Mongabay.co.id

Susun Raperda Tanah Ulayat, DPRD Riau Tertutup?

 

 

 

 

 

DPRD Riau, sedang menyusun rancangan peraturan daerah  tentang tanah ulayat dan pemanfaatannya (Raperda Tanah Ulayat), tetapi dalam proses dinilai tertutup dan tak partisipatif.  Organisasi masyarakat sipil menyatakan,  DPRD dan Gubernur Riau harus segera membahas raperda ini dengan catatan, melibatkan masyarakat sipil, terutama masyarakat adat sebagai subyek pengelola tanah adat. Syarat ini, merupakan bentuk partisipasi bermakna yang wajib dipatuhi pemerintah dalam membentuk peraturan.

“Kami, sebagai masyarakat sipil sudah berulang meminta penjelasan terkait revisi Perda 10/2015 dan penguatan aturan teknis Perda 14/2018, juga tidak mendapat kabar langsung terkait raperda ini,” kata Boy Jerry Even Sembiring,  Direktur Eksekutif Daerah Walhi Riau, melalui aplikasi perpesanan, 5 April lalu.

Raperda ini sudah dibahas Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Riau dan sempat masuk dalam program pembentukan peraturan daerah (Propemperda), sejak 2022. Hanya saja, belum ada panitia khusus (pansus) untuk pembahasan lanjutan.

“Itu inisiatif DPRD. Statusnya, menunggu giliran pembahasan. Sudah masuk propemperda sejak 2022. Kalau tak selesai 2024, masuk lagi 2025,” kata Yan Dharmadi,  Kepala Biro Hukum Setdaprov Riau, Maret lalu.

Raperda ini satu dari 18 rancangan yang masuk usulan propemperda 2022, hanya separuh yang disahkan hingga masa sidang tahun lalu. Ia masih menggantung dan jadi utang DPRD Riau, sebelum akhir masa jabatan.

Karmila Sari, anggota Bapemperda, mengatakan, hingga kini, Raperda Tanah Ulayat masih berkutat di Bapemperda. Lambatnya pengesahan aturan karena banyak agenda rancangan di pansus.

Bila sesuai jadwal, Pansus Raperda Tanah Ulayat akan dibentuk tahun ini.  Namun, katanya, masih ada tiga pansus lain tengah berjalan dan harus selesai.

Apakah Raperda Tanah Ulayat akan jadi prioritas jelang masa tugas DPRD Riau 2019-2024 berakhir? Karmila tidak bisa beri kepastian.

Karmila kemungkinan tidak akan terlibat lagi pembahasan Raperda Tanah Ulayat karena terpilih sebagai anggota legislatif di Senayan pada Pemilu Februari lalu.

 

 

Masyarakat Adat Talang Parit, Indragiri Hulu, menyiapkan konsumsi dalam persiapan gawai pernikahan. Foto Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

Dalam draf raperda tanah ulayat ini terdiri dari 21 bab dan 30 pasal.  Dalam sejumlah pasal antara lain, menjelaskan tanah ulayat merupakan bidang tanah dalam lingkup hak ulayat suatu masyarakat hukum adat tertentu. Jenis tanah ulayat antara lain, tanah dusun, tanah kehidupan atau tanah hayat, tanah larangan dan tanah kayat.

Badan Pertanahan Nasional (BPN) kabupaten/kota berwenang menetapkan tanah ulayat dalam bentuk pencatatan dalam catatan tanah. Atas dasar persetujuan pemerintah daerah dan DPRD dalam bentuk perda tentang masyarakat hukum adat.

Permohonan penetapan tanah ulayat diajukan ke kepala kantor pertanahan daerah setempat. Selanjutnya, akan ada pengukuran, pemetaan dan pencatatan dalam daftar tanah. Tanah ulayat bertujuan memelihara tanah, mempertahankan keutuhan tanah dan mencegah kerusakan tanah.

Masyarakat hukum adat melaksanakan penatagunaan dan pengurusan tanah ulayat dan tidak dapat diperjualbelikan pada pihak manapun. Keputusan yang diambil pemegang kuasa tanah ulayat atas dasar persetujuan atau kesepakatan anggota pesukuan dan masyarakat hukum adat setempat dalam bentuk tertulis.

Pemegang kuasa tanah ulayat, wajib menjaga kelestarian, keamanan dan keselamatan tanah ulayat. Guna meningkatkan kesejahteraan pesukuan atau masyarakat adat, dengan cara pemanfaatan tanah ulayat berdasarkan kesepakatan.

Hak pemanfaatan tanah ulayat berlaku paling lama 30 tahun. Perpanjangan hak harus berdasarkan persetujuan pemangku adat dan, atau anggota masyarakat adat. Bila tidak, pengaturan pemanfaatan tanah dilaksanakan oleh pemegang kuasa tanah ulayat sesuai kesepakatan internal masyarakat adat itu sendiri.

Raperda ini juga menetapkan sejumlah sanksi. Salah satu, setiap orang atau badan hukum yang memanfaatkan tanah ulayat tanpa sepengetahuan dan seizin penguasa ulayat dihukum kurungan paling lama enam bulan dan,atau denda Rp50 juta.

 

Masyarakat adat Talang Durian Cacar, bagian dari Masyarakat Adat Talang Mamak. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Tertutup, tak partisipatif

Boy Jerry mengkritik proses penyusunan Raperda Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Pertama, secara aspek formil, pembentukan terkesan tertutup karena tidak melibatkan masyarakat adat langsung. Proses penyusunan abai terhadap partisipasi bermakna atau meaningful participation.

Dalam prosesnya, masyarakat adat sebagai subjek hukum yang akan diatur seharusnya ada hak sebagaimana Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020. Yang dimaksud partisipasi bermakna, katanya, meliputi hak masyarakat didengarkan, dipertimbangkan dan mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.

Kedua, secara materil, katanya, lagi-lagi Pemerintah Riau membuat aturan tidak operasional. Raperda ini tidak sepatutnya membuat aturan yang perlu aturan lebih lanjut.

Dia contohkan, Pasal 9. Proses pengakuan tanah ulayat yang ditetapkan dan dicatat BPN kabupaten/kota harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Gubernur dan DPRD melalui perda. Ketentuan ini lebih rumit dibandingkan perda di banyak daerah tentang proses pengakuan masyarakat hukum adat, yang mengamanatkan pengakuan lanjutan melalui keputusan kepala daerah.

“Prosedurnya lebih rumit dari yang diamanatkan Pemendagri 52/2014 tentang pedoman pengakuan dan perlindunggan masyarakat hukum adat,” kata Boy.

Raperda ini menghilangkan karakter khusus karena lagi-lagi membuka ruang penggusuran atau pengambilalihan tanah adat dengan alasan kepentingan umum. Dalam sejarahnya, frasa ini sering disalahgunakan untuk meminggirkan masyarakat adat dan membuka ruang sebesar-besarnnya untuk investasi.

Walhi Riau, menolak Raperda Tanah Ulayat dan meminta Pemerintah dan DPRD Riau menyusun aturan lebih teknis dan operasional.

Anggaran yang digunakan dalam penyusunan raperda ini pun, katanya, harus mempermudah pengakuan dan perlindungan masyarakat adat sebagai subyek hukum. Sebaliknya, bukan memperumit prosedur.

Boy mengatakan,  Walhi Riau sangat terbuka memberi asistensi dan pendampingan untuk menunjukkan bagaimana perda yang operasional. Juga, membantu akselerasi pengakuan dan perlindungan masyarakat adat sebagai subyek hukum.

Okto Yugo Setiyo,  Wakil Koordinator Jikalahari menilai,  Gubernur dan DPRD Riau tak serius. Penyusunan Raperda Tanah Ulayat, katanya,  harus lebih terbuka sebagai wujud partisipasi bermakna.

Sebagai lembaga masyarakat sipil yang konsen perlindungan masyarakat adat terhadap pengelolaan hutan dan tanah, mereka  belum pernah diundang atau mendapat informasi terkait penyusunannya.

Dia menyoal materi perda yang hanya mengatur tanah ulayat di luar kawasan hutan terlihat dari peran dan kewenangan BPN di dalamnya. Padahal, katanya, masyarakat adat banyak hidup dan tinggal dalam kawasan hutan.

“Perlu duduk bersama, mengundang berbagai masyarakat adat di Riau. Gubernur dan DPRD harus serius menyikapi permasalahan masyarakat adat dengan mempercepat raperda ini. Yang juga penting, pengakuan terhadap mereka itu sendiri,” desak Okto.

Gilung, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Indragiri Hulu, menguatkan pernyataan Boy dan Okto. Sebagai lembaga yang menaungi puluhan komunitas adat di Riau, dia tidak pernah dapat informasi apa lagi diundang dalam penyusunan raperda.

Saat ini, ada 64 komunitas adat berhimpun dalam AMAN Riau. Kondisi tanah ulayat mereka makin tercerabut karena konflik akibat perampasan dan perambahan komoditas sawit, perkebunan kayu, tambang hingga minyak bumi.

Gilung berharap,  Pemerintah dan DPRD Riau jangan main sepihak dalam buat keputusan. Apalagi menyangkut kehidupan masyarakat adat.

Dia mendesak,  legislative dan eksekutif melibatkan tokoh adat atau perwakilan dan organisasi yang peduli dengan tanah ulayat dan masyarakat adat.

“Tanah ulayat punya masyarakat adat. Masa tidak dilibatkan atau ikut partisipasi dalam keputusan itu. Sekurang-kurangnya perwakilan masyarakat adat harus terlibat dalam perancangan raperda itu,” kata Gilung.

 

Rumah masyarakat Kebatinan Ampang Delapan di Riau. Foto: Lusia Arumingtyas/Mongabay Indonesia

 

*****

 

Orang Talang Mamak Menagih Perlindungan Negara

Exit mobile version