLHK itulah, kata Walhi,  yang membuat pencabutan izin tidak mengubah apapun. Jadi, kedua perusahaan itu masih beroperasi di lapangan.

“SK pencabutan izin pelepasan kawasan yang dibebankan kepada konsesi-konsesi sawit di Pohuwato itu tidak berlaku di lapangan dan hanya bersifat pemberitahuan,” tulis Walhi dalam laporannya.

Dengan begitu, izin pinjam pakai kawasan hutan BTL dan IGL sudah legal kembali berdasarkan penetapan hutan hak oleh KLHK pada 13 Mei 2020. Perubahan komoditas perkebunan pun berdasarkan surat rekomendasi perubahan jenis tanaman pada izin usaha perkebunan No: 207/PI.400/E/2020, tertanggal 4 Februari 2020 dari perkebunan sawit jadi gamal dan kaliandra.

Alhasil, menurut temuan FWI, kedua perusahaan itu sudah menyuplai bahan baku industri wood pellet ke PT Biomasa Jaya Abadi (BJA), satu-satunya perusahaan pengolahan atau pabrik kayu pelet di Pohuwato.

Hal itu berdasarkan data Sistem Informasi Legalitas dan Kelestarian (SILK) KLHK.

Menurut SILK KLHK, Pohuwato ekspor wood pellet total produksi 21.066.025 kg dengan nilai US$2.833.380 ke Jepang dan Korea Selatan. Kedua negara ini menguasai pasar ekspor wood pellet Indonesia dengan 23.683.972 kg selama lima bulan terakhir.

Dengan temuan itu, FWI menduga, BTL dan IGL merupakan perusahaan yang menjadi dalang operasionalisasi industri wood pellet BJA di Pohuwato.  Kayu pelet ini sebagai bahan bakar pengganti batubara di pembangkit listrik sebagai jalan transisi energi.

“BJA diduga dibentuk BTL dan  IGL sebagai penyedia kawasan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri wood pellet-nya,” kata Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, Media FWI melalui rilis yang diterima Mongabay.

Pada Januari 2024, DPRD Gorontalo sempat rapat dengar pendapat (RDP) untuk mempertanyakan perizinan BJA, termasuk legalitas eksportir perusahaan itu serta bahan industri wood pellet yang dapatkan dari perusahaan yang berizin perkebunan sawit.

Namun, Burhanuddin,  Direktur Operasional BJA di Gorontalo menepis pertanyaan itu. Dia bilang, usaha BJA sudah mendapatkan persetujuan KLHK.

Perizinan yang diberikan itu, katanya, berdasarkan surat keputusan (SK) Menteri LHK tertanggal 28 Mei 2021 soal perizinan berusaha pengolahan hasil hutan (PBPHH).

“Terbitnya izin dari KLHK jadi salah satu dasar BJA bisa beroperasi seperti sekarang,” kata Burhanuddin, seperti dikutip dari Faktanews.

Dia mengaku, dalam menjalankan usaha, BJA bekerjasama dengan BTL dan IGL. BJA beroperasi dengan dasar hukum kuat dan memiliki semua perizinan yang disyaratkan pemerintah pusat maupun daerah.

Meski begitu, kata Anggi, pembangunan kebun energi BTL dan IGL tidak terlepas dari upaya land clearing dan deforestasi. Berarti, akan ada deforestasi baru di Indonesia dari kebun energi di Gorontalo.

Terlebih lagi, katanya, dari luasan konsesi kedua perusahaan itu, setidaknya ada 17.700 hektar hutan aman yang bakal terancam ‘deforestasi terencana’ untuk memenuhi kebutuhan ekspor kayu pelet ke negara Jepang dan Korea Selatan.

Kondisi ini, katanya,  akan mendorong deforestasi baru di Gorontalo. FWI mencatat,  Gorontalo mengalami deforestasi 33.492 hektar periode 2017-2021. Data BPKH-TL Wilayah XV Gorontalo pun menyebutkan, kawasan hutan di Gorontalo mengalami pengurangan 60.526 hektar sejak 2015-2021.

Data Global Forest Watch pun menyebut, dari 2001-2022, Gorontalo kehilangan 132.000 hektar tutupan pohon, setara penurunan tutupan pohon sebesar 13% sejak 2000, dan 90,1 ton emisi CO₂e. Pohuwato mengalami kehilangan tutupan pohon paling banyak, 38.600 hektar dibandingkan rata-rata 18.900 hektar.

Anggi bilang, masih terdapat 696.631 hektar hutan alam tersisa di Gorontalo yang perlu dijaga. “Hutan alam tersisa itu harus dijaga di tengah tekanan pembangunan dengan berbagai kepentingan yang membutuhkan lahan tidak sedikit,” kata Anggi.

 

Data ekspor wood pellet Indonesia 2023 – 2024. Sumber: FWi

 

Deforestasi terselubung

Kayu pelet dari kebun energi di Gorontalo ini sebenarnya bentuk dari program transisi energi Pemerintah Indonesia yang ingin memanfaatkan bahan bakar berbasis biomassa sebagai sumber energi. Hal itu pun masuk dalam kebijakan forest and land use (FOLU) Net Sink 2030 sebagai satu usaha utama Indonesia memenuhi komitmen melawan krisis iklim dalam Perjanjian Paris.

Kebijakan ini sudah masuk dalam target iklim nasional yaitu enhanced nationally determined contribution (NDC) 2022 dan strategi rendah karbon jangka panjang, long term strategy-low carbon climate resilience (LTS-LCCR).

Dalam kebijakan FOLU Net Sink 2030 itu, pemerintah menargetkan hutan Indonesia tidak lagi berkontribusi terhadap pelepasan emisi gas rumah kaca. Kontribusi sektor hutan, menurut versi pemerintah, pada akhir dekade mendatang harus bisa lebih banyak menyerap karbon, dibandingkan melepaskan hingga dapat berperan aktif meredam krisis iklim.

PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai bagian sektor energi menyebut, ingin mendukung komitmen pemerintah menurunkan emisi karbon. Dalam rencana umum penyediaan tenaga Listrik PLN 2021-2030, satu strategi menurunkan emisi karbon adalah pemanfaatan bahan bakar berbasis biomassa.

Kayu pelet masuk satu bahan bakar berbasis biomassa yang ingin PLN campurkan dengan batubara di sejumlah PLTU dengan label co-firing.

PLN mengklaim, co-firing biomassa sebagai solusi murah untuk menurunkan emisi sektor pembangkit listrik serta menjadi strategi menurunkan emisi karbon. PLN menargetkan co-firing di 52 PLTU sampai 2025, dengan kebutuhan biomassa 10,2 juta ton pertahun.

Pada 2022, sudah ada 35 PLTU menerapkan co-firing dengan estimasi konsumsi biomassa 450.000 ton pertahun.

Untuk mencapai target biomassa sebanyak itu hanya mungkin terpenuhi dari perkebunan kayu skala massal semacam perusahaan hutan tanaman energi (HTE).

Trend Asia nilai kebijakan ini berisiko melenggangkan deforestasi dan kerusakan hutan alam di Indonesia, seperti di Gorontalo.

Ada deforestasi terselubung dari proyek transisi energi ini. Dalam penelitian Trend Asia pada 2022 dengan judul  “Ancaman Deforestasi Tanaman Energi,” menemukan, pengembangan HTE untuk memenuhi target co-firing PLN justru berpotensi menimbulkan deforestasi, paling rendah 630.000 hektar sampai tertinggi 2,1 juta hektar.

Kebun energi, sebut penelitian itu,  akan memberikan dampak buruk bagi ekosistem hutan yang bernilai konservasi tinggi, keanekaragaman hayati, pangan dan air, serta kehidupan lokal dan hak masyarakat adat.

Selain itu, penelitian itu menunjukkan bahwa co-firing batubara dengan biomassa hanya memperpanjang umur pemakaian energi fosil. Produksi biomassa pun dapat menghasilkan emisi karbon dari deforestasi yang dilakukan untuk pengolahan pelet kayu.

Padahal, laporan terbaru tim ilmuwan Global Carbon Project dalam jurnal Earth System Science Data yang rilis akhir tahun lalu menyebutkan, emisi karbon dioksida (CO2) Global pada 2023 terus mengalami kenaikan, bahkan menduduki tingkat tertinggi dalam sejarah. Indonesia pun menempati posisi kedua sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia.

Amalya Reza Oktaviani, Manager Program Bioenergi Trend Asia mengatakan, deforestasi terselubung dari proyek transisi energi yang menggunakan co-firing biomassa ini berawal dari Permen ESDM Nomor 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Aturan itu menyebut,  biomassa sebagai sumber energi terbarukan.

“Padahal,  biomassa sesungguhnya justru menghasilkan emisi dalam jumlah besar,” kata Amel, sapaan akrabnya kepada Mongabay.

Tak hanya itu, UU Cipta Kerja yang mengenalkan perizinan multi-usaha dalam bidang kehutanan menjadi karpet merah bagi HTE untuk merusak hutan. Pasalnya, UU itu memungkinkan pelaku usaha mengembangkan berbagai model usaha dalam satu konsesi pemanfaatan hutan, misal, menggabungkan antara tanaman energi dengan jasa lingkungan.

Aturan turunan dari UU Cipta Kerja kerja pun memberikan jalan masuk yang begitu besar kepada HTE. Misal, kata Amel, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Dalam PP itu menjelaskan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) boleh berbisnis HTI, HPH, wisata, termasuk kebun energi dalam satu konsesi.

Kebijakan nilai ekonomi karbon juga memberikan ruang besar kepada HTE untuk merambah hutan alam di Indonesia dengan alasan dapat menyerap karbon. PLTU co-firing dianggap menghasilkan emisi di bawah ambang batas hingga dapat memperjualbelikan karbon.

Belum lagi, katanya, ada Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) yang mengatur insentif fiskal non fiskal untuk kebun energi dan PLTU co-firing. Dia bilang, semua regulasi ini hanya menguntung korporasi HTE dengan menafikan deforestasi yang terjadi akibat pembukaan konsesi.

Menurut data Auriga Nusantara, deforestasi pada 2023 mencapai 257.384 hektar. Angka deforestasi itu mengalami kenaikan 26.624 hektar dari tahun sebelumnya. Ironisnya, sekitar 73,2% deforestasi itu terjadi di kawasan hutan, dan mayoritas dalam konsesi hutan tanaman industri (HTI) atau kebun kayu.

“Deforestasi bukan lagi terselubung, tapi terencana dan dilegalkan. Hingga celah intervensi sulit dilakukan, kecuali melalui perubahan kebijakan,” kata Amel.

 

Ilustrasi. Hutan di Indonesia, termasuk di Gorontalo masih dalam ancaman terdeforestasi antara lain atas nama proyek hutan tanaman energi. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

******

 

 

Benarkah ‘Co-firing’ Biomassa PLTU Itu Transisi Energi? Berikut Kajian Trend Asia

Exit mobile version