Mongabay.co.id

Bangkitnya Ritus Sanghyang Dedari, Simbol Keseimbangan Alam di Bali

 

Lima anak perempuan belum akil balik bersimpuh di Pura Dalem Desa Adat Geriana Kauh, Desa Duda Utara, Karangasem, Bali, pada Jumat (05/04/2024) lalu. Nampak anggun dalam pakaian penari Sanghyang Dedari, kain putih kuning melilit dada, selendang juga putih dan kuning tersampur di sisi kiri dan kanannya.

Mereka sedang mengikuti salah satu prosesi paling penting ketika menjadi penari Sanghyang Dedari, yakni pangukupan atau memanggil roh yang memandu para pengayah penari cilik ini. Dengan ketenangan luar biasa, pura ini begitu hening, penerangan terbatas, sejumlah perempuan dewasa duduk dan bicara berbisik-bisik.

Hanya perempuan di dalam pura, laki-laki dilarang masuk, termasuk mengintip. Laki-laki hanya Jero Mangku, pemimpin persembahyangan. Setelah berpuja dan diperciki tirta, para penari memulai pengukupan. Lima perempuan remaja, mantan penari Sanghyang sebelumnya sudah siap di belakang tiap penari generasi kini.

Asap di pasepan (wadah tanah liat dengan sarana wangi kayu-kayuan dan dupa yang dibakar) mengepul, seluruh lampu dimatikan. Ibu-ibu pun menyanyikan gending Sanghyang dengan khusyuk. Dalam beberapa detik, satu demi satu penari Sanghyang rebah di pelukan seniornya yang menjaga di belakang. Para senior dengan sigap membopong ke luar pura dan membawa penari ke perempatan agung (utama) desa.

Gending terus dinyanyikan, para penari direbahkan di tanah dengan posisi kepala di pangkuan seniornya. Hanya dipandu gending, para penari berdiri berbarengan, lalu dengan mata tertutup menari di tengah perempatan.

Baca : Taru Pramana, Naskah Bali Klasik tentang Kesaktian Tanaman sebagai Pengobatan

 

Para penari Sanghyang Dedari masih dalam keadaan tidak sadar sebelum ritus dimulai di Pura Dalem Desa Adat Geriana Kauh, Desa Duda Utara, Karangasem, Bali, pada Jumat (05/04/2024). Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Tak hanya Sanghyang Dedari, ada juga Sanghyang Jaran Gading yang ditarikan laki-laki. Keduanya berlangsung di waktu dan lokasi berbeda. Sanghyang Jaran Gading ini ditarikan tanpa penerangan sama sekali, termasuk larangan flash kamera. Hanya titik api dan asap dari kulit kelapa yang ditumpuk dan dibakar, lalu dimainkan oleh “kuda” manusia ini. Sarana simbol kuda sangat sederhana dari janur menyerupai kuda.

Kedua tarian sakral ini pun menggunakan sarana-sarana hasil bumi seperti padi organik, biji-bijian, buah, dan bunga. Kebudayaan Sanghyang diyakini melindungi desa adat yang membentang lebih dari 60 Ha, dengan penduduk 150-an KK. Sebagian lahan masih hijau dengan kebun dengan kelapa, aren, bambu, salak, sisanya hamparan padi.

 

Sejarah Tarian dan Wabah Pertanian

Untuk mengarsipkan sejarah tarian sakral ini, Desa Adat membuat Museum Sanghyang Dedari dengan dukungan Universitas Indonesia. Kepala Museum Ketut Widana mengatakan ketika hama banyak menyerang pertanian di desanya, lahannya juga berdampak. Aneka jenis hama seperti tikus, belalang, ulat, burung menghabiskan bulir padi. Namun pasca dibangkitkannya Sanghyang Dedari ia mengakui hama berkurang. Warga juga sudah mulai beralih dari pertanian dengan input kimia ke minim pestisida sintetik. Jenis padi yang ditanam juga mulai lokal seperi padi tahun, beras merah, padi ketan, dan beras hitam.

Gerakan revolusi hijau untuk mendorong swasembada pangan di era Orde Baru dengan cara intensifikasi pertanian seperti input sintetik berdampak memutus ekosistem pembatasan hama secara alami. Ular dan predator hama menghilang, hama bertambah. Ia mengingat tahun 1980-an pertanian masih organik.

Sampai akhirnya sistem pertanian asli berubah dan hama makin sering menyerang. Desa Adat akhirnya naur (menghaturkan) kembali Sanghyang pada 1991 dan bertanya  pada Ida Betara (matur piuning) untuk menyiapkan ritus. Saat itu desa mencari pengayah Sanghyang atau penarinya. Saat itu ada 7 anak perempuan belum akil balik menawarkan diri. Di hari baik yang telah ditentukan, para pengayah penari ini mengikuti prosesi pengukupan atau memanggil roh.

Baca juga : Melihat Uniknya Perayaan Hari Raya Tumbuhan di Bali

 

Para penari memanjatkan doa sebelum menari tarian Sanghyang Dedari di Pura Dalem Desa Adat Geriana Kauh, Desa Duda Utara, Karangasem, Bali, pada Jumat (05/04/2024). Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Dari catatan di Museum Sanghyang Dedari disebutkan, tradisi lisan di Desa Adat Geriana Kauh, tarian Sanghyang Dedari muncul ketika desa mengalami wabah yang tak berkesudahan. Banyak yang sakit dan hama padi menyerang. Dalam rasa putus asa, warga memukul kentongan dan rotan berama-ramai diikuti kalimat-kalimat bak mantra. Inilah yang diyakini mendorong sejumlah anak perempuan yang belum akil balik mengalami trance lalu menari dengan mata tertutup. Kalimat-kalimat itulah yang menjadi gending mantra memandu sang penari.

Sanghyang Dedari termasuk tari sakral, hanya ditarikan saat ritual bukan pertunjukan. Diyakini sangat erat dengan tradisi agrikultur dan tarian bersih desa dari mala barahaya. Ditarikan anak-anak perempuan yang belum menstruasi. Tarian ini digelar ketika padi sudah berbuah, agar terhindar dari hama dan panennya melimpah.

Di Bali, diketahui sedikitnya ada 25 jenis tari Sanghyang selain Dedari. Seperti Sanghyang Lingga (semesta), Jagad (bumi), Jaran (kuda), Menjangan, Deling, Kebo, Sampat (sapu lidi), Bangau, Barong, Tujo, Prahu, Kelor, Bunga, Lelipi (ular), Celeng (babi), Kuluk (anjing), Bojog (monyet), Jaran gading, Jaran Putih, Dongkang (katak), Penyu, Sembe, dan Penyalin.

Seluruhnya adalah manifestasi hewan dan sarana bersih-bersih. Tiap desa adat yang memiliki tradisi Sanghyang dan tradisi lisannya masing-masing, bagaimana mereka meyakini sebuah ritus akan memberi perlindungan bagi alam dan penghuni desa. Hal menarik adalah, ketika ritus ini mampu menjaga kearifan lokal bercocok tanam.

Baca juga : Kreativitas Olahan Pangan Lokal Bali

 

Penari Sanghyang Dedari di Desa Adat Geriana Kauh, Karangasem, Bali dalam ritusnya pada 5 April 2024. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Pertanian Organik

Gede Artana dan Made Arta adalah dua petani yang kini menggeluti pertanian organik dengan menanam padi mentik susu. Menurut Artana, lebih 30 petani menekuni di sebagian lahan, sisanya masih menggunakan input kimia. Salah satu cara sederhana untuk rehabilitasi tanah adalah dengan membuat kolam sedimentasi berisi eceng gondok untuk menyaring air. Pertanian di Bali menggunakan sistem subak, aliran air dari hulu ke ke hilir saling terkait.

Sejumlah peneliti perubahan iklim menyatakan pertanian adaptif iklim adalah sistem ketahanan pangan dengan tradisi lokal yang sesuai dengan wilayahnya. Karena itu tak bisa diseragamkan, buktinya sejumlah desa masih bisa bertahan menghasilkan pangan ketika perubahan iklim makin membuat cuaca tak menentu. Sebuah ritus kebudayaan bagian tak terpisahkan dari sistem pertanian lokal ini.

Angga Dwiartama, peneliti sosiologi pangan dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam sebuah webinar mengkritisi perlunya adaptasi sistem pertanian mengantisipasi cuaca ekstrem. Mengutip data BPS 20211-2023, produksi pertanian sempat naik pada 2016 walau terjadi Elnino pada 2015. Kemudian sejak 2018, produksi turun 80 juta ton gabah kering giling jadi 50 juta. Turun terus sampai sekarang titik terendah 12 tahun terakhir pada 2023.

Lahan baku pertanian berkurang sekitar 600 ribu ha. “Perubahan iklim mungkin berubah, tapi ada faktor alih fungsi lahan. El Nino mengancam kerentanan pangan,” sebutnya. Kerentanan pangan ini tergantung pada keparahan El Nino, sensitivitas pertanian pada iklim, dan kapasitas adaptasi di setiap daerah. (***)

 

 

Banjir dan Longsor, Tanda Peringatan Kerusakan Daerah Hulu di Bali

 

Exit mobile version